Tidak tahu kenapa, tapi selama menyetir Aleera malah memikirkan semua perkataan yang Allesio utarakan kepadanya. Semua mengenai rumah dan kenyamanan. Kedua hal yang menurut Allesio ia miliki, tapi tidak ia syukuri.
Aleera mengerti apa yang Allesio utarakan kepadanya. Apalagi mengingat ekspresi laki-laki itu kemarin, sedihnya itu berhasil membuat Aleera benar-benar merasa kesal, entah kenapa.
"Padahal baru pertama kali aku bertemu dengannya, tapi kata-kata yang ia utarakan dengan seenaknya masuk ke dalam pikiranku," keluh Aleera sambil mengemudikan mobilnya. Aleera tidak habis pikir dengan laki-laki itu.
Tapi, mata Allesio tidak berbohong. Sebenarnya, bukan kata-kata Allesio yang membuat Aleera jadi merasa tidak enak hati seperti ini. Ekspresi laki-laki itulah yang membuatnya menjadi seperti ini.
Tempat pulang. Mungkin, Allesio mengatakan hal itu karena Allesio sendiri masih belum memiliki tempat pulang yang ia impikan. Sehingga, ia berani mengatakan hal berat itu kepada Aleera.
Okay. Gosip mengenai perusahaan Raesha dan CEO nya yang merupakan anak angkat dari sebuah panti asuhan itu sebenarnya sudah diketahui hampir seluruh kalangan pebisnis di negara ini ataupun di negara lainnya. Semua orang menyepelekan Allesio, apalagi saat Allesio akan diangkat menjadi CEO. Mungkin banyak yang memujinya, tapi di balik pujian itu, banyak juga cemoohan orang yang Allesio dapatkan di balik tubuhnya yang terlihat kuat itu.
Aleera sebenarnya tahu itu, tapi ia tidak terlalu memikirkannya karena hal itu tidak berhubungan dengan bisnis butiknya. Bagaimana pun perputaran bisnis di sini, Aleera akan terus membuat baju dan mendesain baju. Aleera menyukai pekerjaan ini, uang menurut Aleera hanya sebuah kelebihan yang bisa ia dapatkan.
Sungguh, ia hanya berharap kalau ia bisa hidup dengan tenang. Hanya itu saja.
Tapi...
"Kalau aku menjadi dia, apa aku sanggup?" Pertanyaan itu spontan Aleera tanyakan kepada dirinya sendiri.
Banyak misteri mengenai Allesio, dan Aleera malah ingin mengetahuinya, semuanya. Tapi, Aleera sama sekali tidak tahu apa yang menyebabkan ia harus tahu hal itu. Alasan tepatnya, mengapa seorang Aleera harus tahu semua dibalik mata kesedihan dari seorang Allesio Aten Raesha.
Bahkan sekarang ia sudah menghapal nama lengkap dari laki-laki itu. Padahal kemarin, nama panggilannya saja Aleera tidak tahu.
Mobil Aleera terhenti di depan butiknya yang sangat ramai. Masuk ke dalam sana, menuju ke arah parkiran yang telah tersedia.
Setelahnya, Aleera keluar dari mobil. Aleera berjalan menuju ke depan butik dan masuk ke dalam. Aleera berharap tidak bertemu dengan siapapun lagi, termasuk orang-orang yang berhasil membuat perasannya menjadi tidak enak atau moodnya menjadi buruk seperti yang sudah-sudah.
Tapi, mata Aleera malah langsung bertemu dengan seorang lelaki berumur yang tidak ingin ia temui akhir-akhir ini. Bukan tidak ingin, tapi Aleera tahu mereka berdua masih harus mendinginkan kepala jika mau berbicara. Aleera harap, ia bisa berbicara dari hati ke hati dengan orang ini.
"Papa..."
Papa Aleera ini masih terlihat gagah, dengan wajahnya yang tegas dan tanpa senyuman di bibirnya. Papa Aleera berbeda dengan papa Allesio. Mungkin, papa Aleera memang lebih tegas daripada papa Allesio.
"Kamu bertemu dengan Allesio tadi?" tanya papa Aleera langsung kepada anaknya yang sangat cantik itu, anak kebanggaannya. Aleera melihat ke arah sekitar mereka. Tidak ada orang di sekitar sini. Tapi, hal seperti privasi memang tidak baik untuk dibahas di tempat umum.
