Wei Feifei mengeratkan pakaiannya karena hawa dingin yang sangat menusuk kulit. Baju bawahnya robek sebagian karena tergores batu tajam. Gadis itu menanti Wenning yang katanya mengambilkan obat untuknya. Ia tidak menyangka akan terdampar seorang diri di sungai Zhi. Angin berhembus sangat kencang membuat Wei Feifei segera berdiri dan menyingkir dari pohon. Suara gemuruh guntur juga terdengar. Bulan sabit yang tadi menemaninya kini tertutup oleh awan hitam.
Wei Feifei berjalan tertatih-tatih menjauhi pepohonan yang tampak berayun-ayun. Angin kencang menggugurkan dedaunan kering, Wei Feifei memejamkan matanya karena terasa perih. Sedangkan ilmu sihirnya tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri.
Suara orang berjalan memijak ranting kayu membuat Wei Feifei membuka matanya. "Wenning, apakah itu kamu?" tanya Feifei mencoba menajamkan penglihatannya di suasana yang gelap gulita.
Tidak ada cahaya yang menerangi karena bulan pun tertutup awan hitam, Suara orang berjalan masih terus terdengar. Lambat laun suara itu semakin mendekat membuat Feifei melangkah mundur. Semakin Feifei mundur, semakin maju pula orang yang datang.
"Wenning, itu kamu?" tanya Feifei lagi.
"Akhh!" Feifei tersentak saat seseuatu yang tebal menyampir di tubuhnya. Feifei menarik sesuatu dari tubuh belakangnya, mentel tebal yang sangat hangat.
"Bodoh," ucap seorang pria yang kini berada tepat di hadapan Feifei.
"Lan Yunxi," panggil Feifei setelah menajamkan penglihatannya.
"Ikuti aku!" titah Lan Yunxi.
"Tidak, aku menunggu Wenning di sini," jawab Feifei.
"Wenning sedang dihukum di padepokan," kata Yunxi.
"Hah, kenapa? Dia janji akan kembali ke sini," ucap Feifei memegang tangan Lan Yunxi. Namun Lan Yunxi segera menepisnya.
"Ah maaf," kata Feifei menarik tangannya.
"Dia dihukum karena ketahuan keluar dari padepokan tanpa izin," jawab Yunxi.
"Terus kenapa kamu yang ke sini?"
"Mengambil kail Wenning," jawab Yunxi mengambil kayu panjang dengan mata kail di ujungnya. Namun pria itu melepas mata kailnya dan membuangnya asal, tersisa kayu panjangnya.
Pria itu mengulurkan kayu pada Wei Feifei. "Pegang ini, ikuti aku!" titah Yunxi.
"Tapi-"
"Wenning tidak akan datang."
"Kalau Wenning dihukum keluar tanpa ijin, harusnya kamu juga dihukum sesampainya di Ghuzhi," kata Wei Feifei.
"Tidak akan karena aku yang membuat peraturan," ucap Yunxi.
Feifei memegang kayu yang diulurkan Yunxi, setelah memastikan Feifei memegangnya, Yunxi mulai berjalan. Mau tidak mau Feifei juga mengikuti langkah Yunxi meski kakinya berjalan terseok-seok.
Yunxi berjalan dengan tenang, tapi sembari berjalan kakinya menggeser batu-batu kecil ke samping agar Feifei bisa lewat dengan mudah.
"Siapa namamu?" tanya Yunxi.
"Feifei," jawab gadis itu.
"Dari Klan mana?"
Feifei kembali terdiam, pertanyaan Yunxi sama seperti Wenning, menanyakan keluargnya. "Hanya penduduk biasa. Tidak ada marga," jawab Feifei. Yunxi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apa kamu mau menolongku?" tanya Feifei. Yunxi tidak menjawab.
"Ooh aku tahu, sebenarnya guru Yunxi punya hati nurani. Hanya saja Guru tidak mau menunjukkannya. Buktinya Guru datang ke sini untuk menolongku," ucap Feifei menatap punggung Yunxi dengan memicingkan matanya.
"Aku hanya mengambil kail," jawab Yunxi.
"Aku tahu tadi guru membuang mata kailnya. Kayu ini tidak bisa digunakan tanpa benang dan mata kail," ucap Feifei.
"Kamu yang mengatakan sendiri kalau manusia harus memanusiakan manusia. Aku melihatmu menderita, daripada aku menyelamatkan mata kail, bukankah aku harus menyelamatkanmu? Siapa tadi yang marah-marah di depan pintu Ghuzhi."
Feifei tersenyum mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Lan Yunxi mengingat ucapannya.
"Untung guru cepat sadar. Eh sekarang aku mau dibawa ke mana?"
"Ke tempat persembahan dan kamu menjadi tumbalnya," jawab Yunxi.
