Chereads / Harem Post / Chapter 19 - Salim yang Memaksa

Chapter 19 - Salim yang Memaksa

Semalam di kamar Salim

Salim berdiri di tepian kasur. Wajahnya menunduk demi memandang pada salah satu keindahan dunia yang terhampar di depannya saat ini. Di atas peraduannya, dilihatnya gadis itu tampak sangat lelap. Nafasnya naik turun dengan teratur.

Sepasang mata hijaunya bergerak di atas wajah Arsia. Merekam setiap detailnya, sekali lagi. Salim tidak tahu bagaimana hanya dengan memandang gadis itu bisa menciptakan rasa bahagia dalam dirinya. Terlepas dari apa-apa yang terjadi di antara mereka hari itu dan fakta bahwa mereka baru saja bertemu.

Sedari awal Salim melihat Arsia -- 'menemukan' gadis itu di dalam rumahnya -- dia sudah merasakan bila Arsia sangat menarik. Tetapi entah bagaimana Arsia bertambah menjadi semakin memukau di matanya hanya dalam hitungan jam. Tiba-tiba saja dia sudah terpikat pada Arsia. Apakah mungkin ini karena ikrarnya akan menikahi gadis itu? Yang membuatnya seperti terkena kutukan cinta pertama?

Ah, apapun itu. Yang pasti dia sudah melihat Arsia sebagai takdirnya.

Masih sambil memandang intens Arsia, Salim tersenyum lembut. Gadis itu lalu bergerak pelan, menyamankan posisi tidurnya. Beberapa helaian rambutnya pun terjatuh menutupi wajahnya. Menghalangi pandangan Salim akan keindahan rupanya.

Mungkin sudah saatnya bagi Salim untuk hengkang dari tempat itu. Namun sisi lain dari dirinya ingin bertahan di sana lebih lama lagi dengan Arsia yang terlelap.

Begitulah Salim kemudian mengulurkan tangannya. Secara perlahan menyingkirkan helaian rambut Arsia dan menyelipkannya ke belakang telinga gadis itu.

Sejenak Salim tertegun. Ada sesuatu yang berdesir dalam dirinya saat dia melakukannya. Sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang asing namun terasa candu baginya. Yang membuatnya menginginkan lebih daripada yang semestinya.

Dia tahu seharusnya dia tidak melakukan hal ini tetapi dorongan dalam dirinya begitu kuat.

Salim membelai pipi Arsia.

Menggunakan sisi jari telunjuknya dia menelusuri wajah gadis itu. Matanya pun mengikuti pergerakan jarinya dan kulit wajah Arsia yang telah dijejaknya. Seiring dengan itu, desiran dalam dirinya semakin menguat. Membangkitkan ego laki-laki dalam dirinya.

"Kau milikku, Arsia," ucapnya.

***

Setelah pembicaraannya dengan Behram selesai, Salim keluar kamar. Matanya langsung tertuju pada kamar Arsia yang pintunya tertutup lalu ke arah meja makan. Menu sarapan mereka yang masih utuh tak tersentuh membuat Salim menghela nafasnya.

"Dia belum makan rupanya," gumamnya.

"Apa perlu saya memanggil Nona Arsia, Yang Mulia?" tanya Behram yang sudah menyusul di belakangnya.

"Tidak, Behram. Biar aku saja," sergah Salim.

Behram mengangguk. Mengerti bila tuannya itu membutuhkan waktu untuk berbicara dengan wanitanya berdua saja. Maka tidak sepantasnya bagi dirinya untuk berada di tempat tersebut.

"Baik, Yang Mulia. Saya permisi dulu kalau begitu," pamit Behram.

"Kau ambillah sarapanmu lebih dulu," kata Salim.

"Yang Mulia--" Behram hendak menolak. Mana berani dia makan lebih dulu daripada tuannya, dari menu yang terhidang untuk tuannya pula. Itu merupakan suatu kelancangan. Tapi ucapannya terputus.

