Yoga sampai rumah dengan hati yang kusut. Mengapa ia harus begitu perduli dengan kepergian Tasya?
Perkataa Tasya yang terus memojokkannya sedikit mengganggunya. Ketika memasuki ruang pantry, dia mendengar suara Renata yang mencak-mencak memarahi guru kepribadiannya.
"Aku sudah mengikuti semua, kenapa kau membuatnya semakin sulit? Tidak perlu baca buku! Aku tidak mau!" hardik Renata.
"Tapi Nona..."
"Panggil aku Nyonya!!!"
"Eh... iya tapi Nyonya ini memang dasar yang harus Nyonya pelajari," bujuk guru tersebut.
Renata melempar buku itu ke meja hingga berantakan, matanya melotot karena emosi.
"Kau saja baca buku kamus itu!!!" pekik Renata.
Yoga yang mengamati dari jauh hanya bisa menghela nafas lelah. Ia baru mengetahui sifat asli wanita itu yang rewel dan sulit diatur, padahal kelas kepribadian bagus untuknya sekaligus mengatur emosi agar tidak meledak-ledak. Pria itu pun memilih mendekat hingga Renata menyadari keberadaannya. Wanita itu sempat terkejut lalu menunduk antara malu dan takut.
"Belajarlah dengan baik, ini untuk kebaikanmu juga," Yoga mengusap rambut Renata.
Wanita itu memperlihatkan wajah memelas teraniaya. Guru kepribadian hanya bisa menahan kesal di dalam hati.
"Tuan... guru ini mempersulitku, aku sudah belajar dari kemarin dan tidak pernah cukup untuknya," Renata mengadu.
"Tasya belajar kepribadian hampir 2 tahun agar benar-benar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari... dan kau bisa lihat sekarang seperti apa dirinya. Semua hal tidak ada yang instan, Renata..." jawab Yoga membuat wanita itu bungkam.
Dirinya dibandingkan dengan Tasya membuatnya kesal. Tasya hanya lebih baik dalam berjalan dan bersikap, tidak lebih baik darinya di atas ranjang pikir wanita itu.
"Aku tidak mahir dalam semua ini, bisakah Tuan memakluminya?" Renata mengusap dada bidang Yoga dengan tatapan memohon. "Tuan pasti lelah, bagaimana kalau aku pijat di kamar," rayunya.
Yoga menatap datar untuk sesaat, lalu menurunkan tangan Renata. Ia tahu jika wanita itu sedang mengalihkan perhatian, Yoga harus lebih bersabar, Renata adalah wanita polos yang belum mengerti apa-apa. Pasti semua ini sulit untuknya.
"Kamu harus tetap belajar, meski sedikit. Pasti ada ilmu yang bisa kamu ingat nanti, Ok!" Yoga tersenyum.
Renata hanya bisa mengerucutkan bibirnya karena kesal. Yoga terkekeh melihat hal itu, andai Tasya semanis Renata... senyuman itu pun memudar. Yoga memilih pergi menuju ruang kerjanya untuk mengusir pikirannya yang semakin semrawut karena kedua istrinya.
Renata pun tidak bisa menahan Yoga yang tiba-tiba pergi meninggalkannya. Suara guru kepribadian kembali membuatnya naik pitam.
"Baik Nona, kita ulangi lagi."
"Sudah kubilang, panggil Nyonya!!!"
***
Taman Kota
Tasya menikmati ice cream ditemani badut pikachu yang baru saja menabraknya. Ia tersenyum sumringah karena ada teman untuknya mengobrol meski badut itu tidak pernah menyahutinya. Tanpa dia tahu jika pria muda itu terus mengamati wanita tersebut.
'Dilihat dari cara makannya, ia bukan orang biasa. Siapa dia?' batin pria itu.
Setelah ice creamnya habis Tasya baru memulai percakapan yang sedari tadi ingin dilontarkannya.
"Aku sedang sedih, tapi aku senang karena bertemu denganmu pikachu..." Tasya duduk menyender pada badut itu hingga membuat pria itu terhenyak sesaat. "Temani aku dan dengarkan aku saja... aku sedang butuh media pelepas amarah... dan kau datang bagai pelipur lara... ternyata Tuhan masih sayang padaku," ucapnya sambil menerawang awan di langit.
Pria itu tidak mengerti dengan semua yang dibicarakan oleh wanita itu, dia memilih mendengarkan saja. Namun ia tidak memungkiri jika dia pun merasa nyaman di dekat wanita itu.
