Bibir gadis itu berkedut.
Dari situlah Salim menyadari kalau gadis itu sudah tersadar dan sedang berpura-pura masih pingsan. Karenanya dia berniat untuk menjahilinya, selain karena Salim memang butuh informasi dari gadis tersebut. Rencananya berhasil tentu saja. Jadi di sinilah mereka sekarang, saling berhadapan dengan satu sama lain.
Wajah gadis itu pucat pasi. Ketakutan terlihat jelas dalam sorot matanya. Dari keseluruhan gestur tubuhnya, Salim tahu bila gadis itu melihat mereka sebagai ancaman.
'Mengapa orang yang tersentuh jaman modern berfantasi untuk membunuh satu sama lain atau dibunuh?', pikirnya.
Mengalihkan fokusnya dari gadis itu, Salim pun melirik Behram. Kedua orang tersebut merupakan alasan mengapa dirinya berpikir demikian. Yang satu menangkap bila mereka akan melakukan pembunuhan. Yang satu menangkap bila dirinya akan dibunuh.
"A-apa kalian akan membunuhku?" tanya gadis itu dengan suara bergetar. Sepasang mata hitamnya memperhatikan dirinya meskipun dengan takut-takut.
Salim menatapnya. Gadis itu ketakutan tapi tetap saja penasaran. Perpaduan yang menggelitik bagi Salim.
'Berapa usianya? Dia seperti anak kecil', Salim bertanya-tanya.
Dia pun bergerak menilai. Awalnya dari tampilan fisik gadis tersebut. Tak lama, Salim memproses hasilnya.
'Dia terlihat seperti anak umur 15 tahun secara fisik', nilainya. Tapi dirinya merasa janggal dengan hal tersebut. Dia yakin kalau gadis itu lebih tua daripada yang terlihat secara fisik.
Salim lalu mencoba menilai lagi melalui cara berpikir gadis itu. Namun yang ini pun tak berhasil. Gadis itu kembali menanyakan sesuatu yang konyol.
"A-apa kalian mafia? A-atau gangster?" suara gadis itu tertahan di kerongkongan saat menanyakannya.
Tawa Salim nyaris meledak karena mendengarnya. Sungguh, gadis itu sangat menggelikan baginya. Namun dia menahan diri untuk tidak tertawa. Bisa-bisa gadis itu malah akan menganggapnya psikopat bila Salim tertawa di atas penderitaannya.
"Apakah kami terlihat seperti salah satunya?" Salim balik bertanya.
Gadis itu menyipitkan matanya. Sorot matanya menatap dengan pandangan mencurigai. Tangannya lantas menarik selimut lebih tinggi menutupi tubuhnya.
Semua gerak-gerik gadis itu tentu saja tak luput dari pengamatan Salim. Dia lalu mengubah posisinya dalam memperhatikan si gadis. Dari yang bersedekap, Salim menggunakan tangan kanannya untuk menopang dagunya.
Gadis itu memalingkan wajah darinya. Dengan berbisik, ia berbicara dengan dirinya sendiri, "Kenapa dia malah balik bertanya?"
"Aku dapat mendengarmu," Salim menanggapi.
Gadis itu dengan cepat segera menolehkan kepalanya. Sepasang mata bulatnya memandang dengan gusar ke arah Salim.
"Kalau begitu pura-pura lah tidak dengar!" ia menyahut kesal pada Salim.
Salim menjengitkan sebelah alisnya. Dirinya tidak menyangka akan mendapat balasan seperti itu dari si gadis asing. Sudut bibirnya pun berkedut menahan kegeliannya.
"Nona, perhatikan etikamu," Behram memperingatkan. Pria itu sedari tadi berdiri dalam diam di sisi Salim. Dia baru bereaksi karena menurutnya gadis itu sudah sangat tidak sopan terhadap tuannya yang notabene seorang pangeran.
"Justru kalianlah yang harus memperhatikan etika kalian! Kalian yang masuk secara ilegal ke rumah orang lain, kalian pulalah yang berceramah soal etika. Sungguh menggelikan!" cerocos si gadis. Rasa takutnya tiba-tiba hilang berganti dengan kejengkelan.