Salim menyergahnya, "Ini perintah."

"Terima kasih, Yang Mulia," ucap Behram dengan wajah tertunduk.

"Aku yang berterimakasih padamu, Behram," kata Salim tulus sembari menepuk bahu pelayan setianya itu.

Atas bantuan Behram lah Salim kini dapat menyusun langkah selanjutnya. Kalau tidak ada Behram yang berbicara dengan Arsia dan mengulik informasi, situasinya akan lebih pelik bagi Salim. Sudah pasti gadis itu tidak akan mau didekatinya dengan mudah. Jangankan berbicara, Arsia akan menyalak kepadanya seperti semalam.

Salim pun beranjak ke kamar Arsia. Langkahnya terhenti di depan pintu gadis itu. Tangannya yang terkepal lalu mengetuk pintu dengan gerakan beritme yang tidak terlalu keras. Tak lama, dari dalam terdengar suara langkah yang mendekat ke arah pintu.

Arsia yang memang hendak keluar kamar, membuka pintunya tanpa bertanya terlebih dulu. Pupil matanya membesar seketika saat dilihatnya Salim lah yang berada di depan pintunya.

'Arsia, ini rumahnya. Wajar jika dia berada di sini', Arsia mengingatkan dirinya.

Tapi pikiran Arsia terus saja tertuju pada kejadian memalukan tadi pagi. Dia tidak siap bila harus berhadapan dengan Salim secepat ini.

"Ehm, apa ada sesuatu?" Arsia bertanya canggung.

Salim memperhatikannya. Dari saat Arsia terkejut saat melihatnya sampai detik ini di mana gadis itu berusaha untuk menghindari kontak mata dengannya. Itu membuat Salim seakan dicubit tepat di ulu hatinya -- sikap Arsia yang menghindarinya itu.

"Apakah kau sudah sarapan?" Salim bertanya dengan nada senormal mungkin. Berpura-pura tidak melihat sikap Arsia tersebut.

Arsia menggeleng pelan.

"Ayo, sarapan bersama kalau begitu," ajak Salim.

"Aku akan pergi bertemu dengan temanku," tolak Arsia cepat. Dia membuat kontak mata dengan Salim sebentar saat mengatakannya lalu segera menurunkan pandangannya kembali.

'Dia pasti akan mengira kalau aku hanya membuat alasan saja', Arsia membatin.

Tapi Arsia benar akan pergi menemui Nadia dan Alina. Mereka baru saja membuat janji karena Arsia tidak tahu apa yang harus dilakukannya di rumah itu sendirian. Tepatnya, dia tidak ingin menghabiskan waktunya sepanjang hari bersama dengan Salim dan Behram.

Salim yang memahami ketidaknyamanan Arsia tersebut tidak segera mengucapkan apapun. Sebaliknya dia hanya menatap Arsia lebih dalam.

Arsia yang merasa ditatap oleh Salim pun melirik pria tersebut. Mendapati bagaimana sepasang mata chartreuse itu terpaku lurus padanya, Arsia jadi merasa terintimidasi.

'Apa dia pikir aku akan kabur?', Arsia menerka-nerka.

Lalu katanya pada Salim, "Aku akan kembali lagi kemari."

Baiklah, ucapan Arsia itu memang menenangkan Salim. Tetapi bukan itu yang hendak diketahuinya.

"Apakah temanmu perempuan atau lelaki?" tanya Salim to the point.

'Pertanyaan macam apa itu?', batin Arsia yang tidak menyangka akan ditanyai begitu, oleh Salim pula. Dan itu membuatnya kesal karena urusan pribadinya telah dicampuri oleh pria tersebut.

"Maaf Yang Mulia Salim, tapi apakah itu penting?" Arsia balik bertanya dengan ketus.

Salim menangkap kekesalan Arsia dengan baik. Tentu saja. Bagaimana dia tidak mengerti bila Arsia kesal padanya ketika gadis itu menatapnya dengan mata menantang?

