Menjelang tengah malam, Sander tiba di apartemen Retha. Dia tidak perlu mengetuk pintu karena Sander memiliki kartu khusus untuk memasukinya. Retha sendiri yang memberikan semua kebebasan akses untuk Sander datang dan pergi sesuka hati.
Suasana apartemen Retha tampak gelap. Hanya sekilas cahaya mengintip dari salah satu sisi apartemen, sudah bisa dipastikan itu adalah kamar Retha yang tidak tertutup rapat. Sehingga cahaya kamar terlihat dari ruangan lain.
Sander mendorong pintu agar terbuka lebar dan memberi akses dirinya untuk masuk. Dilihatnya Retha sedang duduk di depan meja rias membersihkan wajah. Di balik make up tebal yang selalu melekat di wajahnya, Retha memang cantik dengan wajah putih mulus.
Senyum Retha mengembang saat dia melihat Sander dari dalam kaca di hadapannya.
"Halo Sayang, lama sekali kau baru tiba."
"Aku baru saja membereskan seorang pejabat yang mencoba bertingkah dengan media kami. Apa kau sudah lama menungu? Jalanan Jakarta sama sekali tidak bersahabat bahkan di tengah malam seperti ini."
Sambil tersenyum Retha menyambut lengan Sander yang telah mengalung di lehernya dari belakang. Aroma wangi dan lembut tercium dari parfum Retha yang mahal. Wanita ini memang sangat berkelas dengan segala pilihannya.
"Kau masih terjaga di jam seperti ini?" tanya Sander.
"Aku menunggumu karena tahu kau akan datang," Retha menjawab lembut.
Senyum nakal Sander terlihat dengan kata-kata sensual Retha. Sementara tangan Retha masih sibuk dengan selembar kapas dan membersihkan wajahnya seksama.
Retha berdiri menghadap ke arah Sander. Dia melihat Sander tampak sangat lelah dan kusut. Retha berpikir pasti pria ini sedang menghadapi sebuah masalah besar.
Retha duduk di pangkuan Sander dan mulai membuat goresan-goresan di wajah dingin Sander.
"Sander, kenapa kau tidak pernah tersenyum? Sejak bersamamu dua tahun terakhir, jangankan tawa, satu senyuman bahagia pun tidak pernah muncul di wajahmu. Bukankah kau selalu senang bersamaku?"
Mata Sander yang semula berkilatan penuh kabut keinginan mendadak dingin dan gelap.
"Jangan kau pertanyakan sesuatu yang bukan urusanmu Retha. Hubungan kita hanya tentang bisnis. Kau mendapatkan berita yang kau inginkan dan aku mendapat kepuasan."
"Baiklah, kau tidak ingin mencoba memberiku kesempatan untuk menempati hatimu?"
"Tidak ada tempat di hatiku. Dengar Retha, aku belum selesai membereskan menteri itu. Aku tahu dia masih menyimpan kemarahan padaku. Tapi, aku ingin kau menjadi pion terakhir jika aku butuh untuk menuntaskan dia pada akhirnya."
"Kau memang pebisnis sejati. Kau bahkan menukarku untuk keselamatanmu. Tentu akan aku lakukan apa pun yang kau minta, dan aku rasa menteri itu akan memberikan harga fantastis bukan?"
"Sesuai yang kau mau Nona Margaretha Niyan,"
Sander dan Retha pun memulai kegiatan favorit mereka. Dua orang tanpa hubungan selain ingin berbagi keuntungan demi kepentingan masing-masing. Realita hubungan yang tidak Sander temukan dalam diri wanita selain Retha.
Kepuasan yang di dapat bukan membuat Sander bahagia, justru semakin tenggelam dalam luka. Sementara Retha bergelung manja di pelukan Sander Brandt.
***
Kaca mata hitam itu membingkai wajah Sander yang tampan. Dibalut kaos warna biru gelap dan celana jeans, Sander terlihat gagah di atas Jeep yang dia kendarai. Baru saja mobil itu keluar dari jalan tol menuju rumah sakit Ciawi.
Melewati pasar yang padat, pandangan Sander menelisik pada setiap orang yang berlalu lalang. Sulit dipercaya dengan kota seramai ini tidak ada yang menyadari ada sebuah tempat terpencil yang jauh dari hingar bingar dengan begitu banyak rahasia di dalamnya.