"Kalau papa mau, kita bisa mengobrol di ruangan ku." Aleera meminta dengan sangat. Kalau mereka malah memutuskan untuk berdebat di sini, maka semuanya tidak akan baik lagi. Mau butiknya ataupun hubungan di antara mereka berdua.
Aleera jarang bertengkar dengan papanya seperti apa yang kita pikirkan sekarang, tapi Aleera tahu papanya sudah benar-benar marah besar kepadanya. Kalian pasti mengerti kenapa Aleera jarang bertengkar dengan papanya, kan? Aleera selalu melarikan diri.
Mereka pun beranjak dari sana. Lysa yang melihat itu malah hanya bisa pasrah. Tuan Gumara sepertinya sangat marah kepada nona Aleera.
"Ada apa, Pa?" tanya Aleera dengan sopan setelah mereka sampai di ruangan milik Aleera. Aleera hanya sibuk menudukkan kepalanya, menatap sepatu cantik miliknya yang juga merupakan barang jualannya itu.
"Kamu benar-benar tidak mau menerima Allesio sebagai suamimu?" tanya Papa Aleera serius. Aleera hanya diam saja, ia benar-benar tahu jawaban dari pertanyaan itu.
Tapi, melihat kantong mata papanya yang berhasil mencuri perhatian Aleera malah membuat Aleera merasa sedih.
Setelah mamanya meninggal dunia, mereka hanya tinggal berdua di dunia ini. Mereka seharusnya bisa saling memberikan beban dan saling membantu satu sama lain. Tapi, mereka malah seperti ini.
Apa mama akan marah kepadanya?
"Baiklah, mungkin akhir hidup papa adalah meneruskan perusahaan itu sampai papa tercekik oleh napas papa sendiri."
"Pa," Aleera sudah benar-benar pasrah. Ia sudah benar-benar nyaman dengan dunia yang ia lalui sekarang ini. Butik ini, apartemen ini dan semua yang ia miliki. Ia tidak mau semua ini hilang, apalagi kalau ia menjadi CEO di Gumara Grup. Semua ini akan hilang, hari-harinya akan diisi dengan kegiatan yang tidak akan pernah ia sukai seumur hidupnya.
"Terus, siapa yang bisa papa harapan selain kamu?" tanya papa yang sudah sama patahnya seperti Aleera.
"Adik papa. Papa kan punya seorang adik, aku yakin dia mau..."
"Bahkan menjadikanmu sebagai CEO detik ini juga terasa lebih baik daripada dia!" Nada bicara papa mulai naik seketika. Aleera menghela napasnya panjang. Apa semua ini, bahkan kehidupannya ini hanya akan diisi dengan kursi CEO saja?
"Pa, aku jujur kepada papa. Aku benar-benar tidak bisa menjadi CEO atau apapun yang papa harapkan. Aku suka disini, aku mau selalu disini!" Aleera mencoba menyakinkan papanya sekali lagi.
Tanpa Aleera sadar, kalau perkataannya benar-benar sudah menjerumuskan papanya untuk mengikat napas di perusahaan itu.
"Berarti pembicaraan ini sudah selesai. Kamu benar-benar mau membuat papa mati tercekik di kursi itu." Papa langsung berjalan pelan menuju pintu ruangan Aleera. Hilang dari sana menuju pintu yang sekarang sudah benar-benar tertutup.
Aleera menangis, untuk pertama kalinya ia menangis lagi setelah mamanya pergi dari dunia ini.
Benar, kalau Aleera menyerah maka itu sama saja dengan ia yang meminta papanya untuk mati di kursi itu, kan?
***
Pagi ini, padahal Yasa dan Allesio baru saja sampai di kantor. Mereka baru berniat duduk dan membincangkan banyak hal. Tapi, ruangannya malah didatangi oleh seseorang yang benar-benar tidak diundang.
Nero.
Yasa hanya diam saja, setelah kebohongan Nero yang berhasil membuat Yasa terdiam kemarin, Yasa jadi merasa tidak perduli dengan apa yang dikatakan oleh laki-laki itu kepadanya. Pasti akan ada banyak kebohongan lainnya yang laki-laki ini lontarkan kepada mereka.
Ah, Yasa tahu, mungkin Nero melakukan hal itu hanya untuk membuat Allesio merasa bersalah.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau wanita itu hanya memanfaatkan hartaku?" Bahkan pertanyaan pertamanya saja sudah sangat tidak sopan.
***
Bersambung