Di sebuah bandara Internasional jet pribadi milik PAZ, singkatan dari Pragma Abraham Zaelan mendarat sempurna.
Beberapa bodyguard beserta anak buahnya sudah menunggunya, berdiri sedari tadi. Kini terlihat jelas seorang pemuda yang memakai kaca mata hitam, yang bertengger manis di hidung bangirnya nampak sangat mempesona turun dari kabin pesawat.
"Selamat datang kembali Tuan," sapa beberapa bodyguard yang berada didekat tangga pesawat itu, menundukkan kepala sebagai bentuk hormat. Serta beberapa anak buahnya yang bertugas membawah barang-barangnya.
"Silahkan duduk Tuan," ucap Rudolp yang ditugaskan menjaga Tuan mudanya.
"Saya bisa berjalan sendiri," sahutnya menatap Rudolp sanggar.
"Rama, jangan keras kepala. Kamu masih belum pulih lihat itu." Ayahnya datang menunjuk beberapa perban di tangan anaknya, serta kakinya yang di gips. Saat tadi turun dari kabin pesawat, dia dibantu oleh ayahnya yang memaksa, tapi tepat di bawah tangga terakhir anak keras kepalanya, tak lain adalah Pragma berontak minta dilepaskan.
"Rudolp jaga anak ini," titah Zaelan.
"Ta–" Sebelum Pragma sempat protes, Rudolp dengan lancang menarik bahunya sedikit keras untuk duduk di kursi roda.
"Kau." Tunjuknya marah pada Rudolp yang terkesan kurang ajar padanya.
"Maaf, Tuan. Ini perintah dari Tuan besar untuk menjaga Anda, di sini masih banyak musuh yang mengincar anggota keluarga Abraham," jelas Rudolp.
"Tetap saja, kau kurang ajar kepadaku sialan." Pragma berdecak tidak terima.
"Berhenti berdecak seperti itu, jika saja kamu tidak mengancam Ayah lagi. Pasti sekarang, kita masih di London. Lihat keadaanmu masih jelek, nanti wanita itu tidak mau bersamamu. Bagaimana?" Zaelan berujar panjang lebar memberi sedikit ancaman pada Pragma tentang wanita itu. Dan sekarang, anaknya itu terdiam.
"Tuan sudah sedikit waras yah," bisik salah-satu anak buahnya.
"Kurang ajar," sentak wanita paruh baya memukulnya dengan tas.
"Kamu kenapa Raeni?" tanya Zaelan cepat saat menemukan istrinya ingin menghajar anak buahnya.
"Dia mengatakan yang tidak-tidak mengenai kondisi Pragma," adu Raeni membuat tubuh anak buah itu, bergetar hebat di tempatnya. Saat Zaylan menatapnya penuh peringatan. Seakan di dalam kepalanya berbunyi sirine berbahaya.
"Sekali lagi kamu mengatakan itu, kepalamu saya tebas," ancamnya tak main-main.
"Maafkan saya Tuan." Sesalnya langsung meminta maaf.
"Ayo Raeni," ajak Zaelan langsung menggandeng tangan istrinya menyusul Pragma.
Di tempat lain, tepatnya pada sebuah rumah sakit kembali dihebohkan oleh petugas-petugas yang menangani Pradit. Mereka tergesa-gesa memanggil dokter, saat kondisi pasien semakin memburuk.
Di dalam sana dokter Rina memeriksanya. "Kondisinya semakin menurun, detak jantungnya melemah."
"Segera ambil tindakan," ucapnya yang diangguki beberapa perawat.
Sedangkan di luar ruangan Mayra kembali histeris di tempatnya. Menangis terguguh menatap suaminya, yang sama-sama kacau dengannya.
"Ya Tuhan tolong selamatkan anakku," isaknya sambil terus memanjatkan doa. Ibu dari Radit terus saja menangis dipelukan suaminya.
"Anakku, Mas," adunya. Sungguh suaminya juga telah bingung, harus melakukan apa lagi untuk membujuk istrinya. Di saat dirinya juga mengkhawatirkan anaknya.
Beberapa menit kemudian Gelora datang dengan tergesa-gesa.
"Pa, bagaimana keadaan Mas Radit?" tanyanya langsung. Kecemasan sangat kentara di wajahnya, dia baru saja datang dari rumahnya untuk mengganti pakaiannya. Tetapi ayah mertuanya menelpon dan mengatakan jika kondisi suaminya memburuk. Ia sangat panik saat itu dan langsung bergegas ke rumah sakit.
"Jangan sok peduli kamu," sentak Mayra berang dan menangis sejadi-jadinya. Mengingat wanita di depannya penyebab putranya celaka.
CEKLEKK!!
Tak lama kemudian pintu ruangan rawat Radit kembali dibuka.
"Kalian bisa ikut ke ruangan saya. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan," ucap dokter Rina membuat semuanya bungkam.
"Tapi, bagaimana kondisi suami saya sekarang Dok?" Gelora akhirnya buka suara setelah lama diam, memandangi wajah dokter Rina mencoba untuk menelisiknya. Kira-kira apa yang akan ia sampaikan.
