Sementara itu di dalam kamar, ketika Salim dan Behram sedang berpikir keras mencari cara untuk membuat Arsia melunak, Arsia sendiri malah gegoleran. Dia berbaring di atas kasurnya dengan posisi miring ke kanan. Selimut menutupi tubuhnya hingga setinggi dada dengan kedua tangannya menggenggam ponselnya. Matanya fokus ke layar tanpa peduli dengan kedua pria di depan pintu sana.
Arsia sudah tidak memperdulikan Salim dan Behram dari tadi dan dia tidak merasa bersalah apalagi kejam karenanya. Oh, bahkan dia hampir saja melupakan keberadaan keduanya dengan bersikap seolah semua ini hanya mimpi saja. Untuk itu Arsia harus kembali ke dunianya yang sebenarnya. Ke kenyataan di mana hanya ada dirinya dengan urusan kuliah serta teman-temannya. Dan itulah yang sedang dilakukannya sekarang.
Sedari tadi Arsia bergabung dengan percakapan grup kelas mereka. Topiknya meluber ke mana-mana dari materi persiapan semesteran hingga liburan musim panas. Ramai sekali di grup malam itu sehingga di sana menjadi tempat yang cocok bagi Arsia yang sebenarnya sedang lari dari kenyataan. Setidaknya sampai teman-teman sekelasnya mulai berghibah dan membicarakan hubungan asmara antara si Fulan dengn Fulanah.
Seketika Arsia seperti dilempar kembali ke kepelikan hidupnya saat ini. Dengan segenap jiwanya dia meronta. Rasanya tidak adil sekali ketika teman-teman sepantarannya dapat belajar tanpa harus mendapatkan ancaman deportasi seperti dirinya. Atau ketika mereka dapat merasakan jatuh cinta dengan pasangan masing-masing sebelum menikah sementara dirinya terpaksa menikah karena digerebek. Kepalanya mau pecah memikirkannya.
"Bagaimana pula aku harus memberitahu ayah dan ibu soal ini? Argh!"
Arsia menghentak-hentakkan kakinya dan memukulkan sisi ponselnya ke keningnya. Sakit tentu saja. Makanya dia mengelus keningnya dengan wajah tertekuk serupa tomat yang mulai membusuk.
Ponselnya yang layarnya telah hitam berbunyi oleh notifikasi. Ada pesan baru lagi di grup WhatsApp kelasnya. Kali ini pesan suara dan asalnya dari Selim.
Melihatnya, seketika dada Arsia seperti digebuk oleh penggebuk kendang paling handal se-Indonesia Raya. Dengan perasaan bergetar dalam dadanya dia pun memencet pesan tersebut demi mendengarkan pesan Selim.
"Ini grup kelas. Jangan bicarakan romantisme di sini. Hargai yang masih sendiri sepertiku," suara Selim terdengar ramah seperti biasanya.
Arsia menghela nafas mendengarnya. Padahal baru Jumat lalu dia bertemu dengan Selim. Sekarang masih hari Sabtu tapi kenapa rasanya seperti sudah ribuan purnama dia tak melihat teman sekelasnya itu -- teman sekelas yang dia melihatnya sebagai lelaki.
Selim, seorang pemuda berambut coklat terang dengan matanya coklatnya yang seperti madu. Pemuda itu selain pintar juga sangat ramah dan ringan tangan. Beberapa kali Arsia mengalami kesulitan dalam tugas-tugasnya yang membuatnya terancam harus mengulang kelas dan datanglah Selim yang membantunya menyelesaikan masalah peliknya itu.
"Eh, tunggu dulu... Kenapa nama mereka mirip? Selim... Salim..." Arsia berbicara sendiri. Setelahnya dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat karena geli. Seluruh bulu di tubuhnya pun berdiri.
"Bagaimana aku bisa menyamakan Selim dengan Salim? Bodo amat bila Salim seorang pangeran. Bagiku pangeran ya Selim! Untuk apa punya gelar pangeran sungguhan tetapi tidak bisa menyelesaikan masalah umat. Malah menambahnya!"
Mulut Arsia sibuk menggerutu hingga dia tak menyadari kalau Salim sudah tidak lagi berdiri di depan pintunya dan memintanya untuk keluar. Dari tadi bermusyawarah dengan Behram, Salim tak menemukan cara yang tepat untuk dapat mengeluarkan Arsia dari kamarnya. Akhirnya dengan sangat terpaksa dia harus menggunakan cara 'tradisional'.
"Kau yang memintanya Arsia Sultan," Salim bersungut kesal sembari keluar dari rumah dan memutari sisi lain rumahnya.
Tak lama, jeritan di rumah itupun terdengar kembali. Yang menjerit siapa lagi kalau bukan Arsia. Dia segera berguling dari kasurnya dan berdiri di tepi kasur. Tangannya memegang selimut menutupi bagian depan tubuhnya.
Nafas Arsia memburu. Matanya membelalak. Wajahnya pucat. Kewarasannya hilang sementara akibat syok berat.
Bagaimana dia tidak syok kalau jendelanya tiba-tiba saja didobrak? Suara 'bum' keras terdengar ketika engsel jendela hancur. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Salim.
"Arsia, ini aku. Salim," ucapnya tatkala dilihatnya Arsia menatapnya ngeri. Kedua bibir penuh gadis itu pun bergetar karena ketakutan. Salim yang dari tadi menolak melakukan cara-cara yang dapat menakuti Arsia kini menjadi pihak yang paling ditakuti Arsia.
