"Lapor Tuan, salah-satu cabang perusahaan kita di Bandung mengalami sedikit kendala," lapor orang kepercayaannya. Menundukkan kepala menatap Tuannya.
"Masalah apalagi ini, jelaskan!" titahnya memutar kursi kerjanya, menghadap ke depannya menatap anak buahnya.
Satu masalah belum selesai, masalah lain lagi sudah bermunculan. Kapan hidupnya akan tenang sehari saja.
"Setahun yang lalu cabang perusahaan kita di Bandung membeli tanah serta perkebunan teh yang luasnya 8.200 Ha, ternyata yang menjual tanahnya bukanlah pemilik aslinya. Melainkan orang kepercayaannya, sekaligus penghianat yang telah membunuh pemilik tanah itu Tuan. Akan tetapi, si Penipu itu lebih dulu kabur setelah kita menyelesaikan transaksi dengannya," jelasnya panjang lebar dengan ekspresi tetap datar.
"Lanjutkan, aku belum paham permasalahannya," ucap Zaylan memangku satu kakinya di pahanya. Dengan gaya bossy andalannya yang sangat kental.
"Anak dari pemilik tanah tersebut ingin membawah masalah ini ke jalur hukum. Tuan," lapornya sekali lagi.
"Seberapa tinggi pangkatnya hingga persoalan sepele ini sampai-sampai ia bawah ke jalur hukum?" tanya Zaylan tetap tenang membuat Rudolp membulatkan mata tak percaya. Ini bukanlah masalah sepele, tapi selalu di sepelekan oleh Tuannya. Pantas saja jiwa-jiwa kekuasaan dan arogan melekat kental pada anaknya. Memang benar buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya.
"Ini bukanlah masalah sepele Tuan. Kita menjadi pihak yang dirugikan di sini, jika persoalan sengketa tanah kita di Bandung di bawah ke jalur hukum," protes Rudolp ingin menyadarkan kelalaian Tuannya.
"Tanah kita kamu bilang? Heh, itu tanah saya dan anak saya," sinis Zaylan Abraham si Tuan menyebalkannya.
"Ralat Tuan, tanah Anda yang ada di Bandung." Kini Rudolp berusaha sabar segera meralat ucapannya.
"Gampang saja, tinggal suruh si pemilik tanah itu menggembalikan uang saya. Jangan membawahnya ke jalur hukum karena itu bisa diselesaikan secara kekeluargaan," tandas Zaylan kini kembali berkutat dengan berkas-berkasnya.
"Tap–"
"Cukup, jangan banyak bicara lagi!" perintahnya.
"Ini tentang wanita itu, Tuan." Dengan cepat Rudolp memberi tahunya. Sebelum pria paruh baya itu kembali memotong ucapannya.
Zaylan menghentikan aktivitasnya secara tiba-tiba, mengalihkan seluruh perhatiannya pada Rudolp. "Apakah ini adalah kabar yang menyenangkan untuk saya dengar? Kamu tahu 'kan, saya tidak suka membuang-buang waktu!
Lagi dan lagi Rudolp mengumpati Tuannya itu dalam hati, ia sungguh lelah berurusan dengannya. Jika saja ayahnya tidak ditugaskan mengatasi cabang perusahaan di Mexico, tentu dia tidak akan berurusan dengan Pak Tua di depannya ini.
"Jangan mengumpatiku dalam hati. Ingat, aku bisa membunuhmu saat ini juga." Sepertinya tebakan Zaylan tidak pernah meleset. Karena Rudolp langsung menunduk takut-takut, pria berusia 29 tahun itu memundurkan langkahnya. Ia lupa kalau di depannya ini adalah mantan mafia kelas kakap.
"Aku hanya bercanda, Nak." Zaylan mencairkan suasana. Meski bagaimanapun, anak ini sudah bekerja sangat baik menggantikan ayahnya. Selagi tangan kanannya itu, menangani cabang perusahaannya di Mexico.
"Jelaskan informasi yang telah kamu dapatkan. Jika itu dapat membuat saya bahagia, maka kamu akan mendapatkan hadiah dari saya." Zaylan tersenyum pada Rudolp. Seperinya akan ada berita baik yang akan ia dengarkan.