Mata si gadis dengan nyalang memandang ke arah Behram. Melihatnya, Salim tahu bila emosinya belum tuntas terhadap Behram. Seharusnya Salim memang menengahi keadaan itu tapi entah mengapa dia sangat ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Jadi dia diam saja tak memberikan respon apapun.
"Anda juga sudah tua bukannya berada di jalan yang benar. Anda mau kuburan Anda sempit nantinya, ha?" suara gadis itu terdengar menantang.
Mendengarnya, Salim menarik tangannya demi menutupi mulutnya. Dia tertawa tanpa suara di balik telapak tangannya. Sedangkan Behram, pria itu membelalakkan matanya, kaget dengan tingkat kekurangajaran gadis tersebut. Namun Behram cukup bijak untuk tak terpancing membalas ucapan si gadis. Sebaliknya dia menumpahkan kekesalannya dengan menggerutu sendiri-sendirinya, "Bagaimana Yıldıray bisa membawa gadis di bawah umur sepertinya kemari. Anak durhaka itu..."
"Aku bukan anak di bawah umur, Tuan," gadis itu menanggapi dengan tersinggung. "Aku sudah 20 tahun dan penyewa di sini," ia memberikan penekanan pada kata 'penyewa'. "Kalau-kalau Anda mengira bila saya tinggal bersama Yıldıray," tambahnya.
'20 tahun tapi seperti anak 15 tahun', Salim mengomentari dalam hati.
Behram hendak mengatakan sesuatu pada gadis itu. Tetapi Salim segera mengangkat tangannya, meminta Behram untuk menutup mulutnya.
"Siapa namamu?" Salim bertanya.
"Untuk apa kalian mengetahui namaku? Bukankah kalian yang seharusnya memperkenalkan diri? Ini rumahku!" sahut gadis itu tajam.
"Nona!" seru Behram kembali memperingatkan.
"Behram, kau tenanglah," Salim menahan pelayannya itu.
Behram pun menutup mulutnya. Pria itu mengikuti instruksi tuannya meskipun dengan berat hati. Dia sama sekali tidak mengira akan bertemu dengan seseorang yang sama mengerikannya dengan Yıldıray-nya itu.
'Satu Yıldıray tidak cukup, sekarang ada versi perempuannya pula. Pas sepasang', batin Behram.
"Baiklah. Aku Salim dan ini--" perkenalannya terpotong.
Gadis itu menepukkan tangannya. Memotong ucapannya, "Kalian anak dan ayah yang dimaksud Yıldıray?"
Salim tidak bersuara. Bagaimana dia mau menjawab kalau gadis itu segera lompat dari kasur tanpa menggubrisnya. Dilihatnya gadis itu meraih botol kaca kecil dari atas meja. Lalu berjalan mendekatinya.
"Katanya aku harus menyerahkan ini untuk kalian," gadis itu menyodorkan botolnya.
Salim menerimanya. Dia hendak bersuara namun gadis itu sudah mendahuluinya.
"Baiklah. Aku sudah menyerahkan apa yang kalian inginkan. Kalian tidak harus membunuhku dan anggap saja kita tidak pernah bertemu. Sekarang pergilah!"
Tentu saja tak ada yang beranjak dari tempat tersebut. Keduanya justru terdiam seperti patung yang matanya terarah pada si gadis. Karenanya, gadis itu mengusir keduanya sekali lagi. Kali ini dengan seruan yang lebih keras dan memaksa.
"Eee kenapa kalian masih di sini? Sudah sana pergi!"
"Aku harus pergi ke mana? Ini rumahku."
Gadis itu terbengong-bengong mendengarnya.
***
'Apa dia bilang tadi? Rumahku?'
"Rumah... mu?" Arsia bertanya sekali lagi. Dirinya antara tidak yakin dengan pendengarannya dan terkejut.
Pria berambut pirang itu mengangguk. Ia tampak santai saja dengan segala kerusuhan yang terjadi di sana saat ini.
"Bukan milik Yıldıray?" Arsia mencoba mencerna apa yang sedang terjadi.
