'Konsekuensinya tak dapat ditanggung oleh orang lain', Arsia mengulang dalam kepalanya. Kata-kata Salim itu, mengapa lebih terasa seperti ancaman daripada peringatan? Nyalinya pun jadi ciut karenanya.
Seketika Arsia menyesal karena mengeluarkan topik tersebut. Walaupun dia tidak tahu konsekuensi apa yang dimaksud oleh Salim, kekacauan yang dialaminya saat ini sepertinya sudah cukup menggambarkan. Dia tidak mau Selim mengalaminya juga, tentu saja.
Ditambah, bagaimana pula dia akan mengatakannya pada Selim -- melamar pemuda tersebut? Jelas itu akan sangat memalukan! Meski selama ini Selim selalu membantunya menyelesaikan masalahnya, bukan berarti Selim akan bersedia untuk membantu yang ini juga (selama ini Selim hanya membantu urusan kuliah). Semisalnya ditolak, mau ditaruh di mana harga diri Arsia?
Melihat Arsia yang terdiam, Salim sedikit memiringkan wajahnya ke kiri demi mengamati perubahan air muka gadis itu. "Bagaimana? Apakah kau masih ingin menikah dengan lelaki lain?" tanyanya.
"Aku tidak ingin menikah," Arsia bergumam tanpa menatap Salim.
"Aku tidak mendengarnya?" Salim kembali menaikkan sebelah alisnya.
"Tidak," jawab Arsia. Kali ini dengan menatap Salim.
"Kau yakin? Aku tidak akan memaksa bila kau tidak mau denganku. Kau bisa menikah dengan Behram. Dia takkan menolak perintahku."
Jelas Salim dengan sengaja menakuti Arsia melalui kalimatnya itu. Dia yakin sekalipun Arsia bodoh, gadis itu tidak akan sebodoh itu untuk memilih menikahi Behram dibandingkan dirinya. Perubahan air muka Arsia semakin menguatkan keyakinannya itu.
Arsia menghela nafas. "Baiklah," putusnya.
Jawaban Arsia itu terdengar ambigu di telinga Salim. Dia pun bertanya memastikan, "Baiklah apa?"
"Menikahi Behram," suara Arsia.
Salim tercengang mendengarnya. Itu membuatnya terdiam selama sepersekian detik, tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Lebih tepatnya, dia tidak tahu bagaimana harus merespon keputusan Arsia yang di luar nalar tersebut.
"Kau... yakin?" dia memastikan.
"Ya," suara Arsia mantap.
"Dengan Behram?" Salim mengulang lagi.
"Ya," kembali Arsia menjawab dengan suara yang masih sama mantapnya.
Salim mendengus. Dengan gusar dia berdiri dari duduknya. Mata hijau chartreuse-nya tertahan pada Arsia sejenak dengan pandangan tajam penuh ketidakpercayaan. Lantas, dia pun berlalu.
Arsia yang mengikuti kepergian Salim lalu memanggilnya, "Yang Mulia!"
Terbesit rasa senang karena Arsia menahannya, Salim pun menghentikan langkahnya. Dia menolehkan kepalanya.
Ada sebersit harapan dalam benak Salim bila Arsia akan mengatakan sesuatu semacam 'aku salah, aku merubah pikiranku, aku akan menikah denganmu'. Tapi tentu saja Salim menutupi euforianya itu. Demi harga dirinya, dia tidak ingin Arsia mengetahuinya. Jadi dia membuat wajahnya se-cool mungkin saat bertanya, "Ada apa?"
Arsia meringis.
'Oh, baiklah ini tidak akan seperi yang aku pikirkan', pikir Salim segera setelah melihat Arsia.
"Tidakkah lebih baik keluar dari pintu?"
Itulah yang didengar olehnya dari Arsia kemudian.
Saking emosinya, Salim tanpa sadar hendak keluar dari jendela. Seperti jawaban Arsia kurang mencoreng harga dirinya saja, masih ada hal memalukan yang harus menimpanya lagi. Salim pun tanpa mengatakan apapun segera membalik arahnya dan membuka pintu yang terkunci itu dengan memukul.
'Dasar pintu tidak tahu diuntung!', sungutnya dalam hati. Dia melampiaskan kekesalannya pada benda tak berdosa tersebut. Sedang di belakangnya Arsia memandang punggungnya dengan tatapan tidak mengerti.
'Ada apa dengannya?', Arsia bertanya-tanya. Sama sekali tidak ada ide dengan sikap Salim tersebut.
Sementara di depan pintu Behram sudah menunggu Salim. Dia sedikit memundurkan tubuhnya kala pintu terbuka. Mendapati tuannya keluar dengan wajah yang bersungut-sungut, Behram tahu apapun yang terjadi di dalam sana tadi bukanlah sesuatu yang diharapkan.