'Dia benar-benar seorang pemberontak', batin Salim. Mungkin itu akan membuat kepalanya pusing berkepanjangan. Namun sama sekali tidak membuat Salim mempertanyakan kembali keputusannya untuk menikahi gadis itu.

Salim menyukainya. Semua perpaduan sifat Arsia tersebut.

Belum apa-apa dia bahkan sudah membayangkan bila dirinya memboyong Arsia ke istana. Dengan sifatnya, Arsia pasti tidak akan mudah diinjak di Harem dan dapat bertahan di sana mendampinginya.

"Sangat," Salim menjawab dengan nada mendramatisir. Dia memang sengaja membercandai Arsia dengan menunjukkan sisi ningratnya.

Arsia menatap Salim dengan sorot tidak percaya alih-alih terpesona. "Beri aku alasan kenapa urusan pribadiku menjadi penting?" tantangnya.

"Karena kau akan menikah," jawab Salim santai.

'Denganku', tambah Salim dalam hati.

Sayangnya, itu bukan jawaban yang disukai Arsia.

Arsia tidak menyangka kalau dirinya akan berada pada titik di mana dia akan sebal mendengar kata menikah. Ingatannya langsung terlontar ke kejadian sial yang harus dijalaninya semalam. Dan tampaknya kesialan itu masih akan berlanjut.

"Baiklah... Teman-temanku itu, mereka semua perempuan," Arsia mengalah.

Salim mengangguk puas. "Kau bisa ke sana setelah sarapan," putusnya.

"Tapi aku tidak sedang meminta izin padamu," Arsia memprotes.

'Aku tahu. Aku hanya tidak ingin melewatkan sarapan bersama calon istriku', Salim menjawab dalam hati.

"Kau tidak bisa melewatkan sarapan. Tubuhmu membutuhkannya. Dari tiga waktu makan sarapan lah yang paling penting," Salim bertele-tele.

Arsia terdiam. Dia tidak tahu apalagi yang harus dikatakannya pada Salim. Seandainya dia tidak ada rencana dengan Nadia dan Alina hari ini, sudah pasti dia tetap akan menolak untuk sarapan bersama pria itu.

'Bagaimana aku bisa duduk bersama dengannya?', Arsia cemas.

"Jangan khawatir. Aku tidak akan melakukan apapun padamu," kata Salim saat dilihatnya Arsia gusar dalam diamnya.

Arsia mengangkat wajahnya demi mendengarnya. Sepasang mata hitamnya menatap Salim dengan sedikit rasa kaget yang berusaha disembunyikannya. Pikirannya pun segera tertuju pada percakapannya dengan Behram tadi.

'Dasar Arsia bodoh!', rutuknya kemudian pada dirinya sendiri.

Arsia lalu segera menarik pandangannya dari Salim. Perasaannya benar-benar malu memikirkan bila Salim telah mengetahui alasan utamanya menolak untuk menikahi pria tersebut. Arsia sendiri tidak tahu bagaimana dia bisa melupakan fakta kalau Behram adalah orangnya Salim. Tentu saja pria tua itu akan melaporkan segala sesuatunya pada tuannya.

"Arsia?" Salim memanggil. Memastikan gadis itu untuk menerima ajakan sarapan bersamanya.

Arsia menghela nafas. "Baiklah," dia menyerah.

Salim tersenyum tipis mendengarnya. Dadanya dipenuhi oleh kepuasan. Yah, meskipun dia sadar bila telah memaksa Arsia dan gadis itu terpaksa untuk menyetujuinya. Tapi dia tidak bisa untuk tidak merasa senang karena wanitanya akan menemaninya sarapan. Untuk pertama kalinya Salim akan makan dengan keluarganya sendiri walaupun Arsia belum bisa menerimanya saat ini.

'Kau akan terbiasa denganku, Arsia,' yakin Salim.