Istanbul, Türkiye 2015
Marmaray bergerak cepat di kedalaman selat Bosphorus. Penumpang di dalamnya bergoyang pelan mengikuti alur kereta tersebut.
Arsia mengeratkan cengkramannya pada pegangan tangan yang turut bergoyang di atas kepalanya. Matanya mengarah pada peta jalur yang berada di atas setiap pintu masuk Marmaray. Garis merah yang menunjukkan laju kereta itu sudah semakin jauh meninggalkan stasiun sebelumnya. Tidak lama, mungkin dua atau tiga menit lagi Marmaray akan tiba di stasiun tujuannya.
Harus pulang?
Arsia merasa berat. Bukan karena dia senang berdiri terayun di dalam kereta itu. Tapi karena pemuda yang berada tepat di sebelahnya lah dia tidak ingin beranjak dari sana.
Besok dan besoknya lagi adalah akhir pekan. Bagaimana Arsia akan mencari-cari alasan agar dapat bertemu dengan pemuda itu?
Tidak mungkin, gengsinya mencegah.
Arsia sendiri-sendirinya membuat dirinya menelan kekecewaan. Tanpa sadar dahinya berkerut.
"Maaf membuatmu terlambat pulang."
Suara ramah itu mengalihkan Arsia dari apapun yang tengah dipikirkannya. Dia menoleh. Sedikit mengangkat wajahnya demi mempertemukan kedua mata mereka.
Manik hitam Arsia langsung bertemu dengan manik milik Ahmet Selim. Dan seperti biasa, pemuda itu selalu menyuguhkan sebuah senyum untuknya setelah berbicara dengannya.
Pandangan Arsia bergerak menyapu keseluruhan wajah pemuda itu. Sesuatu yang begitu saja menjadi ritual dalam hidupnya segera setelah dirinya bertemu dengan Selim di hari pertama kelas mereka. Sesuatu yang dia tak pernah bosan melakukannya.
Selimnya yang tampan. Kedua bola mata pemuda itu coklat bening layaknya lelehan madu. Hidungnya tinggi dan mancung. Bibirnya tipis dan semerah buah cherry. Semuanya terpatri indah pada wajah berkulit putih khas Turki milik Selim.
Dari semuanya, yang paling membuat Arsia jatuh hati adalah cara Selim tersenyum kepadanya. Selim tersenyum dengan matanya.
Arsia dapat melihat bila kedua manik coklat pemuda itu turut berpendar saat kedua sisi bibirnya melengkung. Itu membuat Selim terasa begitu tulus dan penuh perhatian kepadanya.
Arsia menarik kedua sudut bibirnya. Dia membalas senyuman Selim dengan agak canggung. "Sama sekali tidak. Ini masih jam 8."
Jam 8 malam di saat musim semi. Itu artinya hari baru saja memasuki petang. Matahari bisa jadi sudah tidak tampak keberadaannya namun tidak begitu dengan manusia. Orang-orang justru masih memenuhi jalanan dan mungkin akan semakin tumpah ruah ke sana.
Saat ini adalah musim yang indah, ditambah itu adalah hari Sabtu. Siapa yang akan menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di rumah saja?
"Tapi sudah petang," Selim mengingatkan. Sebenarnya dia masih ingin mengatakan sesuatu pada Arsia namun segera diurungkannya.
Aku mengkhawatirkanmu.
Sorot mata Selim yang akhirnya berbicara.
"Bukan masalah. Masih ada lampu," jawab Arsia yang lalu meringis. Karena sungkan, dia jadi gagal menangkap cara Selim menatapnya.
"Aku akan mengantarkanmu sampai ke rumah," ucap Selim. Itu bukan sebuah tawaran. Lebih pantas disebut sebagai sebuah putusan.
Begitulah bagaimana akhirnya Selim langsung menyerah menyembunyikan rasa cemasnya terhadap gadis itu dan memilih mengungkapkannya melalui sebuah tindakan. Apalagi dia sempat melihat bagaimana dahi Arsia berkerut saat melihat pada peta jalur. Dari mana dia akan tahu bila sebenarnya Arsia tidak rela berpisah darinya? Pikirnya, gadis itu tengah merasa sulit karena harus pulang malam.
"Eee, tidak perlu! Jangan repot-repot. Ini masih belum larut. Di luar pasti masih ramai," buru-buru Arsia menolaknya.
Inilah sebabnya mengapa tadi gengsinya menghentikan Arsia dari mencari alasan untuk bertemu Selim. Berdasarkan dari pengalaman sebelum-sebelumnya, selama ini dia hanya berakhir sebagai penerima bantuan dari pemuda itu. Dengan kata lain, dia menjadi beban bagi Selim.
Sekalipun Arsia tidak terang-terangan meminta tolong kepada Selim dan hanya sekedar bertanya namun pemuda itu langsung saja bergerak membantunya. Selim memiliki inisiatifnya sendiri.