"Itulah yang ingin saya sampaikan. Tapi untuk sekarang keadaannya sudah stabil," ucapnya menenangkan, namun tersirat kekhwatiran terlihat jelas pada netranya.
"Ayo Dok, jangan dengarkan omongan kosong wanita itu. Saya ingin tahu kondisi anak saya lebih detailnya." Tanpa aba-aba Mayra menarik dokter Rina.
Gelora menatap kepergian dua wanita itu dengan lirih. Setiap napas yang ia embuskan terasa begitu berat, sepertinya ia tak akan sanggup menjalani kehidupan tanpa Radit di sisinya.
"Maafkan sikap mama yah, Nak. Sekarang dia sangat khawatir jadi ia tidak dapat merealisasikan perkataannya," tutur ayah mertuanya yang diangguki oleh Gelora.
"Sekarang ayo kita susul dia ke ruangan dokter Rina," ajaknya lagi yang hanya dibalas anggukan.
Di sinilah mereka berada di ruangan dokter Rina, yang ingin mengatakan sesuatu tentang perkembangan kondisi Pradit.
"Maaf, dengan berat saya ingin mengatakan bahwa alat bantu penunjang kehidupan Pradit harus segera dilepaskan," ujarnya dengan sangat tidak enak. Sebenarya tadi ia hanya terpaksa mengatakan jika kondisi Pradit sudah stabil, ia hanya ingin menenangkan keluarga pasien dulu. Sebelum ia menjelasnnya seperti sekarang.
BRAKKK
Gelora mengebrak meja dengan keras, tak peduli ini sopan ataukah tidak. Tapi dokter Rina sungguh keterlaluan menurutnya.
"Ada apa ini, Dok? Bukannya saya telah melunasi biaya pengobatan suami saya?!" tanyanya menggebu-gebu.
"Iya saya tahu! Tapi, sepertinya tidak ada harapan lagi buat Pradit. Dari kemarin dia memang sudah melewati masa kritisnya, akan tetapi kondisinya tidak dapat diprediksi, seperti sekarang jantungnya melemah," jelas dokter Rina tidak ingin disalahkan.
"Saya juga tidak setuju jika alat-alat bantu anak saya dilepaskan secepat itu," imbuh Mayra juga.
"Iya Dok saya juga tidak setuju, saya percaya, bahwa anak saya akan sehat seperti dulu lagi." Kali ini Pralex yang berbicara menatap dokter Rina dengan tajam.
"Baiklah jika itu mau kalian. Tapi, saya sarankan kalian bisa membawa pasien untuk berobat ke Singapura, peralatan di sana sangatlah canggih," ungkap dokter Rina lagi membuat Mayra langsung mengangguk 'kan kepala.
"Apa anak saya akan segera pulih?" tanyanya.
"Iya karena peralatan di sana canggih, dan juga dokter-dokter senior yang akan menganani Pradit. Mengingat benturan yang sangat keras di kepalanya itu, membuat saya takut jika di kemudian hari terjadi suatu hal yang tidak diinginkan," jelasnya lagi. Kali ini ia melirik Gelora yang hanya diam dengan pandangan kosongnya.
"Bagaimana, apakah Bapak dan Ibu setuju?" tanyanya.
"Iya saya setuju demi kesembuhan anak saya," balas Pralex lebih dulu dari Mayra.
"Gelora apakah tidak apa-apa, Nak. Jika Raditmu kita bawah ke Singapura?" tanyanya juga pada Gelora.
"Tidak apa-apa, Yah," sahutnya.
"Baiklah! Saya akan merekomendasikan rumah sakit terbaik di sana," ujar dokter Rina lagi.
"Biaya pengobatan di sana relatif mahal, tapi hasilnya juga tidak main-main akan ada perubahan pada Pradit secepatnya," tambahnya.
"Terima kasih Dok," ucap Mayra mengakhiri. Sebelum keluar dari sana ia meminta Gelora untuk menemuinya.
"Tunggu saya di taman," bisiknya saat Gelora menutup pintu ruangan dokter Rina. Wanita itu hanya mengangguk tanpa menyahuti ucapan dari mertuanya.
Di sisi lain Pralex sudah mewanti-wanti istrinya agar tidak melukai Gelora lagi. Baik itu fisik maupun batin, karena ia tahu anaknya akan lebih murka jika mengetahuinya saat sadar nanti.
"Papa ikut ya, Ma," ucapnya pada Mayra.
"Tidak usah Pa. Ini urusan wanita, Papa tidak boleh ikut campur," tolaknya mentah-mentah.
"Lebih baik, Papa menjaga Radit dulu," suruhnya.
"Tapi ingat Ma, jangan menyakiti dia lagi yah. Papa takut Radit akan murka, jika tahu Mama menyakiti istrinya. Tahu sendiri 'kan anak kita secinta apa sama dia," jelas suaminya tetap memberikan pengertian.
"Iya Pa, Mama janji." Akhirnya Mayra mau mendengarkan dan berjanji, jika sudah begini Pralex bisa tenang. Karena ia tahu istrinya, tidak akan mengingkari janjinya.
To Be Continue.