Prang
Prang
Prang
"Berani sekali kamu menyentuh saya sialan." Pragma mengamuk berteriak murka segera berdiri dari tempatnya saat borgol dan pasugannya telah terbuka. Tentunya, dia tidak akan membuang kesempatan emas untuk segera keluar dari sana. Akan tetapi, seorang maid di depannya ini harus segera musnah dulu.
"M–maafkan saya, Tuan." Maid tersebut berusaha berbicara menahan rasa sesak yang membuncah karena Pragma mencekikik lehernya.
Mata Pragma memerah, menatap jijik seorang pria di depannya. Tambah murka, saat tak sengaja pria tersebut memegang tangannya, yang dilapisi kaos tangan. Mencekikik leher maid tersebut.
Dengan penuh amarah ia dorong maid tersebut ke dinding kamarnya. Tanpa ampun dan belas kasih kepala maid itu dia benturkan menghantam dinding bercat hitam.
"Akhhh," teriak maid itu, kepalanya sangat terasa sakit. Kerongkongannya terasa sesak sekali, sulit menghirup udara karena cekikikan Pragma semakin mengerat, ditambah kuku-kuku tajam yang dimilikinya berhasil menggores kulit maid itu.
"Ini balasan buat kamu yang mencoba membelai pipi saya," desis Pragma membara penuh dendam.
Krekk
Bunyi tulang retak terdengar saat Pragma memilintir tangan pria yang berada dicekikannya.
"Dan ini balasan karena dengan kurang ajarnya kamu menggoda saya, dengan rayuan menjijikkanmu." Pragma semakin menghajar, menendang, bahkan menginjak tangan pria tersebut.
Awalnya Pragma tenang-tenang saja saat seorang maid pria datang ke kamarnya, mendorong troli makanan. Ketenangan Pragma terusik, saat maid tersebut berlagak seperti perempuan di depannya. Tak sungkan dan segan ia memijit bahu Pragma, saat tangannya masih di borgol dan kakinya masih terpasung.
Tapi semakin lama maid tersebut semakin kurang ajarnya ingin menyentuh bagian-bagian sensitifnya. Tentunya, Pragma sangat marah karena daerah terlarangnya ingin dijamah. Daerah sensitifnya hanya milik wanitanya seorang. Dan bagaimana datangnya pria kurang ajar ini, ingin menyentuhnya lebih. Tentu saja Pragma tahu kalau maid tersebut memiliki gangguan mental yaitu homoseksual.
"Kamu pikir saya tergoda, saat tadi kamu memijit saya? Maka kamu salah besar, saya hanya menunggu kamu membuka borgol dan pasungan saya, sialan," teriak Pragma lagi, terlihat jelas buku-buku lehernya mencuat. Dan pelipisnya dibanjiri banyak keringat, matanya memerah serta wajahnya mengeras. Pertanda ia sangat marah.
"Dasar gangguan mental," umpat Pragma sekali lagi.
Maid itu terkekeh pelan mendengar umpatan Pragma. Dengan memberanikan diri dia menatap Pragma, sekuat tenaga ia menahan rasa sakitnya. Dia jelas tidak terima diperlakukan seperti ini.
"Apa bedanya saya dengan Tuan? Anda juga menderita gangguan mental, bahkan lebih parah dari saya," jawab maid itu berhasil membuat Pragma bungkam.
Hening beberapa saat sebelum euforia di sekitar mereka tiba-tiba terasa mencekat saat Pragma meraih sebuah pisau di troli makanan.
"Saya benci mendengar suaramu yang jelek itu," ejek Pragma. Merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan wajah maid tersebut.
"T–tu–an mau apa?" gagap maid tersebut, memundurkan langkahnya.
"Bagas," sebut Pragma membaca nama tag di baju maid itu.
"Nama yang maco tetapi tidak seperti pemiliknya," ejek Pragma. Ia meraba-raba wajah Bagas dengan pisau yang ia pegang, seakan-akan mengukir sesuatu.
Keringat dingin dan wajah pucat pasih terpatri di wajah Bagas. Menatap Pragma takut, sekaligus benci dengan Tuan Mudanya. Merasa menyesal ingin melaksanakan hasrat terlarangannya dengan Pragma.
"Jangan berani memikirkan hal-hal kotor di kepala kamu ini dengan saya," bisik Pragma sebelum memusnahkan Bagas. Dia menghunuskan pisau tersebut tepat di jantungnya. Dan sejak itu juga nyawa Bagas melayang di tangan Pragma yang sama-sama memiliki gangguan mental. Bedanya dengan Pragma, ia memiliki hasrat membunuh yang besar terhadap orang yang menyentuhnya. Kecuali, dengan Gelora yang ia biarkan untuk menjamah seluruh tubuhnya. Karena pemiliknya adalah Gelora Pragma Dexander Abraham.
