Kalau perempuan lain akan senang diperlakukan secara gentlemen oleh lelaki tampan, terlebih bila lelaki itu merupakan seorang pangeran, tidak begitu dengan Arsia. Dia malah kabur saat Salim menarikkan kursi baginya. Dengan setengah berjinjit dan mempercepat langkahnya Arsia mengitari meja makan dan memilih kursi lain yang berseberangan dengan kursi yang ditarik oleh Salim.
Duduk di sana, Arsia mengamati menu yang terhidang di hadapannya. Ada buah zaitun hitam dan hijau, madu, selai raspberry, berbagai jenis keju, dan sebagainya yang memenuhi meja. Tetapi dia begitu bukan karena lapar, Arsia hanya menghindari untuk bertatap mata dengan Salim. Dia tahu bila si pangeran sedang menatapnya saat ini karena sikapnya barusan.
'Apa dia akan tersinggung?' Arsia bertanya-tanya. Setelahnya dia mengingatkan dirinya sendiri, 'Kau tidak boleh berdekatan dengannya, Arsia. Menarikkan kursi itu terlalu intim!'
Di sisi lain, Salim merasa gondok. Masih memegang sisi punggung kursi, dia menatap penuh tanda tanya pada Arsia. Yang ditatap justru bersikap polos seolah tidak tahu bila Salim menarikkan kursi untuknya dan bukan untuk dirinya sendiri. Akhirnya Salim berakhir menduduki kursi yang dia tarikkan untuk wanitanya itu. Dia lalu berdehem untuk menetralkan rasa gondoknya itu.
Tentu Salim ingin mendengar langsung dari bibir Arsia mengapa gadis itu menjaga jarak dengannya. Tapi akhirnya Salim melewatkannya. Dia tidak ingin merusak kesempatannya untuk duduk berdua bersama Arsia saat ini demi sesuatu yang sudah diketahuinya. Ada hal lain yang harus dia katakan kepada gadis itu nanti.
"Silakan," kata Salim saat dilihatnya Arsia belum juga mengambil apapun ke piringnya. Lalu sifat perhatiannya membuat sesuatu terlintas dalam pikirannya. "Apa kau tidak ingin makanan Turki?"
"Tidak. Aku sudah terbiasa dengan kuliner Turki," jawab Arsia.
Sebenarnya Arsia sedang menunggu Salim sebagai tuan rumah untuk mengambil terlebih dulu. Barulah setelah itu dia mengikuti. Meskipun dia bukan dari kalangan ningrat seperti pria di hadapannya itu, setidaknya dia masih tahu sopan santun (barang sedikit).
"Hm, bagus," Salim berkomentar. "Kau menyukainya?" sambil mengambil sarapannya sambil Salim melanjutkan obrolan mereka.
Arsia sendiri meringis dalam hati karena pertanyaan Salim tersebut. Masalahnya bukan dia menyukai atau tidak menyukainya. Arsia membiasakan dirinya dengan makanan Turki karena ingin mengambil hati Selim. Apalagi?
Kalau Arsia mau, dia bisa memasak masakan Indonesia setiap hari meskipun sedang berada di Turki. Tetapi dia merasa tidak akan bisa masuk ke dunia Selim bila tidak melakukan pendekatan ke kulturnya terlebih dulu. Jadi sejak dia berada di Turki, Arsia sudah tidak asing lagi dengan kuliner Turki (ya, sudah selama itu dia memendam rasa kepada Selim).
Tapi tidak mungkin mengatakan hal tersebut kepada Salim, bukan?
"Secara keseluruhan aku menyukai masakan yang berbumbu kuat. Dari Turki bagian barat misalnya. Tentu saja ada beberapa masakan yang tidak cocok di lidahku, masakan Indonesia pun juga ada yang tidak aku sukai. Tapi selama ini tidak ada masalah sama sekali," Arsia menjawab secara terbuka.
"Itu artinya kau tidak akan ada masalah tinggal di Turki," pernyataan Salim terdengar seperti pertanyaan.
"Untuk urusan makanan tidak. Tapi aku hidup bukan hanya untuk makan," balas Arsia.
Salim menatap gadis itu. Sebelah alisnya terangkat sebab pernyataan Arsia barusan. Dia antara ingin tertawa dan juga penasaran.
"Lalu kau hidup untuk apa?" tanyanya. Secara tidak langsung Salim ingin mengenal gadis itu lebih jauh.
"Untuk bertahan hidup," jawab Arsia apa adanya. Dia menatap Salim sekilas saat mengatakannya. Lalu menurunkan pandangannya dan melanjutkan sarapannya.
Pikir Salim, Arsia akan menjawab dengan jawaban klise seperti 'untuk bahagia' atau semacamnya. Mengingat bila gadis itu sepertinya tidak terlalu pintar, tentu Salim tidak mengira bila Arsia akan memberikan jawaban seperti itu. Dan jawaban Arsia itu justru semakin meyakinkan dirinya kalau Arsia adalah sosok yang tepat untuk mendampinginya.
"Sungguh menarik," Salim memuji. Dia lalu mengambil buah zaitun hijau dari piringnya. Sambil mengunyah sambil dirinya memperhatikan Arsia.