Feifei menghentikan langkahnya, gadis itu melepaskan cekalan tangannya pada kayu. Yunxi yang merasa Feifei berhenti pun ikut menghentikan langkahnya. Feifei mengeluarkan bambu berbentuk kecil, gadis itu meniup seruling kecil dari bambu yang diciptakannya sendiri. Meniupnya dengan pelan. Tatkala suara seruling itu keluar, terdengar sangat merdu dan menenangkan. Angin yang semula sangat kencang lambat laun memelan, suara indah seruling kecil yang dimainkan Feifei membuat Yunxi membeku di tempatnya. Yunxi menatap gadis di depannya yang terlihat cantik meski di gelapnya malam. Rambut Feifei yang berkibar membuat kecantikan gadis itu terlihat sempurna. Mata itu, hidung dan suara lembut, siapapun pasti akan jatuh cinta dengan keindahan Feifei. Feifei menatap Yunxi masih dengan meniup seruling, seruling yang dia mainkan selalu ampuh membuat orang-orang terlena. Asap putih keluar dari seruling bambu Feifei.
Yunxi terlena dengan suara indah itu, melihat Yunxi yang mematung di tempatnya, Feifei mulai melangkahkan kakinya menjauhi Yunxi. Masih dengan tiupan serulingnya, lambat laun Feifei berlari kencang meninggalkan Yunxi. Gadis itu berlari tunggang langgang karena ketakutan dengan ucapan Yunxi yang akan menjadikan tumbal. Niat hati datang ke padepokan untuk berlatih ilmu bela diri, tapi tidak tahunya malah mau dijadikan tumbal.
Yunxi yang melihat Feifei lari tunggang langgang menahan kedutan bibirnya yang akan tersenyum. Pria itu mengedipkan matanya ke arah Feifei.
Bruk!
Feifei jatuh tersungkur di rerumputan seolah kakinya ada yang menendang. Kaki yang sudah sakit kini terasa lebih sakit. Feifei menolehkan kepalanya menatap Yunxi. Yunxi menatap Feifei dengan senyum miring.
"Apa maumu, hah?" tanya Feifei dengan tajam.
"Aku akan menolongmu dan membawamu ke Padepokan, tapi kamu malah kabur."
"Kamu bilang akan menjadikanku tumbal."
"Tidak ada iblis yang mau menerima kamu jadi tumbalnya," ujar Yunxi berjalan perlahan mendekati Feifei. Feifei ingin menjauh, tapi kakinya seolah tidak bisa bergerak. Feifei memukul-mukul kakinya, tapi tetap saja kakinya tidak bergerak barang sedikit pun.
Feifei menatap lekat Yunxi, ia yakin pelaku utama yang membuatnya tidak bisa jalan adalah Yunxi.
Setelah tepat berada di hadapan Wei Feifei, Lan Yunxi mencabut sihirnya. Wei Feifei mencoba berdiri, gadis itu merasakan kakinya yang sangat sakit.
"Ayo ke padepokan!" ajak Yunxi.
Feifei menatap Yunxi dengan tatapan menyelidik, ia tidak percaya dengan pria yang sudah menipunya tadi.
"Ini kesempatan terakhir. Ikut aku ke Padepokan sekarang dan menjadi murid, atau diam di situ dan tidak ada kesempatan masuk di padepokan lagi," ujar Yunxi.
"Ikut!" jawab Feifei dengan spontan. Gadis itu juga mengangguk-anggukkan kepalanya antusias.
"Pegang ini, ikuti aku!" titah Yunxi memberikan kayu panjang yang langsung dicekal oleh Feifei.
"Kenapa tidak dari tadi kamu bilang mau menerimaku menjadi murid? Kalau tadi kamu tidak bilang mau menjadikanku tumbal, aku juga tidak akan kabur," oceh Feifei. Gadis itu cepat merubah ekspresinya, tadi tampak garang dan sekarang sudah seceria sebelumnya.
"Eh kenapa guru memberiku sihir di kaki sampai jatuh, terus menolongku lagi? Apa guru tidak tega melihatku kesakitan?" tanya Feifei. Namun Yunxi tidak menjawab sepatah kata pun, pria itu masih berjalan pelan yang diikuti Feifei.
"Tapi kalau guru tidak tega, kenapa harus melukaiku. Pertemuan kita baru tadi sore, tapi terhitung sudah empat kali guru melukaiku. Tiga kali di gerbang dan satu kali di sini."
Feifei terus mengoceh seorang diri sembari mengikuti Yunxi. Sedangkan Yunxi, sama sekali tidak mempedulikan ocehan gadis di belakangnya. Jangankan menanggapi ocehan Feifei, menoleh pun tidak.
"Guru, kenapa guru diam saja?"
"Guru, apa besok aku sudah bisa berlatih ilmu bela diri? Aku harap Wenning memberiku obat yang bisa menyembuhkanku dengan cepat."
"Aku mempunyai obatnya," kata Yunxi yang membuat Feifei menatap punggung pria itu.