Tasya menjalani hari yang layaknya neraka dengan besar hati. Wanita itu harus kuat, jika tidak dia akan mati berdiri melihat kemesraan suami dan istri barunya yang tidak kenal tempat. Renata seolah memancingnya agar marah, menunjukkan jika dia mendapatkan perhatian serta kasih sayang dari Yoga. Wanita itu tidak jarang bergelayut manja pada Yoga di hadapan Tasya. Sayangnya, semua itu percuma. Tasya sama sekali tidak memberikan respon apa-apa. Yoga pun mulai gusar melihat respon Tasya padanya, hingga dia terkadang meladeni Renata mengikuti permainan kekanakan istri ke-duanya itu.
Semakin hari Renata semakin menunjukkan tabiat sesungguhnya dengan mengikuti semua cara berpakaian Tasya. Tukang plagiat yang berusaha merubah takdirnya dari burung gagak menjadi seekor phoenix, ia ingin menjadi seperti Tasya. Sungguh mimpi di siang bolong.
Yoga pun berusaha merubah Renata agar pantas bersanding dengannya dengan menyewa guru-guru kepribadian ke mansionnya. Dan kebetulan hari ini jadwal kelas kepribadian untuknya.
Tasya hanya menatap malas pada Renata yang menghampirinya, berusaha berjalan anggun dengan highhels di kakinya meski terseok-seok. Tasya ingin tertawa lepas melihat kekonyolan wanita itu. Butuh waktu yang lama untukmu terbiasa berjalan sesuai ritme, lagi pula untuk apa memakai sepatu 7 senti di dalam rumah? Menyiksa diri sendiri. Kecuali kau ingin parises menjalari tungkai betismu.
Tasya sedang minum teh didampingi Melati, setiap pagi Tasya sebisa mungkin berjemur. Memanfaatkan sinar matahari yang kaya akan vitamin E. Namun, Renata mengganggu ritual itu. Dia berdiri menghalangi sinar matahari pagi yang sangat berharga dibanding keberadaannya.
"Ka-"
Tasya memicingkan mata saat mulut Renata hendak memanggilnya dengan sebutan menjijikkan. Renata pun menelan salivanya lalu melanjutkan kata.
"Ehm... Nyonya Tasya... aku akan belajar menjadi anggun sepertimu, mendampingi Tuan dengan pantas!" celotehnya membuat Tasya terkekeh.
Tasya diam saja, memilih menyesap secangkir teh yang ada di tangannya. Tapi, Tasya mengerutkan kening karena tiba-tiba rasanya menjadi kecut. Apa karena keberadaan Renata? Sungguh menyebalkan.
"I don't care, seberapa pun kerasnya kamu mencoba mencari perhatianku, aku katakan semua itu sia-sia." Tasya menggedikkan dagu memberi isyarat. "Pergilah, kau menghalagi cahaya matahari yang sangat berharga," sarkasnya mengusir Renata.
Renata mengepalkan tangan, lalu berbalik sambil menghentak langkahnya dan pergi. Tasya mengulum senyum manis melihat kemarahan istri baru Yoga itu.
"Nyonya, kenapa anda begitu tenang? Bahkan membiarkan Tuan tidur bersama gundik itu," Melati berkata dengan tidak suka. Matanya memicing melihat Renata dari kejauhan.
"Jaga bahasamu sayang, aku memang tidak tau asal usulnya. Tapi sebutan guntik terlalu kasar dan mengotori mulut manismu," tegur Tasya.
Tasya tidak mau Melati menjadi sama liarnya dengan wanita itu. Biarkan saja dia mau melakukan apa, Tasya hanya akan bertindak saat Renata mengusik atau mengganggunya lebih dari ini.
Melati berasal dari keluarga baik-baik, ayah dan ibunya adalah kepala pelayan di keluarga Alvarendra. Melati seorang sarjana di universitas dalam negeri, dan mengabdi pada Tasya sejak Tasya menikahi Yoga. Jika Renata merasa lebih tinggi dari Melati, maka dia salah besar.
Tasya beranjak dari kursi taman, dia harus menghadiri acara amal hari ini. Seperti biasa... menemani Yoga di depan publik.
***
Renata mulai bosan dan melempar buku tebal yang harus dibacanya dari guru kepribadian. Berulang-ulang guru kepribadian mengajarinya. Namun, wanita itu seolah sulit untuk belajar.
"Hanya berjalan, kenapa susah sekali? Harus membaca buku yang seperti kitab, menyebalkan!" keluhnya.
Renata melompat ke atas ranjang empuk hendak tidur. Namun, ia segera bangkit dari duduknya ketika Yoga memasuki kamar. Tampak pria tampan itu sudah rapi dengan jas armani membalut tubuh atletisnya. Renata tidak berkedip melihat pesona Yoga yang menghipnotis.
