"Ada sesuatu yang harus aku bicarakan denganmu," Salim berkata.
Arsia yang baru saja akan mangap langsung tersumpal mulutnya. Bukan karena ucapan Salim itu. Tapi karena Salim tiba-tiba menarik lengannya.
Bertubi-tubi merasakan keganjilan dari kedua pria tersebut, refleks Arsia menolaknya. Dengan segenap tenaga dia menahan dirinya agar Salim tak bisa membawanya. Arsia merendahkan lututnya hingga tinggi tubuhnya yang tadinya sebahu Salim kini hanya setinggi perut pria tersebut. Arsia pun jadi tampak seperti anak kecil yang dipaksa untuk pulang oleh ibunya saat maghrib tiba.
"Lepaskan aku!" Arsia meronta.
Tentu saja tidak ada hasilnya. Salim yang dari tadi mampu membalas setiap ucapannya kini mendadak budek. Pria itu bahkan tak menengoknya sekali pun dan tetap membawanya -- menyeretnya -- ke ruang tamu.
Arsia mencoba melepaskan dirinya. Dia menarik lengannya, melempar dirinya ke kanan dan ke kiri, menghentak-hentakkan kakinya... Gerakan apapun yang penting dapat melepaskan dirinya dari cengkraman pria aneh tersebut. Kalau perlu salto, Arsia pun akan melakukannya!
Penampilannya kini sudah seperti orang kesurupan reog. Wajahnya memerah, nafasnya ngos-ngosan, dan rambutnya acak-acakan menutupi sebagian mukanya. Sialnya usahanya tak berhasil. Dengan kekuatan yang dimilikinya Arsia tak bisa melawan Salim.
Sebenarnya bukan karena Arsia lemah. Untuk ukuran perempuan dia terhitung kuat -- timbangan otaknya tidak berlebih tetapi fisiknya unggul. Hanya saja Salim tidak seperti kelihatannya.
Penampilan Salim yang metroseksual membuat Arsia salah menakar kekuatan fisiknya. Arsia pikir karena Salim tipe orang yang merawat penampilan dirinya, pria itu takkan punya perhatian lebih terhadap kegiatan pembangunan kekuatan fisik semacam bela diri, tinju, atau kegiatan serupa. Tetapi kini Arsia merasakan kekuatan pria tersebut dan Salim terasa seperti anggota pasukan khusus.
'Anggota pasukan khusus apanya! Dia pasti mafia atau semacamnya!', dalam hati Arsia mencebik.
Arsia kemudian mencoba peruntungannya sekali lagi. Dia menarik lengannya kembali. Namun karena posisi tubuhnya yang tidak seimbang, dia malah berakhir menghantam punggung Salim. Tidak terlalu keras tapi cukup keras untuk membuat bibirnya mencium punggung pria itu.
'Dari semua kesialan yang bisa terjadi kenapa aku harus mencium punggungnya!', Arsia merutuki keberuntungannya.
Ketika Arsia sedang menikmati kesialannya, dia dikagetkan oleh suara Behram. Pria tua itu berseru, memanggil Salim dengan sebutan 'Yang Mulia'. Tak ayal Arsia segera menolehkan kepalanya kepada si tua itu.
Bagi Arsia, panggilan Behram kepada Salim ternyata lebih mengagetkan daripada suara seruannya. Saking terkejutnya Arsia sampai tidak tahu harus memasang ekspresi apa di wajahnya. Yang Arsia tahu, kedua pria yang bersamanya saat ini bukanlah manusia normal.
"Fix, kalian gila," Arsia berbicara pelan dengan dirinya sendiri.
Dengan begitu Arsia semakin merasa terancam. Arsia harus segera menyelamatkan dirinya. Jangankan seminggu lagi, sedetik pun dia takkan tinggal lebih lama di rumah tersebut.
Melihat Salim yang kini terfokus pada Behram -- Salim memelototi pria itu -- Arsia menemukan kesempatannya. Dengan satu hentakan Arsia berhasil melepaskan lengannya dari genggaman Salim. Dia pun segera berlari menuju ke pintu keluar.
Sialnya kedua pria tersebut tak melepaskannya. Mereka berusaha untuk menangkapnya. Jadilah mereka berlari-larian di dalam rumah itu.
Karena Arsia kuat dalam berlari, tidak mudah bagi Salim dan Behram untuk menangkapnya. Apalagi Behram yang sudah tua itu. Nafasnya terputus-putus. Melihatnya Arsia malah jadi khawatir pria itu akan tereliminasi ke alam baka.
"Sudah! Sudah! Berhenti!" teriak Arsia sambil memejamkan matanya. Tidak tega juga dirinya kepada Behram. Selain itu kalau Behram benar-benar sampai meninggoy akan lebih runyam lagi masalahnya nanti.
Situasi berubah tenang. Dengan sedikit membuka kelopak matanya, Arsia mengintip ke bawah. Dirinya kini berada di atas lemari buffet berisi hiasan. Jangan tanya bagaimana Arsia bisa sampai ke sana, dia sendiri pun tidak tahu.
Dilihatnya Behram dengan nafas tersengal-sengal sedikit membungkukkan tubuhnya. Tangan kanan pria itu menekan dada kirinya.
'Astaga, apa dia jantungan?!', Arsia panik.
"Tuan Behram, Anda tidak apa-apa?" tanyanya pada pria itu.
Tak mampu bersuara, Behram mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Kau tidak akan mati, kan?" Arsia bertanya kembali.
Behram mengangguk lagi. Arsia pun bernafas lega karenanya. Lalu dengan tetap mengintip, Arsia melihat ke Salim.
