Chereads / Tears in Heaven / Chapter 3 - 3. Sungai Zhi

Chapter 3 - 3. Sungai Zhi

Matahari sudah benar-benar terbenam di ufuk barat, suara burung gagak mulai berkicau dan angin berhembus sedikit kencang. Wei Feifei menyusuri jalanan terjal dengan lemas. Perjuangannya sampai ke Ghuzhi tidak mudah, ia harus kabur dari kakaknya yang sudah mengurungnya, harus melewati danau yang penuh buaya, menyusuri hutan dan naik di perbukitan. Sekarang Wei Feifei merasa sudah sia-sia melakukan perjalanan yang panjang. Langkah gadis cantik itu dengan lemas menuju ke pinggiran sungai, ia istirahat dengan duduk di bebatuan yang ada di sana.

Sungai Zhi terkenal dengan sungai terjernih di Kota Lebah. Saking beningnya, ikan-ikan yang ada di sana akan terlihat saat siang hari. Di malam hari, semua tampak gelap, hanya ada cahaya rembulan yang menyinari tempat itu. Wei Feifei terdiam seorang diri sembari memejamkan matanya. Desiran air sungai terdengar merdu di telinganya.

Rasa kesal Wei Feifei masih berada di puncaknya. Mengingat wajah Lan Yunxi membuat Feifei ingin menggoreskan pedangnya di sana. Wei Feifei membuka matanya tiba-tiba, gadis itu meraih batu dan menggenggamnya dengan erat.

"Orang-orang itu sudah kurang ajar. Awas saja kalau ilmuku sudah tinggi, aku babat habis mereka semua," ucap Feifei seorang diri.

"Aaaaa dasar bedebah sialan!" teriak Feifei lagi. Feifei melempar batu dengan kencang ke arah sungai. Napas gadis itu terengah-engah karena rasa amarah yang memuncak.

Suara desisan terdengar pelan, Feifei menajamkan pendengarannya. Gadis itu menundukkan kepalanya, matanya membulat sempurna saat melihat ular besar merayap ke batu yang saat ini dia duduki. Dengan spontan Feifei berdiri. Gadis itu melompat ke batu lain.

Feifei meniup jari telunjuk dan tengahnya, meniupkan kekuatan sihir dan melemparnya ke arah ular besar itu. Ular itu terpental dengan kencang. Feifei turun ke tanah untuk mendekati ular itu. Ia kira ular itu sudah mati, tapi saat ia mendekat, ular itu kembali berdiri dan mengarahkan ekornya ke arah Feifei. Feifei dengan cekatan menghindar, gadis itu mengeluarkan ilmu sihirnya lagi untuk menjinakkan ular itu. Bukannya semakin jinak, ular itu semakin menggila mengibaskan ekornya ke arah Feifei. Feifei berusaha menyerang ular hitam dengan kepala berwarna merah itu. Feifei juga mengacungkan pedangnya ke ekor ular, darah mengucur deras dari sana. Feifei melompat ke bebatuan, melihat ular yang sudah melemas. Feifei kembali meniup jarinya dan mengarahkan ke ular.

Asap hitam keluar dari tubuh ular dan terbang ke atas. Feifei terkesiap, ia menatap asap itu yang tampak menggumpal. Feifei kembali mengacungkan pedangnya, tapi tubuhnya terpental kencang dan terbanting di tanah yang penuh bebatuan.

"Akhhhh …." Feifei berteriak nyaring saat kakinya terasa sakit. Feifei merasakan darah segar merembes membasahi kakinya. Gadis itu mencoba bangun, tapi kakinya terasa sangat sakit.

"Apa ada orang di sana?" teriak suara seorang pria. Feifei menolehkan kepalanya. Ia melihat seorang pria berpakaian putih datang membawa kail menuju ke arahnya.

Wenning menajamkan penglihatannya, saat melihat seorang gadis yang tergeletak di bebatuan pun ia segera menghampiri.

"Kamu siluman apa manusia?" tanya Wenning.

"Manusia," jawab Feifei.

Wenning melempar kailnya dan segera membantu Feifei. Wenning melihat baju bawah Feifei yang basah akan darah.

"Kamu terluka," ucap Wenning menyibak baju Feifei. Kaki Feifei terluka dengan goresan yang cukup panjang.

"Ini pasti tergores batu," jawab Feifei menarik kembali bajunya.

"Kamu siapa? Kenapa kamu bisa disini?" tanya Wenning.

"Aku Feifei, aku terjebak di sini gara-gara tidak boleh masuk di Padepokan Ghuzhi. Gara-gara guru sialan itu aku terdampar dan harus melawan ular sialan. Untung ularnya sudah mati," oceh Feifei menunjuk ular di depan yang sudah mati dengan darah yang berada di ekornya.

Wenning tercekat melihat ular itu dan bercak darah yang ada di tanah. "Kamu melawan ular itu seorang diri?" tanya Wenning. Feifei menganggukkan kepalanya.

Wenning menatap lekat gadis cantik di hadapannya. Sangat cantik di gelapnya malam, wajah seputih susu dan lesung pipi. Pertama melihat, Wenning sudah mengagumi sosok di depannya. Sadar akan pandangan Wenning, Feifei menarik rambutnya ke depan untuk menutupi wajahnya.