"Lumayan seru," kikik Pragma menatap mayat Bagas dengan penuh binar.
Saat tak sengaja ia menatap pantulan wajahnya di dalam cermin, binar bahagia itu lenyap di wajahnya. Pragma berjalan ke arah cermin, semakin mendekat dan akhirnya, ia kini tepat berada di depan cermin.
Dia tatap wajahnya sedemikian rupa, menyadari keadaannya cukup memprihatikan. Termasuk bulu-bulu tipis yang mulai tumbuh di wajahnya, ia berdecak tidak suka. "Aku harus membersihkan wajahku, aku tidak mau Loraku tidak menyukaiku."
Pragma bergerak-gerak gelisah memikirkan segala hal tentang dirinya, yang kini terlihat jorok dan berantakan. Termasuk tangannya penuh dengan darah, ia dapat merasakan bau anyir di sekitarnya. Dan ia benci itu. Loranya tidak suka dengan bau darah dan sangat takut dengan darah. Maka dari itu, ia ingin secepatnya membersihkan diri.
"Kamarku kotor dengan darah si Jahannam itu," katanya melirih menatap mayat Bagas, tak jauh dari posisinya. Sorot matanya semakin berapi-api saat satu figura pecah di dalam kamarnya. Itu figura loranya bersama dengannya saat menaiki bianglala.
Dengan sigap ia segera meraih selembar foto di dalam figura yang pecah itu. Mengambilnya dengan cepat tanpa memedulikan tangannya ikut tergores kaca.
"Lora Sayang, maaf," ucapnya penuh rasa bersalah yang membuncah.
Dia tatap wajah seorang wanita yang bersama dengannya di dalam foto dengan lekat. Mereka terlihat bahagia sekali, tak sadar ia ikut tersenyum. Saat kenangan itu terputar di dalam memorinya.
"Kamu cantik sekali Lora," pujinya tiba-tiba. Suasana hatinya cepat sekali berubah.
"Kamu juga milik aku 'kan?" tanyanya mengelus foto itu. Dia lupa dengan tujuannya ingin membersihkan diri.
"Sayang kamu di mana?" tanyanya lagi, ia terisak bak anak kecil menatap foto wanitanya.
"Aku mau kamu, Lora," ucapnya semakin terisak, saat tidak ada balasan dari Loranya. Ia ingin sekali mendengar suara wanitanya, ia ingin wanitanya mengelus surainya saat tertidur. Dia juga rindu dengan masakan wanitanya.
"Kenapa kamu meninggalkan aku." Dia bangkit dari posisinya yang bersimpuh di lantai marmer. Membawah selembar foto itu bersamanya. Melihat foto itu, dia ingin sekali bertemu dengan wanitanya.
"Ini sudah terlalu lama kita berpisah. Aku sudah menghabiskan 67.392.000 detik tanpa kamu, menghabiskan 780 hari tanpa disuapi olehmu, menghabiskan 18.720 jam tanpa tidur di sampingku dan kini terhitung 1.123.200 menit tanpa kamu yang mendekapku, Lora. Kapan kita akan bertemu kembali?" Pragma terus mencurahkan apa yang ia rasakan. Mengadukan keluh kesahnya pada benda mati di tangannya itu. Seakan-akan Lora berada di hadapannya. Kerongkonannya sangat tercekat, ia ingin Loranya sekarang juga.
Pandagannya teralihkan pada jendela besar yang ada di hadapannya. Masih tertutupi oleh gorden berwarna hitam, ada keinginan besar untuk membukanya. Dengan satu kali tarikan pada talinya membuat gorden itu tersibak membelah dua ke kanan dan ke kiri.
"Tanpa kamu aku lupa dengan dunia luar," katanya berbisik lirih, tangannya terangkat memegang kaca jendela. Netranya bergulir menatap air tenang dibawah sana. Di mana air kolam renang tersebut terlihat damai tanpa guncangan apa pun.
"Apa aku harus mengakhiri hidupku lagi, Lora? Aku tidak ingin tersiksa tanpa kamu. Rasanya begitu berat sekali, aku tidak memiliki gairah hidup lagi." Pria itu terus berbicara sendiri.
"Aku ingin hidup damai tanpa rasa sakit. Semoga kepergianku, membuat kamu menemuiku. Meski aku sudah tidak bernapas lagi, tapi aku mohon temui aku, Lora." Ia tatap selembar foto itu terus menerus. Jendela telah dia buka, kini ia sudah berdiri di atas penyanggahnya. Bersiap untuk menerjunkan dirinya ke bawah air kolam dengan selembar foto yang ia dekap.
"Aku mencintaimu, Lora," katanya sekali lagi sebelum benar-benar melompat ke bawah.
To Be Continue