Wajah Eropa Sander, terlihat jelas dari mobil Jeep dengan bagian kaca terbuka. Sedikit menarik perhatian beberapa orang yang melihat ke arahnya. Belum lagi mobil Jeep dengan warna kuning mencolok itu, membuatnya menonjol di antara deretan mobil-mobil lain.
Sander tak menghiraukan pandangan warga yang sedang sibuk di pasar itu ke arahnya. Dia dengan tenang terus melajukan kendaraan hingga mencapai rumah sakit Ciawi. Belum lagi Sander turun dari mobil, dia melihat sosok Wuri berjalan dari arah luar rumah sakit dengan sebuah kantong besar. Tampaknya berisi air mineral dan beberapa barang lainnya.
Tidak menyadari keberadaan Sander di dalam mobil Jeep warna kuning, Wuri melewatinya begitu saja. Di dalam mobil, Sander menggelengkan kepala melihat langkah cepat Wuri. Begitu fokus dan tidak ada keinginan melihat sekitar.
Wuri terkejut dan nyaris saja berteriak ketika tiba-tiba ada sebuah tangan yang mengambil kantong plastik besar dan berat dari tangannya. Namun dia urung ketika melihat wajah dingin Sander. Ternyata pria itu yang baru saja menyentuh tangannya dan membawa kantong kresek warna putih itu. Tanpa kata Sander berjalan di depan Wuri.
Gadis itu terlihat jengkel dengan sikap Sander yang sangat arrogant. Dia ingin marah dan memaki pria yang punggungnya terlihat di hadapannya. Namun kemudian Wuri sadar, begitulah cara Sander menunjukkan kemachoannya. Membantu membawa barang berat dari seorang wanita yang dia kenal. Kenal?!
"Bisa nggak sih, jadi orang tuh ada basa basinya gitu. Udah kaya jambret aja!"
Sambil berjalan mendahului Sander, Wuri mengomel cukup keras. Tiba-tiba seulas senyum muncul di wajah Sander. Gadis yang sangat berani, membuat Sander merasa tertantang untuk menggoda Wuri lebih lagi. Mereka berdua pun masuk ke lift rumah sakit. Di hari menjelang siang rumah sakit ini tampak lenggang. Tidak ada siapa pun di sana kecuali mereka berdua.
Sander menatap Wuri tajam. Menyadari dirinya sedang diperhatikan, Wuri pun mulai tidak nyaman.
"Ngapain sih lihat orang begitu? Aku bukan mangsamu tau!"
Sander perlahan melangkah mendekati Wuri. Mereka berhadapan, raut gugup mulai terlihat di wajah Wuri.
"Ma-ma-mau ngapain?" meski takut tapi Wuri menengadahkan wajahnya menantang wajah Sander yang masih memakai kaca mata hitam.
Tidak memperdulikan pertanyaan Wuri, Sander terus melangkah. Hingga jarak mereka berdua hanya tersisa sejengkal. Dengan sebelah tangan kekarnya, Sander mengurung Wuri di sudut lift.
"Kenapa kau tidak mengirimkan nomormu padaku?" tanya Sander dingin.
"U-untuk apa? Lagi pula aku bukan pelayan atau pegawaimu, aku tidak perlu melakukan semua yang kau perintahkah." Dengan semua keberanian, Wuri tetap menjawab pertanyaan Sander juga memberikan perlawanan.
"Begitu ya? Jadi, pihak rumah sakit memberikan tagihan padaku dan aku perlu mengkonfirmasi apakah semua yang mereka tagihkan sudah Ratna dapatkan pada siapa? Siapa yang paling tahu keadaan Ratna sekarang?"
Menyadari kesalahannya, Wuri menunduk malu.
"Maaf,…." Akhirnya sebuah kata meluncur lirih dari bibir mungil Wuri.
"Kau pikir aku meminta nomormu karena aku tertarik padamu? Dan ingin menggodamu? Aku tidak tertarik dengan satu pun gadis di desa kalian!"
Merasa Sander sedang menghinanya, Wuri menatap sengit, "Lalu kenapa kau datang lagi dan lagi ke desa kami? Hah?!"