Chereads / My Promise is My Life / Chapter 5 - Ice Cream

Chapter 5 - Ice Cream

Tasya dan Yoga sampai hotel secara bersamaan meski mereka berbeda mobil, Yoga membukakan pintu untuk istrinya. Tasya tersenyum ramah dan menggapai tangan yang diulurkan Yoga padanya. Cahaya lampu blitz menerpa mereka berdua, para paparazzi mengikuti pergerakan sejoli idaman seantero negeri.

Yoga merangkul pinggul Tasya dengan posesif, senyuman rupawan pun terulas di wajahnya. Mereka berdua begitu terlihat serasi. Bagai tutup dengan botolnya, seolah Tuhan memang menciptakan mereka berjodoh sejak dilahirkan ke dunia.

Sepanjang acara tangan Yoga terus melingkar di pinggang istrinya, meski risih Tasya berusaha menahannya. Mereka harus terlihat akur di hadapan semua rekanan bisnis dan media yang juga hadir pada acara amal tersebut.

Bibir Tasya serasa pegal, karena senyuman terpaksa itu. wanita itu mendekatkan bibir pada telinga Yoga lalu berbisik. "Setelah ini aku pulang sendiri!"

Yoga menoleh hingga hidung mereka hampir bersentuhan, Tasya segera menjauhkan wajah darinya. "Mau kemana?"

"Bukan urusanmu," jawab Tasya acuh.

"Wah... kalian selalu membuat iri siapa saja, meski sudah lama menikah. Kalian selalu romantis ya!" suara salah satu awak media mengejutkan mereka. Tasya dan Yoga pun tersenyum kikuk menanggapi.

"Kami lebih terlihat seperti teman," sanggah Tasya.

"Teman hidup," sahut Yoga membuat Tasya memelototinya.

"Ya benar, teman hidup. Boleh kah kami mengambil beberapa gambar kalian? Kami akan menaruhnya di halaman depan," ucap wartawan itu antusias.

Tasya hanya mengangguk, sedangkan Yoga tersenyum senang.

'Ada apa dengannya? Apa dirinya salah makan tadi pagi?' tanya Tasya aneh dalam hati.

Pengambilan beberapa foto selesai, acara pun berakhir dan kini Tasya sudah berada di lobby hotel. Yoga menyusulnya dari belakang dengan terburu-buru.

"Tasya!" Yoga mencekal tangan istrinya.

Tasya melirik pada tangannya, Yoga kemudian melepasnya.

"Sebaiknya kau ikut pulang bersamaku," pintanya.

"Untuk apa?" Tasya merentangkan jari dan menelisik setiap cat kuku yang baru diaplikasikan tadi pagi.

'Warna ungu, warna janda... apa aku akan berakhir menjadi janda?' batin Tasya mengejek.

Tasya pun menoleh pada Yoga. "Tidak perlu khawatir... aku hanya sedang ingin menghirup udara segar. Akhir-akhir ini udara di rumah menjadi pengap," tambahnya membuatnya pria itu menghela nafas.

"Baik, biar aku an-"

"Aku sedang ingin sendiri... jauh... jauh darimu, aku harap kau mengerti."

"Tasya, kupikir kau tidak lupa siapa kamu saat ini. kau istriku!"

"Aku tahu, semua orang pun tahu jika kau memiliki dua istri."

"Tasya!" Yoga menggeram menahan suaranya yang meninggi.

"Kau ingin kita buat keributan di sini?" pancingku dengan seringai.

Yoga menoleh ke segala arah, masih banyak orang di sana. Ia akhirnya mengalah dan pulang sendiri tanpa Tasya.

"Aahh... bagus... pergilah... melihatmu membuatku sesak." Tasya melambaikan tangan pada mobil Yoga yang berjalan meninggalkan hotel.

Setelah itu Tasya berjalan tanpa arah, menikmati hembusan angin yang terasa dingin membeku.

***

"Cepat cari!" perintah seorang pria paruh baya pada beberapa bodyguard.

Suara dering ponsel mengagetkannya hingga hampir melompat. Wajahnya pias saat melihat siapa yang menelponnya. Didekatkannya ponsel itu pada telinga sambil memejamkan mata ngeri.

[Ya, Tuan Besar.]

[DIMANA DIA?] bentak seseorang di seberang sana membuat pria itu menjauhkan ponselnya.

[Ma-maaf Tuan besar... Tuan Muda tiba-tiba menghilang,] keluhnya dengan pasrah.

[CARI DIA SAMPAI KETEMU!! jika tidak... aku akan menyumpal mulutmu dengan kaos kaki ku, MENGERTI?] panggilan pun terputus.