Seperti hari ini.
Kemarin Arsia hanya sekedar menanyakan tentang materi yang tidak dimengertinya. Selim menerangkan dengan cara yang ringkas, yang sebenarnya itu sudah cukup membahagiakan bagi Arsia. Tapi tipikal Selim, pemuda itu tiba-tiba saja mengajaknya untuk ke perpustakaan kota. Belajar bersama katanya.
Lalu Arsia, bagaimana dia bisa menolaknya? Dia tidak mau meninggalkan kesan sebagai seorang pemalas di mata Selim. Yang sudah tidak tahu, tidak mau belajar pula.
Akhirnya hari ini jam 10 pagi mereka sudah ada di sebuah perpustakaan kota yang terletak di Istanbul bagian Eropa. Beberapa jam menghabiskan waktu di sana sebelum gambar suatu artefak muncul ke hadapan Arsia dari halaman sebuah literatur yang dibacanya.
"Artefak ini sungguh unik. Aku belum pernah melihatnya," celetuk Arsia.
Hanya karena celetukan itu, selepas dari perpustakaan Selim langsung mengajak Arsia ke museum yang menyimpan artefak tersebut. Yang ini Arsia juga tidak bisa menolak, dia tidak tega. Pasalnya Selim tampak begitu bersemangat ingin membawanya ke museum seolah museum itu adalah milik pemuda tersebut.
Mungkin Arsia merupakan pribadi yang tidak enakan. Mungkin juga sebenarnya dia ikhlas-ikhlas saja di bawa ke sana kemari oleh Selim. Dia belum memutuskan yang mana kah dirinya. Namun yang pasti, dia tidak bisa membiarkan Selim mengantarnya pulang sampai ke depan pintunya. Sungguh dia merasa tidak enak hati. Dan juga, belum siap. Memang dia siapanya Selim?
Suara hangat Selim kemudian menyeruak ke antara Arsia dengan ingatan ringkasan kegiatannya hari ini.
"Aku sama sekali tidak merasa direpotkan, Arsia," Selim menyanggah.
"Terima kasih, Selim. Kau baik sekali. Tapi aku bisa pulang sendiri. Aku sudah terbiasa. Lagipula daerah tempat tinggalku bukan daerah rawan," Arsia menjejer alasannya demi meyakinkan pemuda itu. Dan ada satu yang dengan sengaja dilewatkannya, Aku bisa menghajar orang, Selim!
"Ya, aku tahu, Arsia. Tapi aku yang membawamu keluar. Aku harus memastikan keselamatanmu," Selim membalas dengan memberikan alasannya juga.
Marmaray masih melaju. Penumpang di dalamnya masih berayun pelan. Suara deru kereta itu masih menjadi pengiring dari perjalanan mereka. Tapi semuanya mendadak terasa begitu jauh bagi Arsia. Dia hanya melihat Selim dan hanya merasakan bagaimana jantungnya berdegup dengan kencangnya.
Kata-kata Selim barusan bagaikan mantra sihir bagi Arsia. Entah dia mesti gembira sebab Selim kukuh ingin mengantarnya ataukah dia mesti bertahan dengan rasa sungkannya.
Lalu mengapa Arsia tidak mencoba untuk meyakinkan pilihannya?
"Selim, sungguh, aku bisa pulang sendiri. Tidak perlu mengkhawatirkanku," kata Arsia. Yang sebenarnya dalam hatinya, Kalau kau masih bersikeras maka aku akan mengiyakannya.
Jatuhnya Arsia seperti melempar dadu dan memilih angka berapapun yang keluar untuknya.
Sejenak Selim meneliti Arsia. Lalu, "Baiklah."
Seharusnya Arsia senang karena terlepas dari desakan Selim. Nyatanya dia tetap saja merasakan kecewa. Dia tidak ingin diantar oleh Selim tetapi dia juga tidak ingin Selim melepaskannya.
Arsia menyamarkan kekecewaannya dengan sebuah senyuman.
Selim kemudian meraih ranselnya. Dia mengeluarkan sebuah buku yang tidak tebal dan menyerahkannya kepada Arsia. "Ini literatur paling mudah dari materi yang kau tanyakan kemarin," katanya.
Arsia melirik buku itu. Meskipun menyerah mengantarnya pulang setidaknya Selim tidak membuangnya. Pemuda itu masih memperhatikannya.
"Kapan kau meminjamnya?" tanya Arsia yang melihat cap perpustakaan kota yang mereka datangi pada buku tersebut. Ingatannya lantas mencoba meraba kapan dia pernah melihat Selim pergi ke bagian peminjaman tadi. Sayangnya itu tidak ada dalam file memorinya.
"Mungkin saat kau tidak melihatku?" jawab Selim yang kemudian tersenyum.
Benarkah? Tapi sungguh, Arsia tidak pernah melepaskan Selim dari bawah matanya!
Jawaban Selim hanya membuat Arsia merasa ganjil.