Salim berdiri tidak jauh di samping Behram. Pria itu tampak biasa saja. Maksudnya Salim tidak tampak kelelahan atau sebagainya. Dengan sangat mengejutkan penampilannya pun masih okay paripurna. Sungguh membagongkan. Arsia semakin yakin kalau pria itu bukan manusia normal.
"Kau sedang apa di situ. Apa kau lutung? Ayo turun!" Salim berseru pada Arsia.
"Tapi aku takut!" balas Arsia. Kemudian dengan suara yang mirip merajuk Arsia berkata, "Aku takut ketinggian..."
"Gadis--" Salim menahan dirinya untuk tak mengejek Arsia. Dia hendak mengatai Arsia sebagai 'gadis bodoh', omong-omong. "Lalu bagaimana kau naik ke sana?" tanya Salim menumpahkan keheranannya.
"Aku tidak tahu!" Arsia berseru kesal. Kalau bukan karena malu, dia pasti sudah mulai menangis saat ini. Arsia benar-benar takut akan ketinggian.
"Kami tidak akan mencelakaimu," bujuk Salim.
"Apa kalian mafia? Gangster?" Arsia memastikan.
Salim menghela nafas. Pria itu berusaha menyabarkan diri atas pertanyaan yang sama dari Arsia. "Bukan," jawabnya.
"Lalu apakah kalian maniak?" Arsia memastikan lagi.
"Maniak?" Salim mengulang. Kata tersebut baru pertama kali didengar olehnya. Kemudian Salim menoleh pada Behram.
Behram dengan sigap membuka catatan kosa katanya kembali. Jari telunjuknya bergerak turun menelusuri setiap kata yang telah ditulis olehnya. Setelah mendapatkannya, Behram terlihat terkejut. Pria tua itu melirik Salim.
"Emm... itu... Yang Mulia..." Behram berbisik dengan tersendat-sendat. Tidak tahu bagaimana harus mengatakannya pada Salim.
Tidak sabar, Salim meraih catatan tersebut. Dibacanya arti dari kata maniak yang diucapkan Arsia barusan. Setelahnya Salim menyerahkan buku itu kembali ke pelayannya. Sementara Arsia dari atas lemari mengawasi gerak-gerik Salim dan Behram.
'Huh? Mereka mengeluarkan catatan itu lagi', batinnya.
Suara deheman Salim lalu terdengar. Dicurigai sebagai maniak jelas menyenggol harga dirinya. Tetapi dia tetap berusaha bersikap biasa saja -- setelah pupil matanya melebar karena terkejut -- dan kembali menampilkan ekspresi ningratnya.
Salim mengerti Arsia berpikir begitu karena salah paham dengan ucapannya tadi. Dia tahu kalau Arsia takkan turun dan pasti akan mencoba kabur lagi bila persepsi gadis itu terhadapnya belum diluruskan.
Salim pun membuat bagan virtual dalam pikirannya. Dia dengan cepat merencanakan apa-apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi masalahnya saat ini. Dan meluruskan salah paham antara dirinya dengan Arsia menjadi urutan pertama yang berada dalam daftarnya.
"Arsia, apa kau mendengarku?" Salim memastikan. Karena Arsia ketakutan ada kemungkinan bila otaknya yang sudah lambat itu jadi tidak bekerja.
"Apa yang mau kau katakan?" Arsia merespon.
Merasa Arsia akan nyambung bila diajak bicara, Salim pun melanjutkan, "Untuk ucapanku barusan--"
"Ucapan yang mana?" potong Arsia dengan ketus.
Salim menarik nafas. 'Gadis ini apa tidak bisa lebih sopan sedikit?', dia mengeluh dalam hati.
"Aku akan tinggal di sini. Kalau kau tidak keberatan tinggal dengan pria asing, itu urusanmu. Tapi aku keberatan," ulang Salim. "Yang itu."
"Ah, ya, ya... Ucapan kurang ajar itu," kata Arsia sambil mengibas-ngibaskan tangannya dengan gerakan mengusir. Kemudian Arsia membicarakan tentang Salim dengan dirinya sendiri, "Sudah kurang ajar. Dua kali pula dia mengucapkannya."
Salim mendengarnya, tentu saja. Namun tidak ada yang dapat dilakukan oleh pria tersebut selain memperbanyak stok sabarnya. Dia butuh Arsia sekarang. Setidaknya sampai Yıldıray kembali. Jadi Salim harus berhati-hati untuk tidak membuat Arsia bertambah marah.
'Bukankah dia yang memintaku untuk mengulangnya?', dalam hati Salim mengeluh. Nampaknya ke depan perjalanannya dengan gadis itu takkan mudah.
"Ee, lalu apa yang akan kau katakan tentang itu?" Arsia melanjutkan pembicaraan mereka.
"Kau salah paham dengan itu. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk merendahkanmu," ucap Salim.
"Aku tidak mengerti maksudmu. Katakan dengan lebih jelas lagi!" Arsia mulai tidak sabar.
"Kita bukan keluarga. Aku hanya tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman tentang itu. Terlebih kau perempuan. Akan lebih tidak menguntungkan bagimu."
Arsia mencerna kata-kata Salim.
"Kau mengerti?" Salim bertanya hati-hati ketika dilihatnya Arsia masih tenggelam dalam pikirannya.
Arsia menatap Salim lekat. Dia tidak berkata apapun. Salim pun balik menatap Arsia, menunggu gadis itu mengatakan sesuatu.
"Lalu kenapa kau bilang aku tidak bisa pergi? Apakah kita sudah jadi keluarga sekarang?"