"Mana sudi saya dikasih hadiah lagi, Tuan. Jika hadiahnya selalu saja aneh-aneh. Dulu saja kamu menghadiahku lima ekor singa, sebagai hadiah ulang tahun saya," batin Rudolp bergidik ngeri, masih terekam jelas di memorinya satu tahun yang lalu. Zaylan memberinya singa.
"Katakan cepat," titah Zaylan lagi, berdiri dari tempatnya. Menumpukan ke dua tangannya pada meja kerjanya.
Menghela napas sejenak sebelum kembali menjelaskan. Rudolp menatap lamat-lama, Tuannya. "Dua hari yang lalu saat saya ke Bandung, saya melihat wanita itu. Sengketa tanah Anda dengan anak pemilik tanah perkebunan teh itu adalah Jacob. Sepupu dari suami wanita itu.
"Kamu jangan mencoba untuk menipu saya Jacob," tuduh Zaelan tidak percaya.
"Saya mempunyai beberapa bukti, Anda dapat melihatnya, Tuan." Satu dokumen ia berikan kepada Zaylan. Dan dengan cepat Zaylan membukanya.
"Ini?" tanya Zaylan tidak percaya.
"Seperti yang Anda lihat pria di sebelah wanita itu adalah suaminya. Dan pria di depannya adalah anak pemilik tanah perkebunan teh itu Tuan," jelasnya.
"Jadi wanita tersebut telah menikah dan hidup dengan bahagia?" tanya Zaylan tak menyangkah. Senyuman miris menghiasi wajahnya yang sudah sedikit keriput termakan usia.
"Bagaimana bisa wanita itu hidup bahagia dengan kondisi anak saya yang hampir gila, setelah wanita itu meninggalkannya. Keterlaluan sekali," teriak Zaylan murka melemparkan dokumen di tangannya hingga menghantam dinding.
Ditatapnya Rudolp tajam. "Besok kita ke Bandung. Siapkan segalanya, termasuk ke pindahan saya dan keluarga saya ke Bandung. Saya akan tinggal di sana untuk memastikan kebahagian putra saya. Dan ingat, saya tidak ingin istri saya terutama Pragma tahu hal ini. Ingat itu," jelasnya panjang lebar. Seraya melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya.
"Baik Tuan, saya pamit undur diri." Rudolp segera meninggalkan ruangan Tuannya, sebelum ia terkena amukannya.
Setelah kepergian Rudolp, pria paruh baya itu kembali duduk dan segera mengambil gelas yang berisi air dingin itu meminumnya hingga tandas.
"Saya bahagia kamu ditemukan. Tapi tidak dengan kamu yang sudah bahagia di atas penderitaan anak saya. Dasar wanita pengikat, apa yang telah kamu berikan kepada anak saya hingga dia ingin mati jika tidak bersama kamu." Zaylan sungguh pusing, rasanya ia ingin mengakhiri semua masalahnya secepat juga.
***
Bandung 19.00 P.M.
Tepatnya di dalam kamar minimalis sepasang suami istri sedang berbincang-bincang mesra. Sang istri menyadarkan kepalanya di dada bidang suaminya, lalu dengan lembut suaminya mengusap surai panjang istrinya yang tergerai indah dan wangi itu.
"Heum Mas," panggil istrinya membuat aktivitas suaminya terhenti mengecupi surai istrinya.
"Ya, Sayang?" tanyanya.
"Apakah permasalahan sengketa tanah Jacob, akan terus berlanjut? Menurutku lebih baiknya kita menemui pembeli tanah itu, Mas?" tanya wanita itu mendongakkan kepala menatap suaminya. Hingga wajah ayunya terlihat jelas di depan suaminya, yang membuat Radit semakin mengagumi wajah istrinya itu.
"Bisa saja Sayang. Akan tetapi, Jacob tetap ingin membawahnya ke jalur hukum. Dia tidak terima tanah kebun teh warisan Ayahnya dimiliki oleh orang lain. Karena Paman memang memberikan tanah itu untuk Jacob, putranya. Dan dengan kurang ajarnya si Penipu itu menjual tanah Paman," jelas suaminya yang bernama Radit itu. Raut wajahnya terlihat memerah, mengingat si Penipu itu telah membunuh pamannya.
"Kenapa begitu Mas? Seharusnya kita memilih keputusan yang baik, tidak merugikan pihak manapun. Lagi pula aku pikir, kita bisa menyelesaikannya dengan cara baik-baik. Tidak perlu membawahnya ke jalur hukum," protes istri bawelnya itu panjang lebar.
