Chereads / My Promise is My Life / Chapter 3 - Di mana Andi?

Chapter 3 - Di mana Andi?

Sepeninggalku dari kamar Yoga, Tasya langsung memasuki mobil menuju perusahaan. Sepanjang perjalanan wanita itu menatap kosong pada jendela mobil. Memandang pohon yang tampak seperti sedang berlari berlomba-lomba mengejarnya. Ucapan sang suami tentang kesuburan dirinya membuat Tasya mengeryit bingung. Pasalnya hasil lab Tasya menunjukkan kesuburan yang baik, mengapa Yoga menyatakan dirinya tidak subur? Dan kehamilan wanita itu...

Tasya mendadak merasakan pening di kepalanya. 'Apakah ada kesalahan pada hasil lab itu?' 

Andi, dia adalah asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Yoga. Ada apa sebenarnya? 

Tasya bertanya-tanya di dalam benaknya, hingga dia memutuskan untuk menemui Andi dan menanyakan hal itu secara langsung.  

30 menit berselang sampai Toyota Alphard hitam milik Tasya terhenti di depan gedung Travis Group. Tasya disambut hangat oleh asisten pribadinya yaitu Tomi sejak kaki jenjangnya menapaki lobby perusahaan.  

"Selamat pagi, Nyonya Tasya!"

"Pagi, apa Andi sudah datang?" Tasya membalas sapaan Tomi dan juga karyawan yang lainnya. 

"Kebetulan Pak Andi sedang dinas luar selama 2 minggu di Batam, Nyonya." Tomi meraih tas Tasya sambil berjalan mengikuti majikannya melangkah.  

Mendengar penuturan Tomi, Tasya pun berhenti dengan dahi mengkerut. "Kapan dia pergi?"

"Pagi ini Nyonya, beliau langsung ke bandara." 

Tasya menelan kekecewaan, dia pun menghela nafas. Di saat dia ingin menanyakan begitu banyak kejanggalan. Andi malah tidak ada, pergi begitu saja seolah dia tau akan Tasya yang mencari dirinya. Tasya tidak kehabisan akal. Dia pun mengambil tasnya yang ada di tangan Tomi dengan cepat, lalu menghubungi Andi melalui panggilan telepon. 

[Nomor yang ada tuju sedang tidak aktif atau-]

Tasya mengetatkan genggamannya pada gawai pintarnya dan mengakhiri panggilan. Kemudian menekan panggilan ke-dua. Tomi memperhatikan majikannya dengan seksama. Seruan yang sama terdengar mengalun membuat telinga Tasya sakit. 

"Nyonya, sepertinya Pak Andi sedang di pesawat hingga ponselnya tidak aktif." Jelas Tomi berusaha menghibur Tasya yang terlihat sedikit panik.

Wanita itu terdiam sesaat dan mengagguk pelan. "Ya, kau benar!" Tasya memasukkan ponselnya ke dalam tas dan memberikannya pada Tomi. "Sebaiknya kau siapkan bahan rapat kita nanti siang!"

"Baik Nyonya!" ucap Tomi mantap, pria itu kembali mengikuti Tasya yang memasuki lift. Asisten Tasya itu mengedarkan pendangan seperti mencari sesuatu. "Tuan tidak bersama Nyonya?"

"Tidak, seterusnya kami akan berjalan masing-masing kecuali saat ada pertemuan yang mengharuskan aku bersamanya," jelas Tasya cepat. 

Tomi mengerti, kabar angin tentang Tuannya yang telah memiliki wanita lain pasti pemicu Tasya untuk menjaga jarak. Tidak ingin membuat majikannya berubah suasana hati menjadi buruk, Tomi memilih menawarkan sesuatu.

"Anda ingin dibuatkan coklat panas, Nyonya?"

Tasya tersenyum tulus pada orang yang selalu mengerti suasana hatinya melebihi suaminya sendiri. "Kau memang yang terbaik, Tomi. Tolong dengan sedikit susu di dalamnya. Jangan terlalu panas, aku ingin segera meminumnya," pintanya. 

"Segera tiba, Nyonya," Tomi pergi untuk membuatkan pesanan Tasya. 

Sepanjang proses pembuatan coklat panas, Tomi tidak habis pikir dengan Tuannya yang menyia-nyiakan wanita sesempurna Nyonya Tasya. 

"Jika aku seorang sultan, aku akan membawa Nyonya Tasya pergi jauh bersamaku," gumamnya. Pria itu tidak menyadari air panas yang mengenai tangannya. 

"Aduuuhh!!"

Suara mengaduh Tomi membuat Tasya menoleh. "Ada apa?" wanita itu berjalan mendekati pantry yang sengaja disediakan di ruangannya.

Tomi tampak kikuk dengan wajah yang merah karena malu. Ini karena pikirannya yang lancang membayangkan dirinya membawa lari sang majikan. 

