Chereads / Harem Post / Chapter 11 - Ternyata Pangeran

Chapter 11 - Ternyata Pangeran

Panik? Panik, dong! Masa enggak?

Bagaimana Arsia bisa bersikap biasa saja setelah mengetahui bila dirinya akan menikahi pria tua?

Tidak!

Salim bukan hanya tua! Pria itu setidaknya lebih tua 402 tahun darinya. Setidaknya!

Baiklah memang secara fisik tidak ada yang salah dengan Salim. Maksudnya dia terlihat seperti pria muda di tahun 2019 pada umumnya.

Tidak, tidak...

Salim di atas rata-rata malah! Pria itu tampan, tinggi, rambut pirang serta mata hijau chartreuse-nya sungguh menawan, penampilannya ok, dan wajahnya sangat aristokrat sekali. Dengan semua fitur yang dimiliki Salim, dalam kondisi normal Arsia pasti takkan menolak menikah dengan pria tersebut.

'Tapi dia bilang berasal dari tahun 1617!', Arsia mengulang dalam kepalanya.

Bagaimana bisa seorang gadis berusia 20 tahun sepertinya menikahi seseorang dari tahun 1617? Hanya membayangkannya saja sukses membuat Arsia pias.

"Dari semua hal yang kukatakan kau hanya fokus pada hal itu?" Salim bertanya. Ekspresinya datar namun suaranya terdengar dalam.

Dari suara Salim itulah Arsia dapat dengan jelas menangkap bila pria itu tersinggung oleh ucapannya barusan. Tetapi dia memilih masa bodoh dengan itu. Toh ucapannya benar, sesuai kenyataan. Setidaknya Salim beruntung karena Arsia tidak mengatainya sebagai fosil.

"Lalu aku harus fokus pada apalagi?!" Arsia setengah histeris.

Tidak ada yang berbicara di sana setelahnya. Arsia butuh menarik nafas untuk menghadapi semua kegilaan ini. Dia pun memutar tubuhnya membelakangi Salim. Sedangkan Salim hanya memandang punggung Arsia, memberikan ruang bagi gadis itu untuk menenangkan diri.

Tak lama, Arsia kembali membalikkan tubuhnya menghadap Salim. Dengan posisi defensif dia mendekati pria itu. Sepasang maniknya bergerak gusar kala menatap pria di hadapannya tersebut.

"Ada portal waktu di rumah ini? Baik, aku dapat menerimanya. Kalian dari Kesultanan Ottoman? Baik, aku pun menerimanya. Tetapi menikahimu?"

Arsia segera menaikkan kedua tangannya demi menutupi wajahnya. Baru kali ini dia merasa sefrustasi ini. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin meledak tetapi tak dapat dikeluarkannya. Kemudian dengan kasar Arsia menghempaskan kedua tangannya dari wajahnya. Matanya memandang nanar pada Salim.

"Orang tuaku bukan orang mampu, kau tahu? Aku bisa sekolah di sini karena beasiswa. Bukan karena aku pintar tapi karena beruntung. Aku bodoh, tidak sepintar temanku yang lain. Selama ini aku mati-matian berusaha untuk dapat menyelesaikan studiku tepat waktu. Kalau aku tidak menikahimu, aku terancam dideportasi dan harus merelakan perjuanganku selama ini menjadi sampah. Kalau aku menikahimu, itu artinya akan ada tanda dalam hidupku yang tak bisa kuhapus selamanya. Lalu kau bilang apa tadi? Kenapa aku hanya fokus pada hal ini? Kalian yang menyeretku pada petaka ini! Apakah aku yang seharusnya memikirkan kalian?!" cecar Arsia menumpahkan seluruh ganjalan hatinya dengan suara bergetar menahan tangis.

Seharusnya Arsia bisa tenang sekarang. Sayangnya tidak. Apa yang diucapkannya barusan hanya melepaskan secuil dari beban yang dirasakannya. Mungkin secuil itu seperti kerikil kecil yang menggelinding dari atas volkano. Arsia bukan hanya kesal namun lebih dari itu, dia khawatir akan masa depannya.