"Kamu tidak akan mengerti Sayang, Jacob akan tetap membawah sengketa tanah itu ke jalur hukum. Terlebih lagi, Paman terbunuh oleh tangan kanannya sendiri yang berhasil menipu dan membawah kabur seluruh hartanya. Dan Jacob tadi mengatakan, jika yang membeli tanah kebun teh paman itu bukan orang biasa." Radit merosotkan tubuhnya ke bawah, tidak lagi bersandar di kepala ranjang. Dia kini berbaring akan tetapi posisi kepala istrinya tidak berubah, masih saja bersandar di atas dadanya sebagai bantalannya.
"Kenapa kamu yang khawatir sih, Sayang." Suaminya ikut protes seraya mengusap kening istrinya yang berkerut tanda berpikir keras.
"Kenapa mendadak perasaanku menjadi tidak enak Mas, aku takut akan terjadi sesuatu. Justru pembeli tanah yang kamu bilang itu bukan orang biasa membuatku semakin takut, jika masalah ini di bawah ke jalur hukum. Bisa saja kita yang akan kena imbasnya. Tentunya dia juga sangat dirugikan karena membeli tanah perkebun teh paman pada penipu itu," jelas istrinya tetap memberi pengertian kepada suaminya.
"Dan lagi pula mengapa kamu harus menangani kasus ini sih. Kenapa tidak pengacara senior kamu, Mas?" tanya wanitanya masih saja merajuk.
"Astaga Sayang, kenapa kamu berpikir terlalu jauh sampai ke sana," dengkus suami tidak suka.
"Dan kenapa memangnya jika aku yang menangani kasusnya menjadi pengacara Jacob? Kan, bukan aku yang menginginkan ini. Atasan aku yang menunjukku, dia memberi kepercayaan padaku," ucap Radit yang terlampau gemas terhadap istrinya. Bagaimana tidak, istrinya itu masih saja merajuk dan selalu menjawab setiap pertanyaanya.
"Aku hanya takut kamu kenapa-napa, aku tidak ingin kehilangan kamu. Bisa saja lawan sengketa tanah Jacob ingin mencelakai kamu. Dan juga sekarang bagi orang-orang yang memiliki banyak uang, mereka berpikir persoalan hukum itu gampang." Seperti kebiasaan istrinya, dia akan memasukan kepalanya ke dalam baju suaminya jika sedang merasa khawatir yang berlebihan.
"Hei Sayang, jangan seperti ini." Dengan lembut ia berusaha mengeluarkan kepala istrinya.
"Tidak tahu kenapa moodku akhir-akhir ini suka berubah Mas, aku merasa sangat takut kehilangan kamu." Seperti prediksinya air mata sudah menggenang di pelupuk mata istrinya.
"Sayang dengarkan aku." Ditariknya dagu istrinya agar menatapnya.
Suami istri tersebut saling tatap satu sama lain, kentara sekali tatapan cinta di matanya. Ada cinta yang begitu besar yang tidak dapat dijelaskan. Hanya mereka berdua yang dapat merasakannya.
"Aku Praditya Zerran. Suami dari Gelora Zerran, tidak akan pernah meninggalkan istri cantiknya ini. Sampai maut memisahkan." Ia raih jari istrinya itu untuk menyatukan kelinking. Sebagai promise untuk selamanya.
Setelah mengatakan janji itu barulah senyuman manis terbit mengiasi binir ranum wanitanya. Serta terdengar tawa merdu istrinya, saat Radit megecupi basah permukaan wajah istrinya.
"Ihh geli Mas," protesnya di sela-sela tawanya.
"Sayang, semoga Tuhan segera menghadirkan Radit junior di sini yah," ucap suaminya menggeser tubuhnya ke bawah. Mensejajarkan wajahnya tepat di depan perut istrinya. Lalu dengan lembut ia mengecupnya.
"Tuhan segera hadirkan anakku di dalam perut istriku," mohon dan doanya pada Tuhan.
Istrinya tersenyum menatap ke bawah. Tangannya terangkat mengusap lembut surai hitam suaminya.
"Tolong kabulkan permintaan Suamiku, yah Tuhan. Aku sangat mencintainya, dia adalah pria yang mengubah kehidupan gelapku menjadi secerah ini," batinnya.
To Be Continue