Salim kembali membayangkan bila Arsia tinggal di istana bersamanya. Gadis itu yang akan menggunakan kaftan anggun sebagai istri seorang pangeran pasti akan terlihat mencolok di tengah wanita-wanita berwajah perpaduan Eropa di Harem. Namun yang akan paling terlihat dari Arsia adalah keberaniannya.
Gadis itu bahkan tidak peduli bila dirinya adalah seorang pangeran. Arsia memperlakukannya seperti dia adalah teman bermain gundunya. Dengan sedikit polesan, Salim yakin bila Arsia akan menjadi pribadi yang bersinar bak berlian. Dan pikirannya akan hal tersebut membuat Salim tersenyum sendiri-sendirinya dengan menundukkan wajahnya.
"Ada apa?" Arsia bertanya. Dia tidak sengaja melihat Salim yang tersenyum. "Apakah ada yang lucu?" tanyanya lagi, ingin tahu apakah pria itu tengah menertawainya. Bagaimanapun di meja itu dia adalah rakyat jelata.
"Tidak ada. Aku hanya memikirkan jawabanmu tadi."
"Oh..."
Setelahnya Arsia melanjutkan sarapannya. Salim memperhatikannya. Piring gadis itu tidak terisi penuh. Hanya sebutir telur rebus, lima buah zaitun, dan juga dua lembar keju yang diambil Arsia. Dari situ Salim mengambil kesimpulan kalau wanitanya itu hanya akan mengambil sesuatu seperlunya saja.
Keduanya lantas makan dengan tenang. Atmosfernya berbanding terbalik dengan kekacauan yang terjadi semalam. Untuk sementara Salim menikmatinya.
Dia memang tidak berharap Arsia akan menanyakan sesuatu padanya. Mencari tahu mengenai dirinya misalnya. Untuk itu, Salim sudah memutuskan kalau dia lah yang akan memperkenalkan dirinya secara perlahan kepada Arsia. Setelah gadis itu menjadi istrinya, tentunya.
"Apa kau tidak ingin menceritakan tentang dirimu?" Salim bertanya ketika dirasakannya situasi semakin hening. Hanya terdengar suara garpu yang beradu dengan piring porselen.
"Untuk apa?" Arsia bertanya acuh.
Mendapat tanggapan seperti itu dari Arsia, Salim meletakkan garpunya dan menghentikan sarapannya. Dia masuk ke mode serius. Timing-nya sudah tepat.
"Arsia, untuk ucapanku yang semalam aku tidak serius," bukanya.
Arsia berpikir. Dia mengurut percakapannya dengan Salim kemarin. Matanya lantas berbinar waktu dia memastikan, "Tentang aku yang tidak bisa menikahi pria lain?"
Salim melengos dalam hafi mendapati ekspresi di wajah Arsia.
'Apa dia sebegitunya tidak menyukaiku? Apa lebihnya pria itu dibandingkan denganku?', sungutnya.
"Bukan. Tentang kau yang bisa memilih untuk menikahi salah satu di antara aku, Behram, dan Yıldıray," Salim meluruskan. Sekalipun kesal, dia berusaha untuk tak menunjukkannya pada Arsia. Dia tidak ingin gadis itu justru jadi antipati terhadapnya kalau dia menunjukkan ketidaksukaannya.
Wajah Arsia langsung jatuh mendengar jawaban Salim. Hanya 'oh' yang terdengar dari bibir penuhnya.
'Dia bahkan tidak mencoba untuk menyembunyikan kekecewaannya', Salim mengomentari reaksi Arsia.
"Jadi maksudmu aku hanya bisa menikahimu? Begitukah?" tanya Arsia sambil memandang pada piringnya.
"Ya," Salim menjawab tegas.
Hening. Arsia seperti hendak mengatakan sesuatu tapi dia menahannya dengan memakan sarapannya. Salim merasa kalau Arsia pasti sedang tertekan saat ini. Gadis yang kemarin asal bunyi saja saat berbicara kini tiba-tiba menahan apa yang hendak diucapkannya.
Sejenak Salim jadi iba pada Arsia. Tetapi rencana mereka tetap harus berlangsung. Selain posisi Arsia sebagai pemegang kunci emasnya, kini Salim sudah memiliki motivasi yang lebih kuat lagi untuk menikahi gadis itu.
"Arsia, aku memahami kekhawatiranmu," Salim menahan ucapannya. Dia ingin melihat ekspresi Arsia. Gadis itu tidak mengatakan apapun. Namun Salim yakin bila kini Arsia tengah memikirkan kemungkinan dirinya yang akan menyentuhnya. Seperti yang dikatakan gadis itu kepada Behram.
"Karenanya pernikahan ini hanya akan berlangsung sampai Yıldıray ditemukan," lanjutnya mengakhiri kegelisahan Arsia.
Mendengarnya, Arsia mengangkat wajahnya.
"Dan aku tidak akan menyentuhmu selama itu," Salim menambahkan.
Katakanlah itu adalah perjanjian pra-nikah di antara keduanya. Tapi Salim tahu dengan pasti bila semua sah dalam perang dan juga cinta.
"Jadi, maukah kau menikah denganku, Arsia?"