Arsia lalu membuang wajahnya dari Salim. "Mungkin kalau kalian katakan kalian orang yang bermasalah, aku lebih dapat menerimanya," katanya sambil menyeka air mata yang mulai terbentuk di pelupuk matanya menggunakan punggung tangannya. "Tapi aku sudah lihat sendiri bagaimana kotak pos itu berada di sana," lanjutnya dengan penuh ironi.

Salim mendengarkan semua kata-kata Arsia dalam diam. Arsia tidak sedang menghinanya atau mengatainya sebagai pria tua lagi. Tetapi kenapa Salim merasakan sesuatu dalam dirinya tergores? Pandangannya bahkan tak bisa dia lepaskan dari Arsia. Seolah Salim sedang dikutuk untuk menyaksikan kesedihan Arsia dengan mata kepalanya sendiri karena sudah menyeret gadis itu ke dalam masalah ini.

'Mendengarnya mengataiku pria tua rasanya bahkan tak lebih buruk dari ini', pikir Salim.

"Arsia, aku minta maaf untuk semua ini," ucap Salim tanpa menyembunyikan rasa bersalahnya. "Seharusnya aku dapat mengantisipasi bila Yıldıray akan mengelabuhimu seperti ini. Kalau saja aku bisa mengeluarkan dirimu dari situasi ini tanpa merugikan dirimu ataupun kami--"

"Aku tidak ada urusan dengan kalian!" Arsia memotong ucapan Salim dengan gusar. "Kita bahkan baru bertemu hari ini! Kau tidak perlu menyeretku sampai sejauh ini, bukan? Oh, kau bahkan tidak perlu menunjukkan semua ini padaku sekedar untuk menguatkan permintaan maafmu," katanya dengan jari telunjuknya yang menunjuk-nunjuk pada kotak pos yang masih belum menghilang dari dinding.

"Itulah yang akan aku jelaskan kalau tadi kau tidak histeris dengan 'menikahi pria tua'," dengan tenang Salim berkata.

Arsia menatap Salim bingung. Otaknya sedang memproses ucapan Salim barusan. Setelah menyambung-nyambungkan informasi yang diperolehnya, Arsia sampai pada satu kesimpulan kalau dirinya sudah salah memahami ucapan Salim dari tadi. "Jadi kau tadi tidak sedang memperkenalkan diri?" tanyanya polos.

Salim menghela nafas. Dia berusaha bersabar dalam menghadapi Arsia. Gadis itu bahkan tidak bisa membedakan mana orang yang sedang memperkenalkan diri dan mana yang sedang mencoba menjelaskan sesuatu.

'Dia benar-benar tidak pintar seperti katanya', Salim membatin. Kalau saat ini mereka tidak sedang dalam situasi yang rumit, sudah pasti Salim akan menertawakan gadis itu.

"Kau mau aku memperkenalkan diri terlebih dahulu atau menjelaskan situasi kita lebih dulu?" Salim memberi pilihan ke Arsia.

Kedua manik hitam Arsia menatap lurus ke manik hijau Salim. Arsia menimbang-nimbang. Dia sendiri tidak tahu mengapa harus melakukannya di saat dirinya bahkan tidak tertarik untuk mengetahui siapa Salim. Apalagi mengenalnya. Sekalipun Salim adalah pria yang terpaksa harus dinikahinya.

Melihat Arsia yang terdiam, Salim menjengitkan sebelah alisnya. "Apa yang kau pikirkan?" tanyanya.

Arsia menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Hanya aku tidak tertarik untuk mengenalmu. Jelaskan saja situasinya," jawabnya jujur.

Tak ayal Salim jadi gondok kembali saat mendengarnya. Dia memang tidak pernah bertemu dengan sosok seekspresif Arsia sebelumnya. Tapi dia juga belum pernah bertemu dengan orang yang asal mangap seperti gadis itu.

Sekali lagi Salim harus menyabarkan dirinya. Bukan. Dia harus membiasakan dirinya dengan kelakuan gadis itu karena setelah ini mereka akan bersama -- terpaksa bersama. Yang lebih membuatnya sedih adalah itu karena kesalahan perhitungannya.