"Bagaimana hasilnya, Yang Mulia?" Behram bertanya dengan suara pelan dan hati-hati setelah pintu kamar Arsia tertutup.
Seolah baru menyadari kehadiran Behram, Salim menolehkan kepalanya. Diperhatikannya Behram dari atas sampai bawah dengan mata memicing kesal penuh penilaian.
'Rambutnya sudah beruban dimana-mana dan hampir botak di bagian tengahnya. Tubuhnya juga tak setinggi diriku dan sedikit membungkuk termakan usia', Salim menilai.
Lalu dia memperhatikan lebih detail fitur wajah Behram.
'Matanya sayu. Kerutan dalam di sekitar ekor mata dan kantung matanya. Bibirnya terlalu tipis dan pucat seperti warna kulit wajahnya. Dia terlihat seperti tak punya bibir', Salim menambahkan hasil pengamatannya.
Kemudian Salim pun menakar hal lainnya lagi. Yang lebih krusial daripada sekedar fisik.
'Apakah Behram masih mampu menjalankan tugasnya sebagai suami?', pikirnya.
"Yang Mulia?" Behram memanggil tuannya yang diam saja itu. Sayangnya, tuannya itu masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.
'Bagaimana Arsia bisa memilih Behram? Apa yang direncanakannya dengan menikahi Behram? Apa dia pikir dengan begini dia bisa lari ke lelaki itu?', pikiran dipenuhi Salim kecurigaan.
Bagaimana tidak? Dia tidak sengaja mendengar suara 'lelaki itu' saat hendak masuk ke kamar Arsia. Yang membuat dia menahan langkahnya demi mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
Pada akhirnya memang Salim tak dapat mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. Hanya 'jangan bicarakan romantisme' yang tertangkap olehnya. Salim tahu itu tidak cukup untuk 'menuduh' tetapi dia tidak dapat melakukan apapun untuk menghentikan darahnya yang terasa mendidih, selain mendobrak jendela hingga hancur. Makanya dia dapat menemui Arsia dengan tenang tadi seolah dirinya tak mengetahui apapun.
Pernikahan itu, meskipun terjadi karena kesalahan tetapi Salim menganggapnya sebagai sesuatu yang serius dan penting. Arsia bukan sekedar pemegang kunci baginya kini. Demi apapun, gadis itu juga calon istrinya!
Dan calon istrinya itu nyata-nyata menolaknya.
Tidak cukup, Arsia bahkan berani mengutarakan ide untuk menikahi orang lain dibandingkan dirinya.
Penolakan Arsia itu jelas mengusik harga dirinya sebagai lelaki (ya, saat ini Salim marah sebagai seorang lelaki!). Apa yang kurang darinya sehingga Arsia tidak menginginkannya? Salim tidak habis pikir.
"Ikut aku," perintah Salim pada Behram kemudian. Suaranya sama sekali tidak bersahabat.
Mendapat perlakuan seperti itu dari Salim tentu saja membuat Behram bertanya-tanya. Namun Behram diam saja dan mengikuti sebagaimana perintah yang diberikan. Tuannya itu lalu membawa mereka ke salah satu kamar kosong yang dekat dengan dapur dan agak jauh dari kamar Arsia.
Sebelum menutup pintunya, Behram melongok untuk memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Itu sudah jadi kebiasaannya, tidak peduli meskipun mereka saat ini sedang berada di jaman modern.
Behram lalu menghadap pada Salim setelah menutup pintu. Tuannya itu masih saja menunjukkan sikap tidak bersahabat padanya.
"Arsia memilih untuk menikah denganmu," ucap Salim segera dengan nada menuduh.
Tentu saja Behram terkejut mendengarnya. Sepertinya kini dia tahu mengapa Salim menatapnya seolah dirinya adalah seorang musuh bebuyutan.
Behram hendak mengatakan sesuatu untuk mengklarifikasi hal tersebut. Namun Salim segera mengangkat tangan kanannya untuk menahannya.
"Aku tidak tahu apa yang sedang direncanakannya. Gadis itu..." Salim menahan kata-katanya akibat emosi.
Setelahnya, Behram mengira Salim akan mengatakan sesuatu yang penting ketika justru kecemburuan lah yang ditunjukkan oleh tuannya itu.
"Bagaimana bisa dia memilihmu dari pada diriku?"
Behram menundukkan wajahnya dalam. Sudah pasti dia khawatir kalau tuannya itu akan salah paham terhadapnya. Bergegas dia berkata, "Maaf, Yang Mulia. Ini di luar kendali saya."
Salim menghembuskan nafasnya kasar. Tidak bisa menerima bila Arsia benar-benar memilih untuk menikah dengan Behram. Dia lalu menatap tajam pada Behram.
"Kau harus membuat dia memikirkan ulang keputusannya dan menolakmu!" titahnya.