"Pikachu... jika suatu hari... milikmu di rampas, kau memilih berbagi atau melepasnya?" celoteh Tasya. "Sebenarnya tidak dirampas juga, mungkin lebih tepatnya milikmu itu yang ingin lepas darimu... dia mencari yang lain... apa yang sebaiknya aku lakukan?"
Pria muda itu berfikir. Milik? Dirampas? Kenapa wanita ini memakai kiasan? Membuatku harus perfikir keras, karena yang aku tau... milik itu ya yang di bawah, diantara selangkangan, keluhnya dalam hati.
Tasya menoleh pada badut yang terdiam. "Kau tidak tidur kan? Jangan-jangan curahan hatiku menjadi lagu nina bobomu?"
Badut itu menggeleng. Pria itu pun frustasi karena tidak mengerti apa maksud wanita itu hingga kini.
Tasya tersenyum, ia senang ternyata badut itu terus mendengarkannya. Dia melirik arloji pada tangannya, dan menghela nafas ketika tau sudah menunjukkan pukul 17.00. Wanita itu beranjak dari kursi lalu menoleh pada sang badut.
"Terima kasih untuk hari ini… aku sebaiknya pulang sekarang karena sudah sore," Tasya mengambil beberapa lembar uang berwarna merah dan menaruhnya di atas meja stan ice cream. "Ini untuk jasa mendengarkanmu, sampai jumpa lagi." tambahnya dengan senyuman.
Pria itu terkesima oleh senyuman menawan Tasya hingga tanpa sadar tangannya menggapai lengan wanita itu, menahan langkahnya untuk pergi.
Tasya melihat tangan badut yang menahannya. Dia pun mengeryit bingung. "Ada apa?" Badut itu bergeming. Saat itu juga mata Tasya melebar seperti ingat sesuatu. "Ah... aku tau! Pikachu, kamu belum tau namaku 'kan!"
Badut itu mengangguk, ya... dengan berbekal nama mungkin pria itu bisa mencari tahu tentang wanita di hadapannya ini.
"Panggil aku Tasya, mulai hari ini kita berteman," ucap Tasya sambil mengerlingkan mata.
Wanita itu tidak tau, jika itu serangan mematikan untuk jantung pria muda tersebut. Tangan badut itu pun terlepas karena dia harus menyelamatkan jantungnya yang hampir melompat. Tasya pun pamit sambil melambaikan tangannya.
"Apa-apaan dia... aku hampir mati karena senyumannya," pria itu mengusap dada dengan perlahan.
Pria itu memilih kembali ke tempat costum itu dipinjam. Selama bocah tanggung itu memakai costum, tampak pria muda itu terus berfikir. Beberapa saat, pria itu pun menjentikkan jarinya.
"Hei, kamu! Tolong costum ini kau loundry terlebih dahulu, tadi saat aku memakainya rasanya sangat gatal dan bau," keluhnya.
"Hehehe, maaf ya Mas... memang belum pernah dicuci sejak pertama beli," kekeh bocah tanggung itu.
"Memangnya sudah berapa lama costummu itu?"
"1 tahun kayanya Mas."
Pria itu pun bergidik ngeri, bisa-bisa dia panuan sehabis memakai costum itu. "Dasar jorok! Pokoknya besok harus sudah bersih, karena besok aku akan pinjam lagi," tegas pria itu.
"Maksudnya Mas mau sewa lagi ke saya?"
"Iya, makanya besok harus sudah bersih dan wangi. Ngerti?!"
Bocah tanggung itu pun mengangguk. Senyuman terukir di bibir pria itu.
"Kita pasti bertemu lagi, Tasya..." ucapnya pelan.
"Siapa Mas?" sahut bocah tanggung.
Pria itu mendelik kesal, bocah keppo yang selalu memanggilnya Mas.
"Berhenti panggil Mas, panggil Kakak saja... Kak Damian!" sungutnya.
"Woah... namanya keren Mas... eh, Kak..." bocah itu tersipu malu. "Kalo saya namanya Udin, Kak."
"Ok, Udin... mulai besok aku penyewa tetap costum kamu."
Udin mangut-mangut mengerti, tidak lama segerombolan bodyguard datang menghampiri dan menyeret Damian untuk pulang.
"Ingat ya, CUCI SAMPAI BERSIH!!!" teriaknya pada Udin yang meringis melihat Damian diseret oleh 4 orang berbadan tinggi kekar.
Tbc.