"Aku tebak saat kau pertama menengok rumah ini, Yıldıray belum memberikan kunci emas kepadamu?" Salim memastikan.

Arsia mengangguk.

"Seperti yang aku bilang tadi, kalau portal waktu itu hanya akan muncul saat ada kunci ini," kata Salim sambil kembali menunjukkan kunci emasnya. "Dan siapapun yang memegangnya -- lebih tepatnya siapapun yang telah menyentuhnya -- akan menjadi pembuka bagi portal waktu itu," dia mengedikkan dagunya ke arah kotak pos.

Dengan sengaja Salim menjelaskan sampai ke titik itu. Dia ingin memastikan apakah Arsia memahami penjelasannya barusan. Matanya memperhatikan gadis di depannya itu.

Sesaat Arsia tampak sedang mencerna ucapan Salim. Membuat Salim optimis bila Arsia akan memahaminya. Tetapi dia harus menghadapi kenyataan kalau orang yang sedang dia ajak bicara saat ini adalah Arsia. Si lamban Arsia.

"Ee, kau yang memegang kunci itu. Lalu apa hubungannya denganku?" itulah kesimpulan yang diambil oleh Arsia.

Arsia berhasil membuat Salim merasa dongkol dan juga gagal secara bersamaan. 'Bagaimana aku harus menjelaskan padanya?', keluh Salim.

Salim kemudian menopang dagu dengan tangannya. Dia berpikir sambil memperhatikan Arsia. Arsia pun balas memperhatikan Salim dengan menolehkan kepalanya ke kanan lalu ke kiri seolah pria itu adalah sebuah patung.

"Hei, apa kau melamun?" Arsia bertanya sambil melambaikan tangannya di depan wajah Salim.

"Tidak," Salim menjawab. Dia lalu menyingkirkan tangannya dari bawah dagunya dengan tetap memperhatikan Arsia.

"Kunci ini milikku," kata Salim setelah menuntaskan pikirannya. "Aku menyerahkannya pada Yıldıray dan Yıldıray menyerahkannya padamu. Jadi siapa pemegang kunci yang terakhir?"

"A-aku?" jawab Arsia ragu.

Salim mengangguk.

"Ee tapi aku sudah memberikannya padamu kembali," elak Arsia.

"Aku tidak bisa berada di dua tempat sekaligus, Arsia. Harus ada yang berada di sini supaya keberadaan portal ini tetap tersembunyi. Kau akan tahu bagaimana cara kerjanya saat melihatnya langsung. Karena itulah aku tidak bisa membiarkanmu dikirim kembali ke negaramu," Salim menerangkan. Dalam hatinya dia berharap bila Arsia memahami maksudnya kali ini.

'Aku sudah menjelaskannya semudah yang aku bisa. Mungkin tidak cukup untuk membujuknya tapi setidaknya dia harus tahu alasan dirinya harus berada di sini terlebih dahulu', pikir Salim.

"Kau ini tidak solutif sekali! Kau bisa datang kemari dan mengunci portal setelahnya. Atau kembali ke masamu dan mengunci kembali portalnya," Arsia mengeluh bak anak kecil. Dia juga dengan gemas menggerak-gerakkan tangannya membentuk gerakan mengunci saat mengatakannya.

"Tidak semudah itu, Arsia. Untuk melakukannya aku harus punya banyak waktu untuk menunggu."

"Kenapa kau tidak punya banyak waktu? Lihatlah, kau bahkan berada di sini sekarang," Arsia ngotot.

"Arsia, aku Şehzade Salim. Kemenakan Sultan Mustafa I, Şehzade Salim," balas Salim mulai kehilangan kesabarannya.

Arsia tak bergeming mendengarnya. Bibirnya terbuka sedikit dan pupil matanya membesar mengetahui identitas sebenarnya dari pria bernama Salim itu.

"Kau terkejut?" Salim memastikan.

Mata Arsia bergerak-gerak memandang Salim. Dia memang terkejut. Tapi bukan karena sesuatu yang dipikirkan oleh Salim.

"A-aku akan jadi istri ke berapa?" Arsia kemudian bersuara.