Allesio kecil ingat saat itu. Rin kecil masih takut saat melihatnya berkeliaran di dalam rumah mereka. Ada rasa ingin pergi dari sini, ketika melihat ekspresi Rin kecil kepadanya. Tapi, ia tidak tahu akan pergi ke mana. Okay, Allesio berusaha untuk tidak memikirkan hal itu dan lanjut menyibukkan dirinya.
Oh iya. Apa mungkin kalau ia memaksa pergi dari rumah ini, maka papa dan mamanya akan meminta paksa uang yang mereka berikan kepada panti asuhan itu? Panti asuhan tempat Allesio tinggal?
Ia jadi makin ragu untuk pergi.
Setelah semua yang terjadi, Allesio memutuskan untuk mengikuti semua yang papanya pinta. Belajar dengan rajin. Ikut les dan berbagai macam lainnya. Allesio yang sebenarnya sudah tidak sekolah lagi sangat tertinggal dari teman-teman seusianya, tapi ia mencoba untuk mengejar mereka. Allesio kecil bisa!
Papa yang mengatur semuanya. Papa yang membayar pengajar dan Allesio hanya tinggal belajar. Bukankah hal itu menguntungkan Allesio?
Allesio ingat saat itu, dimana untuk pertama kalinya ia memiliki seorang teman. Perempuan, dia adalah salah satu anak murid yang diajari oleh guru lesnya. Padahal, seingat Allesio, guru itu tidak pernah membawa siapapun ke sini termasuk anak ini.
Bisa dibilang Allesio itu les privat. Jadi, murid guru itu di jam ini hanya Allesio, kan?
"Ini Natasha. Dia adalah murid ibu juga," jelas guru itu kepada Allesio. Jujur, Allesio tidak suka jika harus belajar dengan anak perempuan yang terlihat lemah ini.
"Lebih baik ibu tidak membawanya ke sini lagi. Aku tidak suka belajar dengannya," jujur Allesio yang membuat anak perempuan itu berwajah muram. Tiba-tiba Allesio jadi teringat dengan wajah Rin yang akhir-akhir ini seperti memusuhinya.
"Al, selain belajar mengenai pelajaran, kamu juga harus belajar cara bersosialisasi. Natasha ini adalah anak panti asuhan. Dia sekarang—" Allesio tidak mengingat dengan baik apa yang guru itu katakan kepada Allesio. Tapi, Allesio tahu kalau guru itu membuat Allesio sadar akan sesuatu.
Sumpah, Allesio barusan merasa seperti sedang menjadi saudara-saudara angkatnya. Sikap yang Allesio tampakkan kepada anak perempuan itu, sangat mirip seperti sikap yang saudara angkatnya tunjukan kepadanya.
"Maafkan aku karena datang ke sini. Bu guru memintaku untuk menjadi temanmu. Kalau kau merasa tak nyaman, aku hanya akan melihat jadi jauh. Sungguh, aku takkan mengganggumu!" seru anak itu dengan suara kecilnya yang sudah bergetar.
Sial! Allesio terlihat seperti orang yang bodoh saja sekarang.
"Maaf!" seru Allesio dengan suara yang dingin, tapi maaf kali ini benar-benar ia tujukan untuk anak itu. Allesio hanya ingin anak itu tidak merasa sedih karena sikap yang baru ia tunjukkan tadi.
Guru mereka tersenyum. Akhirnya, anak bernama Natasha itu sering bermain di sini sambil belajar bersama Allesio, hari ini, besok dan besok. Seterusnya.
Natasha mengerti Allesio dengan sangat baik. Ketika wajah Allesio mulai datar, Natasha tidak akan mengajak Allesio untuk mengobrol. Natasha hanya akan menceritakan apapun yang mau ia katakan tanpa meminta respon dari Allesio.
Ketika Allesio mulai merasa bersemangat, Natasha malah meminta Allesio untuk menceritakan banyak hal. Allesio memang jarang berbicara, tapi Allesio tidak pernah tidak menggubris apa yang Natasha katakan.
Sampai suatu ketika Allesio mendapatkan surat dari Natasha.