"Saya tidak apa-apa, Nyonya." Tomi menutupi tangannya yang terkena air panas dengan serbet. 

Tasya menengadahkan tangan seperti meminta sesuatu. "Sini biar aku lihat," Tomi malah terpaku dengan wajah bingung. 

Tasya yang gemas pun langsung meraih tangannya yang ditutupi serbet. Dilihatnya kulit tangan yang putih memerah. 

"Harus segera diberi obat, jangan dibiarkan saja nanti kulitmu akan bengkak dan meninggalkan bekas luka." 

Tasya tidak menyadari jika sikapnya membuat Tomi tidak berkutik, jantung pria itu berdetak kencang. Untuk pertama kalinya ia merasakan kelembutan tangan majikannya. Dengan cepat Tomi menarik tangannya, ia memalingkan muka.

"Sa-saya akan mengobatinya, Nyonya... Nyonya tunggu saja di sini. Biar nanti saya buatkan coklatnya di pantry karyawan, permisi!" Tomi segera melesak pergi. 

Pria itu berjalan dengan cepat. "Apa yang kau pikirkan? Bodoh!" gerutunya pelan. Langkahnya terhenti kala melihat tangannya yang terkena air panas. "Kulitnya lembut melebihi sutra," Tomi kembali terbayang saat Tasya memegang tangannya. Lalu menggeleng, menepis pikiran tidak pada tempatnya. 

***

Yoga pun sampai 20 menit sebelum rapat dimulai, Tasya berpapasan dengan suaminya saat menuju ruang meeting. 

"Hari ini kita akan kedatangan investor yang sangat berpengaruh di Eropa, namun CEOnya sedang berhalangan jadi akan diwakilkan oleh managernya. Aku harap kamu bisa memenangkan tender ini, kita masih punya banyak PR yang tertunda karena kepergianmu minggu lalu, mengunjungi istri ke-duamu," sarkas Tasya.

Yoga menatap tajam Tasya yang sepertinya berhasil menyindirnya. Ia mengepalkan tangannya hingga semburat uratnya menyembul dibalik kulit. 

"Kau ingin membahas itu di sini?"

"Tidak, tentu saja tidak. Reputasimu adalah yang utama Tuan Yoga, kau sudah tau itu 'kan. Kewajibanku untuk melindungimu dari semua skandal yang ternyata benar adanya," Yoga tampak gusar karena berkali-kali mendapat serangan telak dari Tasya. "Aku tekankan sekarang padamu, Tuan Yoga Alvarendra. Anggap aku sebatas rekan kerja mulai hari ini, karena status istri sudah ada yang mengambil alih."

"Tasya... apa maksudmu?" Yoga mengetatkan rahang. Apa yang salah dengan perkataan Tasya? 

"Jangan pernah menggangguku, ingatkan padanya akan statusku. Aku harap kau mengerti seperti aku yang selalu mengerti dirimu," Tasya berkata dengan setenang mungkin. 

"Mengerti? Apa yang kau mengerti selain dengan bisnis?" ejek Yoga. 

"Setidaknya aku tau makanan kesukaanmu, tidak seperti dirimu yang bahkan tidak mengingat tanggal pernikahan kita. Tidak masalah... karena sudah tidak penting lagi. I'm done, kita bertemu di ruang meeting," Tasya meninggalkan Yoga yang terperangah dengan perkataan istrinya.

Mereka berdua terlahir dengan watak yang sama, dingin, kaku dan keras kepala. Namun, Tasya selalu berusaha mengimbangi suaminya. Hingga Yoga lupa diri, lupa jika dirinya pun punya kelemahan. Egonya yang setinggi gunung menjadikan gengsi sebagai pedoman hidupnya. 

***

Meeting dimulai, semua berjalan lancar. Tasya dan Yoga bersikap selayaknya tidak pernah terjadi perseteruan di antara mereka.

"Terima kasih Tuan dan Nyonya Alvarendra, saya akan menyampaikan hasil rapat ini pada Tuan Damian selaku CEO Fernandez Realty Corp. Saya undur diri," pria muda itu memberi salam sebelum pergi meninggalkan ruangan meeting. 

Tasya memasang senyum menawan melepas kepergian rekan bisnisnya. Setelah itu senyuman itu memudar menjadi sebuah garis datar. Tasya beranjak mengambil tas lalu hendak kembali ke ruangannya. Namun, Yoga berdiri menjulang menghalangi jalannya. 

Tasya menatap malas pria yang memiliki dua istri tersebut.

"Ada apa lagi, Tuan Yoga?"

"Sekarang sarkas menjadi keahlianmu, hah?" ucap Yoga sinis.

Tasya berdecih. Kenapa semakin hari pria di hadapannya semakin menyebalkan, lebih tepatnya memuakkan. "Aku tidak perduli, bisa tolong biarkan aku pergi?" usir Tasya.