Tubuh pria paruh baya itu merosot ke tanah, rasanya ia ingin menghilang saja.

"Tuan Muda... kasihanilah saya... saya belum mau mati karena kaos kaki bapakmu, Tuan..." gumamnya nelangsa.

Yang bersangkutan malah sedang asik cekikikan di bangku taman sambil memainkan game di ponselnya.

"Aku tidak mau menghadiri acara membosankan itu, buang-buang waktu!" monolognya.

Tidak lama suara panggilan dari seseorang terdengar samar. Pria muda itu berdecak.

"Sial... cepat juga larinya," ia beranjak dari bangku taman kemudian tatapannya terpaku pada badut yang sedang istirahat dibangku taman yang lain.

"Hei kamu!" panggil pria itu pada badut yang sedang duduk.

"Saya?" badut itu menunjuk pada diri sendiri.

"Ya, kamu... kemari!" pinta pria muda itu.

Sang badut pun menghampiri. "Ada apa bang?"

Weiittss... dipanggil abang... emang tukang bakso?

"Saya bukan abangmu, enak aja panggil abang," ucap pria muda itu ketus.

"Eh, iya maaf... Mas..."

"Ini lagi, Mas... Mas... ah terserah lah," pria muda itu menengadahkan tangannya pada badut itu. Sedangkan sang badut mengeryitkan kening bingung.

"Hadeuuhh... pinjami aku costummu, nanti aku kembalikan."

Badut itu tampak merengut sambil memegang costumnya erat. Pria muda itu mendesah lelah kemudian merogoh saku celananya, diambilnya beberapa lembar uang kertas berwarna merah dari dompetnya.

"Aku pinjam tidak gratis, cepat!" Pria muda itu menyodorkan uang itu pada sang badut.

Tanpa kata, badut itu pun melepas kostumnya dengan wajah berbinar. Kapan lagi bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Bahkan selama seminggu keliling kampung pun hasilnya tidak akan sama dengan uang yang diberikan pria muda tersebut.

Pria muda itu memakai costum itu terburu-buru, bertepatan dengan segerombolan bodyguard yang mencari dirinya datang.

"Dek, lihat pria ini tidak?" Tanya bodyguard sambil memperlihatkan foto seseorang.

Bocah tanggung itu menoleh pada badut yang duduk manis di bangku tanpa suara, kemudian menggeleng pada bodyguard.

"Tidak lihat ya? Haduh... dicari kemana lagi neh?" tanya bodyguard itu pada rekannya.

"Makan siang dulu yuk, ada nasi padang tuh di seberang. Capek udah keliling tidak ketemu juga," ajak rekannya yang kemudian di anggukinya.

Pria muda itu melihat para bodyguard yang pergi, lalu membuka costum kepalanya sambil tersenyum.

"Good boy," ucapnya sumringah. Ia beranjak dari bangku hendak pergi. "Aku pinjam dulu ya sampai sore, nanti kita ketemu lagi di sini," jelasnya yang diangguki bocah tanggung itu.

Pria muda itu kembali memasang costum badut yang terlihat kusam. Sepertinya ia menikmatinya, dapat pergi bebas ke mana saja tanpa di kejar-kejar oleh anak buah ayahnya.

Saat ia berjalan sambil memandangi hingar bingar kota tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Salah satu kesulitan memakai kostum itu adalah melihat ke bawah karena terganjal kostum kepala yang tidak bisa menekuk.

"Aduh... maaf..."

Suara lembut terdengar menarik perhatiannya. Pria muda itu meraih pinggang seseorang tersebut karena tadi hampir terjatuh.

"Hei... kau badut, terima kasih."

Pria muda itu hanya bisa terdiam saat melihat siapa yang ia tabrak. Wanita yang sangat cantik yang belum pernah ditemuinya. Bahkan mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara karena terpesona.

"Kau diam saja... tidak mau menjawab?"

Pria itu memilih diam... lalu menggeleng. Mungkin sebaiknya ia tidak memperlihatkan identitasnya dulu, apalagi para bodyguard itu masih berkeliaran mencarinya.

"Hm... memang badut itu diam saja ya, seperti caplin," ucap wanita itu. "Baiklah, bisakah kau menemaniku? Hatiku sedang tidak baik," suara wanita itu terdengar getir.

Pria itu hanya diam sambil terus mengamati wanita itu dengan seksama.

"Aku akan membayarmu, pasti lelah sekali kamu harus berkeliling mencari uang," wanita itu meraih tangan costum. "Ayo! temani aku makan ice cream." Wanita itu membawa badut bersamanya ke arah stan ice cream.