"Surat apa ini?" tanya Allesio kepada Natasha yang menatap surat yang ada di tangannya ini. Wajah Natasha memerah malu, ia tidak bisa mengatakan isi surat ini kecuali Allesio mau membacanya.
"Baca saat aku dan bu guru pulang. Lalu, jangan lupa balas," malu Natasha. Wajah Allesio pun memerah karena melihat wajah Natasha yang memerah. Entah kenapa ia ikut merasa malu.
Surat itu tidak pernah Allesio buka. Surat itu sudah hilang entah di mana. Allesio tidak yakin, tapi saat itu Allesio belum sempat mengeluarkan surat itu dari kantung celananya dan sampai saat ini celana itu belum ditemukan.
Allesio ingin Natasha membuat surat lagi, tapi besoknya Allesio malah tidak bisa melihat Natasha datang ke rumahnya lagi.
"Dia sudah dirawat dengan baik oleh keluarga yang baik." Hanya itu saja jawaban dari ibu guru Allesio.
Sedih. Bisa dibilang Natasha adalah teman pertama bagi Allesio. Natasha sangat mengerti dirinya dengan baik. Belum ada satu pun orang di dunia ini yang paling mengerti Allesio selain Natasha.
Dia ada di mana?
***
Allesio berdiri di depan sebuah kafe yang berada tidak jauh dari perusahaannya. Ia hanya berjalan seperti orang binggung tadi.
Penyakitnya kambuh lagi. Okay, sebenarnya ini bukan penyakit. Hanya saja, Allesio memang sering merasa tidak bisa mengontrol emosinya di waktu-waktu tertentu.
"Kau itu selalu menahan semuanya sendiri. Emosi itu harus dikeluarkan dalam bentuk apapun dan ketika tidak kau keluarkan maka ia akan meledak sewaktu-waktu. Tinggal tunggu waktunya saja," kata Yasa saat itu kepada Allesio. Allesio tidak terlalu perduli sebenarnya. Hanya saja, apa yang Yasa katakan itu, benar adanya.
Allesio pun memutuskan untuk menjauh ketika ia merasa tidak bisa mengatur emosinya dengan baik.
Saat kecil, ia pernah menghancurkan seluruh seisi kamarnya hanya karena emosinya yang tidak tahu bangkit dengan alasan yang tidak jelas.
Sedangkan alasan yang tidak jelas saja, Allesio tidak bisa menahan emosinya. Apalagi kalau alasannya jelas.
Allesio tanpa sadar masuk ke dalam kafe itu. Apakah Allesio bawa uang? Sepertinya ia bawa dompet, mungkin di sana ada uang sekitar seratus ribu.
Allesio jarang mengambil uang di bank dan ia juga jarang belanja. Ia hanya suka bekerja dan bekerja saja.
Duduk di sana sendirian saja sudah bisa berhasil membuat Allesio merasa lega sekaligus senang. Bukan hanya itu, bahkan musik instrumental yang mereka mainkan benar-benar membuat Allesio merasa nyaman. Mungkin tempat yang baru Allesio datangi ini akan menjadi tempat yang ia sukai nanti.
PLAK
Suara tamparan beserta suara gelas yang pecah di lantai membuat suasana di kafe ini menjadi sedikit suram. Semua mata tertuju kepada seorang wanita dan laki-laki yang sepertinya sedang bertengkar.
Ah, Allesio tidak perduli. Cukup americano ini saja yang bisa membuat perhatiannya teralihkan. Oh iya, Allesio juga memesan kopi untuk Yasa. Ia meminta pelayan di sini untuk mengantarkannya kepada Yasa di perusahaan. Allesio masih mau duduk di sini dan menenangkan pikirannya yang mungkin bisa dibilang agak kacau.
"Aku tidak perduli kau siapa, Aleera!" seruan itu berhasil membuat Allesio sedikit tersedak. Okay, ada banyak nama Aleera di dunia ini. Tapi, Allesio benar-benar tidak bisa diam jika ini menyangkut dengan Aleera, si wanita yang harus ia nikahi itu.
Tidak! Allesio Aten! Kau tidak boleh ikut campur urusan orang lai—.
"Sialan,"
Tangan itu, tidak boleh menyentuh pipi Aleera.
***
Bersambung