Sebenarnya dia was-was saat menanyakannya. Dia harus tahu jawabannya tapi juga tidak ingin mendengarnya. Rasanya dia sudah tahu jawabannya apa dan itu bukan sesuatu yang diinginkannya.
Di depannya, pria itu kembali mengangguk. Sikap pria itu sungguh mengusiknya dan mengikis kesabarannya yang sebenarnya memang sudah tidak ada.
"Apa kau tiba-tiba bisu? Katakanlah sesuatu dan jangan hanya mengangguk saja!" seru Arsia sebal.
"Kau mau aku bilang apa? Bukankah kau sudah tahu jawabannya?" pria itu akhirnya membuka suara. Sepasang mata hijau chartreuse-nya menatap lurus pada Arsia. "Ah, tapi kalau ingin mendengarnya baiklah. Yıldıray mengerjaimu," lanjutnya.
Arsia mematung di tempatnya. Pria itu benar, kalau dia sudah tahu jawabannya. Tetapi mendengarnya disuarakan seperti ini ternyata tetap saja membuatnya terpukul.
"Dari mana aku tahu kalau kau tidak berbohong?" Arsia bertahan. Sebenarnya lebih untuk menyelamatkan sisa-sisa harga dirinya.
Pria tersebut lalu melangkah melewatinya. Dari laci meja di kamar itu dia mengambil sebuah map.
"Asli," katanya sembari menunjukkan sertifikat kepemilikan rumah.
Arsia mengamatinya dengan seksama. Ada foto pria itu yang tertempel di sisi kanan atas sertifikat tersebut beserta cap dan tanda tangan lembaga terkait yang menunjukkan keasliannya.
Arsia pun tak berkutik dibuatnya. Dia menutup matanya. Saat ini dia benar-benar merasa tolol luar biasa. Seolah tak cukup karena termakan permainan Yıldıray, dia juga baru saja mempermalukan dirinya sendiri di hadapan kedua pria tersebut.
"Hei, apa kau tidur?" pria muda itu memanggilnya.
Arsia membuka sedikit kelopak matanya. Dari baliknya dia mengintip pria tersebut hanya untuk memejamkan matanya kembali; kali ini lebih erat. Setelahnya Arsia membalikkan tubuhnya dan berlari naik ke atas kasur. Di sana dia menelungkupkan dirinya dan menggunakan selimut untuk menyembunyikan diri.
"Hei," si pria kembali memanggilnya.
Takut bila pria itu akan mengusirnya, Arsia buru-buru bersuara, "Aku tidak akan keluar dari rumah ini. Aku tidak bisa keluar sekarang!"
Suara langkah pria tersebut terdengar mendekatinya. Di bawah selimut, Arsia jadi semakin gusar dibuatnya.
"Siapa namamu?" tanya pria itu begitu mencapai sisi ranjang.
"A-Arsia," Arsia tergagap.
"Hmm, Arsia dari bahasa Persia yang berarti seseorang yang layak untuk tahta," pria itu berkata dengan nada suara yang seperti sedang berpikir.
'Huh? Kenapa dia jadi membahas arti namaku?', pikir Arsia tidak mengerti. Tetapi dia diam saja. Daripada menanggapi hal tersebut, lebih baik dia menggunakan tenaganya untuk memikirkan nasibnya setelah ini dan sebisa mungkin tak membuat pria itu kesal terhadapnya.
Arsia menunggu dalam cemas apa yang akan dikatakan oleh pria itu selanjutnya. Sambil menunggu, sambil dia memikirkan kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya. Bagaimana bila pria pirang itu mengusirnya? Arsia sudah menyerahkan uang sewanya kepada Yıldıray dan dia tidak ada uang lagi untuk menyewa apartemen lain yang pastinya harga sewanya jauh lebih mahal.
Arsia menghela nafasnya. Lalu dia mendengar suara pemilik rumah yang asli.
"Keluarlah dari sana, Arsia. Kita bicarakan secara beradab," pria itu berkata dengan suara yang tenang namun tak ingin dibantah.