"Kita harus selesaikan ini, Tasya!"

"Semua sudah selesai, Yoga. Sejak kau membawa wanita itu ke dalam mansion kita!" Tasya mendorong dada Yoga dengan telunjuknya. "Apa lagi yang kau inginkan dariku yang bermasalah ini?"

Yoga mengusap wajah kasar. "Baik, aku salah... aku sudah mengatakan hal buruk padamu."

"Lupakan, aku tidak ingin mendengar apapun."

"Tasya, semua terjadi begitu saja..."

"Ya... semua sudah terjadi... bagai gelas yang sudah pecah, tidak akan bisa diperbaiki lagi," Tasya merangsek maju melewati tubuh Yoga yang terdiam terpaku. 

'Brengsek! Mengapa rasa sakit ini tidak kunjung hilang? Rasanya begitu nyeri hingga membuatku ingin mati!' maki Tasya pada hatinya yang lemah.

***

Di lain tempat, tampak Renata yang sedang menikmati segala kemewahan di dalam mansion. Ia bertingkah bagai Nyonya karena Yoga memberinya kekuasaan dengan berpesan pada semua pelayan untuk mematuhinya. Tentu saja Melati orang pertama yang menentangnya. Gadis itu tidak mau menurutinya, baginya Majikannya hanyalah Tasya seorang. 

"Melati! Buatkan jus melon!" perintah Renata sambil berkacak pinggang. 

"Saya hanya melayani Nyonya Tasya." Sahut Melati acuh.

"Aku istri Tuanmu, aku juga Nyonya di sini. Kau mau aku adukan pada suamiku agar kamu di pecat?" ancam Renata. 

Melati bergeming, melihat hal itu membuat Renata marah. Ia menarik Melati dengan kasar dan mendorongnya hingga terjerebab. 

"Aakkhh..." pekik Melati. Kepalanya terantuk sudut meja hingga menggoreskan luka. 

"Siapa suruh kau melawanku?" teriak Renata kesal.

Namun,  itu hanya sementara karena kemudian wajah Renata pias. Suara dingin seseorang di belakang tubuhnya mampu membuatnya bergidik ngeri.  

"Apa yang kau lakukan?"

"Eh, Kakak Tasya..." cicitnya takut.

Renata menguji kesabaran Tasya dengan panggilan menjijikkan. Tasya beralih pada Melati yang terduduk di lantai. Tangannya memegang kening. 

"Melati, kenapa kau duduk di lantai?" 

Melati mendongak, mataku melebar saat melihat luka dikeningnya. Aku menatap tajam pada istri baru Yoga itu. 

"Kau apakan Melati?" desisku mengancam. Tasya mendekati Renata hingga wanita itu berjalan mundur ketakutan. 

"I... itu, Melati jatuh sendiri. Bukan-"

PLAK

Sebuah layangan telapak tangan Tasya menghentikan ucapan Renata. Wanita itu terperangah sambil memegang pipinya yang nyeri dan merah. Mulutnya menganga karena terkejut. Yoga datang bak pahlawan, wanita itu segera menghambur memeluknya sambil terisak. 

"Tasya! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menampar Renata?" pria itu menggeram. 

Tasya melihat suaminya memeluk wanita lain dengan penuh kasih. Mengusap pipi wanita itu dengan lembut. Apakah dia marah? Ya, jika bisa Tasya ingin menjambak rambut wanita itu hingga botak. Menyeretnya hingga keluar pintu mansion. Ah... rasanya mungkin menyenangkan sekali. 

"Bilang pada wanitamu itu, agar jangan mengusikku. Melati adalah orangku, jika dia mengganggunya maka dia menggangguku! Ingatkan juga untuk berhenti memanggilku kakak, aku jijik mendengarnya," ucap Tasya penuh penekanan. 

"Kau begitu arogan, bagaimanapun juga Renata sedang hamil," desis Yoga. 

"Anak itu bukan anakku, untuk apa aku perduli?"

"Dia penerus Alvarendra, yang tidak bisa kau berikan padaku!" perkataan Yoga menacapkan tepat di jantung Tasya. 

Tasya menahan matanya yang nanar. Dia menggapai Melati dan menuntunnya berdiri. Tasya pergi bersama pelayannya meninggalkan tempat itu tanpa kata. Melati memperhatikan wajah Tasya yang begitu kesakitan. Namun, majikannya itu menahannya. Melati memejamkan mata, berusaha untuk tidak menangis karena sikap Tuannya yang terus menyakiti sang Nyonya. 

Tasya menerawang memandangi setiap sudut ruangan di sepanjang jalan menuju kamarnya. Entah mengapa rasanya begitu panjang dan mereka tidak kunjung sampai.  'Sampai kapan aku bisa mengemban janji ini? Rasanya aku ingin berhenti saja. Ibu... bolehkah aku menyerah?'