Perlahan mendapatkan kesadarannya, Arsia mengerjapkan matanya. Yang tadinya syok, Arsia kini menjadi kesal setengah mati pada Salim. "Kenapa kau masuk dari jendela? Apa kau maling?" bentaknya.
"Bukan hanya maling. Pembunuh bayaran juga masuk dari jendela," balas Salim dengan ironi yang tentunya tak dimengerti oleh Arsia.
Kata-kata Salim barusan tentu saja membuat Arsia menjadi semakin menakutkan, alih-alih menenangkannya.
"Berhentilah berbicara mengenai hal yang aneh dan bersikaplah seperti manusia biasa! Tidak kah cukup apa yang terjadi hari ini? Kalian menakutiku!" hardik Arsia.
"Apa kau akan kabur?"
"Kalau aku akan kabur pun aku tidak akan mengatakannya pada kalian. Kau pikir aku sebodoh itu?" sarkas Arsia.
"Apa itu artinya kau takkan kabur?" Salim menuntut jawabannya.
"Tengah malam begini kau pikir ke mana aku akan pergi?" Arsia balik bertanya dengan ketus.
Air muka Salim berubah lega demi mendengarnya. Hal itu sangat penting baginya. Mendengar jawaban Arsia seperti yang diinginkannya tentu saja dia merasa tenang karenanya.
Salim kemudian berjalan mengitari kasur, mendekati Arsia.
"Ee, kau mau apa?" Arsia menyalak.
Melihat Salim yang semakin mendekat, Arsia menjadi defensif. Matanya tak lepas mengikuti pergerakan Salim. Arsia bahkan memindahkan langkahnya semakin mendekati kasur. Bersiap untuk melompat ke atas kasur dan kabur dari Salim bila pria itu nekat memperpendek jarak di antara mereka. Namun Salim berhenti di depan sofa dan duduk di sana dengan cara yang kelewat elegan.
'Baiklah aku tahu dia ningrat tapi apa perlu dia membuatku merasa seperti bar-bar begini?', keluh Arsia dalam hati.
"Berbicara denganmu," kata Salim sembari menepuk sisi kosong di sebelahnya. Dia menyuruh Arsia untuk duduk di sana.
Arsia mendengus. Dengan keras menolak permintaan Salim itu. "Kau pikir aku masih ada mood untuk itu?!"
"Apa aku harus membuat janji untuk berbicara dengan calon istriku sendiri?" tanya Salim dengan menaikkan sebelah alisnya. Dia benar-benar terlihat tampan dengan gesturnya itu. Bukan hanya dirinya saja yang menyadarinya namun Arsia juga. Karenanya Arsia membuang wajahnya dan tertawa meratapi nasibnya.
'Aku pasti sudah gila kalau gugup karena ini', dalam hati Arsia merutuk. Sebuah ide tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Dia segera menolehkan kepalanya menghadap Salim kembali.
"Pernikahan itu... Kenapa aku harus menikah denganmu?" tanyanya. Kemudian cepat-cepat melanjutkan saat dilihatnya Salim semakin tajam menatapnya, "Maksudku kau kan seorang ningrat. Tidakkah kau seharusnya menikah dengan seseorang yang selevel denganmu? Bukan dengan rakyat jelata sepertiku."
"Kalau tidak denganku kau akan menikah dengan siapa?" suara Salim datar.
Arsia menggigit bibir bawahnya. Dengan hati-hati dia berkata, "Orang lain selain dirimu... apa tidak ada?"
Itu hanya ucapan basa-basi. Tentu saja Arsia sudah menyimpan sebuah nama dalam benaknya. Hanya saja dia tidak bisa langsung mengucapkannya bila tidak ingin terlihat murahan.
Hening. Salim tak berkata apapun. Sepasang mata hijau chartreuse-nya menelisik Arsia.
"Bukankah yang penting aku tetap berada di sini?" Arsia mencoba meyakinkan Salim.
Salim mengeluarkan bunyi 'ck' dari mulutnya. Dia sedikit menelengkan kepalanya dan membuat gerakan seolah sedang berpikir.
"Ada Behram. Tentunya kalau kau tidak keberatan menikahi seorang pria tua -- yang sungguhan tua -- dan dengan status duda. Kalau kau keberatan, ada Yıldıray yang sepantaran denganmu. Tapi seperti yang kau tahu, dia menghilang seperti Avatar Aang. Aku khawatir sebelum dia dapat ditemukan, kau sudah dideportasi duluan. Bagaimana?"
Arsia meringis. Nampaknya jalannya untuk menyebutkan nama 'Selim' jadi berputar-putar atau bahkan takkan sampai sama sekali.
"Apakah harus di antara kalian bertiga. Maksudku kalau aku menikah dengan lelaki Turki yang lain tentu tidak akan masalah, bukan? Aku tetap bisa di sini," Arsia masih mencoba peruntungannya.
"Apa kau sedang berpikir kalau aku tengah mengerjaimu saat ini?" Salim bertanya dengan tenang namun nadanya dalam.
Dengan cepat Arsia menggeleng. Tertutup selimut, jempol kaki kanannya menggaruk tumit kaki kirinya saking gugupnya dirinya.
"Bagus," kata Salim. "Itu artinya seharusnya kau juga tahu bila masalahnya bukan hanya menikah dan tetap berada di sini. Apa kau ingin melibatkan orang lain yang tidak mengetahui apapun ke dalam masalah ini?"
"Itu..." Arsia meragu. "Tidak," kemudian menjawab lirih.
Salim menatap Arsia. Melihat gadis itu mulai gentar, dengan suara yang tenang namun penuh penekanan dia memperingatkan, "Konsekuensinya takkan dapat ditanggung oleh siapapun orang lain itu."