Wanita itu berjalan mendekat dengan senyum andalannya. "Tuan sudah rapi dan tampan, Tuan mau kemana?" ucapnya selembut mungkin.
Yoga menoleh dan tersenyum. "Aku akan menghadiri acara amal, kamu di rumah saja ya," pria itu mengusap rambut Renata. Tampak jika Yoga begitu mengasihi istri barunya itu.
Tanpa kata Renata langsung memeluk Yoga. "Aku ingin ikut Tuan, aku tidak akan mengganggu. Aku hanya ingin bersamamu," bujuknya manja. Yoga sempat terkejut dengan sikap Renata.
Yoga mengusap punggung Renata dengan sayang. "Maaf, aku tidak bisa membawamu. Karena semua orang tahu jika istriku hanya Tasya. Bersabarlah... semua ini demi menjaga perusahaan agar tetap stabil."
"Aku cemburu Tuan... Nyonya bisa kapan saja dekat dengan Tuan, sedangkan aku? Hanya bisa menunggu di sini. Aku kesepian... aku butuh Tuan," Renata menatap dalam manik Yoga. Ia mendekati wajahnya pada pria itu lalu mendaratkan kecupan pada bibirnya.
Yoga yang terhenyak sesaat akhirnya terbuai. Renata begitu lemah dan lembut di matanya. Sosok yang tidak ada pada diri Tasya. Saat nama istrinya terlintas, Yoga menarik dirinya dari ciuman tersebut.
"Kenapa Tuan?" wanita itu tampak kecewa.
Yoga menoleh pada pintu kamar yang tidak tertutup rapat. Tidak ada siapa-siapa di sana. Ia pun kembali memandang Renata yang masih memeluknya.
"Sudah terlambat, aku harus pergi." ucapnya pelan lalu melepas rangkulan Renata.
"Baiklah, malam ini aku harap Tuan tidan lelah... sejak malam itu... Tuan belum menyentuhku," cicitnya sambil mengusap dada Yoga.
Yoga terdiam sesaat. Selama tidurnya terpisah karena Tasya yang menolaknya, dengan terpaksa dirinya tidur bersama Renata. Meski tidak terjadi apapun karena Yoga seolah enggan melakukannya. Yoga memilih mengacak rambut Renata.
"Berdo'alah agar aku tidak lembur, aku pergi," Yoga mengecup kening Renata lalu melenggang pergi.
Renata menatap sinis, kesal karena sikap Yoga yang seolah tidak terpancing rayuannya. Dia tidak akan pernah melupakan malam panas yang ia lalui bersama Yoga, meski pria itu tidak mengingatnya karena saat itu Yoga dalam keadaan mabuk berat.
Pengakuan Renata akan dirinya yang telah terenggut kegadisannya mengharuskan Yoga menikahinya. Hingga di sini Renata berada, di mansion Ares sebagai istri ke-dua. Ditambah kabar kehamilannya membawa angin segar untuk Yoga yang telah menanti penerus sejak lama.
***
Yoga mengeryit ketikamelihat Tasya menundukkan kepala di dalam mobil. "Kau kenapa?" tangannya hendak menyentuh Tasya. Namun, wanita itu segera menghindar.
Tangan Yoga menggantung lalu terkepal sebelum kembali ke tempatnya.
Tasya menengadah dengan hidung yang memerah serta mata yang basah. Dia masih saja menangisi pria brengsek di sampingnya. Sebenarnya, saat ingin memanggil Yoga untuk ke mobil, Tasya melihat suaminya mencium wanita itu. Rasanya teramat sakit, melihat Yoga yang seperti menikmatinya menjadi pemandangan menyayat untuk wanita itu. Apa lagi yang bisa Tasya harapkan?
"Aku tidak apa-apa, menjauhlah," tegas Tasya lalu memalingkan muka.
"What's wrong with you?" Ares tersinggung dengan perkataan Tasya.
"Semua masalah memang berawal darimu," ucapnya datar. "Jangan bahas ini lagi jika kamu tidak ingin mempermalukan diri sendiri." Tasya keluar dan berpindah mobil. Dia tidak ingin berlama-lama dalam satu ruangan bersama Yoga.
Yoga menghela nafas kasar, sikap Tasya diluar ekspektasinya. Tasya menjaga jarak dengannya, bahkan terkesan tidak peduli, padahal sebelumnya dirinya lah prioritas wanita itu. Sikapnya memang tidak lembut, Tasya mempunyai karakter yang tegas dan kuat. Membuat Yoga menginginkan Tasya yang lain. Yang ia temukan di dalam diri Renata.