"Ayo aku bantu berdiri," ujar Wenning menarik tangan Feifei. Feifei mengikuti Wenning menuju pinggir sungai di tanah tanpa bebatuan.

"Duduk sini," kata Wenning mendudukkan Feifei di tanah bersandar di bawah pohon. Wenning menuju ke sungai, pria itu mengambil kendi air yang terikat di samping tubuhnya, pria itu mengambil air dan segera menghampiri Feifei lagi.

"Aku mempunyai obat untuk lukamu, tapi sayangnya tertinggal di Ghuzhi. Untuk sementara bersihkan dulu lukanya, aku akan ambilkan obatnya untukmu," ucap Wenning menyiram luka Feifei dengan air. Feifei meringis kecil karena merasa sakit.

"Kamu murid di Ghuzhi?" tanya Feifei.

"Lebih tepatnya aku murid Guru Lan Yunxi di Padepokan Guzo, tapi mulai hari ini aku tinggal di sini," jawab Wenning. Feifei mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Lan Yunxi yang membuatku terdampar di sini. Andai guru itu berempati membiarkanku masuk. Aku tidak akan bertemu ular sialan itu," umpat Feifei. Feifei yakin guru yang berjaga di gerbang itu Lan Yunxi. Ia pernah melihat lukisan wajah pria itu yang digadang-gadang tampan. Namun bagi Feifei, lebih tampan Wei Lian Zai, kakaknya sendiri.

"Oh iya, kamu dari klan mana?" tanya Wenning. Feifei tercekat, gadis itu terdiam sejenak. Kakak dan ibunya sudah berpesan untuk menyembunyikan identitasnya.

"Aku tidak punya marga. Namaku Feifei, hanya Feifei," jawab Feifei memalingkan wajahnya.

"Ohh. Kamu mau ikut denganku? Aku akan memberimu obat."

"Aku tidak bisa masuk di Ghuzhi. Aku sudah mencoba menerobos, tetap saja aku terpental."

"Kamu berani menunggu di sini sendiri?"

"Ya," jawab Feifei.

Wenning menatap lekat ke arah Feifei. Keringat di pelipis gadis itu tampak bercucuran. Napas gadis itu juga terengah-engah dan meringis kesakitan.

"Kamu ikut aku saja, di sini bahaya. Nanti tunggu di depan gerbang," ucap Wenning.

"Aku di sini saja," jawab Feifei.

"Tapi di sini bahaya."

"Aku bisa menjaga diriku sendiri."

"Aku akan mengambilkan obat secepat mungkin. Kamu tunggu di sini jangan kemana-mana," ucap Wenning. Feifei menganggukkan kepalanya.

Wenning segera berdiri, pria itu tidak tega meninggalkan Feifei seorang diri, tapi ia juga harus mengambilkan obat untuk gadis itu.

Wenning berlari meninggalkan Feifei, sesekali pria itu akan menolehkan kepalanya ke arah Feifei yang seorang diri bersandar di pohon. Wenning sampai melupakan rencananya datang ke sungai untuk memancing ikan. Saat pertama kali melewati sungai Zhi, memancing sudah masuk dalam rencana Wenning. Namun siapa sangka ia malah bertemu dengan gadis yang sangat cantik dan tengah terluka.

Di Ghuzhi, Lan Yunxi tengah berdiri di tengah padepokan. Suara gemuruh dari guntur mulai terdengar, pria itu sesekali akan berjalan kecil bolak-balik. Kilat putih seolah membelah langit membuat Yunxi berjalan tergesa-gesa menuju ke gerbang. Bertepatan dengan itu, ia melihat muridnya tengah berlari cepat.

"Wenning," panggil Yunxi menghentikan Wenning.

"Kamu dari mana?" tanya Yunxi.

"Dari sungai Zhi, Guru. Ada seorang gadis yang terluka di sana. Aku akan mengambilkan obat karena luka di kakinya sangat parah," jawab Wenning. Yunxi tercenung, pria itu mencekal tangan Wenning yang akan pergi.

"Gadis itu memakai pakaian serba putih dan mempunyai lesung pipi?" tanya Lan Yunxi.

"Benar, gadis itu baru melawan ular besar."

"Aku yang akan ke sana," ucap Lan Yunxi melepas tangan Wenning.

"Tapi-"

"Istirahatlah, Wenning. Aku yang akan membawakan obat untuknya," kata Yunxi tidak mau dibantah. Pria itu bergegas menuju ke gerbang utama Ghuzhi. Wenning ingin berbicara, tapi terhenti saat membuka mulutnya ia tidak bisa mengeluarkan suaranya.

"Hem … emphhh …." Wenning berusaha kuat untuk berbicara, tapi tidak ada satu patah pun kata yang bisa terucap dari bibirnya.

Lan Yunxi melirik sekilas ke arah Wenning, ia lah dalang dibalik tidak bisa bicaranya Wenning. Sedangkan Wenning yang tersadar itu ulah Yunxi pun hanya bisa terdiam lemas. Lan Yunxi kembali menggunakan kekuatannya membungkam bibir orang. Dalam waktu satu jam lah suaranya bisa kembali. Lan Yunxi tidak mempedulikan Wenning lagi dan segera keluar gerbang Ghuzhi. Guru itu tampak tergesa-gesa menuju ke sungai Zhi tepat di mana Wenning menemukan gadis yang tadi sudah ia usir.