Chereads / Please Stay With Me. / Chapter 5 - Kesenangan Sang Pembuat Onar

Chapter 5 - Kesenangan Sang Pembuat Onar

Semua tenaga kesehatan berlalu lalang masuk ke dalam kamar kesehatan family Abraham. Kamar yang sengaja ia siapkan untuk satu orang. Dia yang sering keluar masuk di dalam karena perbuatannya sendiri. Membuat semua keluarganya khawatir, berkat ulahnya yang di luar nalar. Setelah melompat dari kamarnya ke bawah kolam renang. Untung saja, ia cepat ditemukan, tepat saat ia melompat ke bawah. Semua pengawal langsung heboh dan sigap menyelamatkannya.

"Bagaimana Pragma bisa nekat, melompat ke bawah kolam renang?! Apa kalian sadar jika anak saya terlambat ditemukan, saya tidak tahu lagi, apakah kali ini nyawanya bisa diselamatkan, hah?" teriaknya penuh amarah kepada semua anak buahnya, yang memang bertugas menjaga Pragma.

"Dan siapa yang membiarkan seorang pria, yang berlagak seperti banci itu dipekerjakan di mansion saya? Kamu lihat sendiri 'kan, dia telah meninggal di tangan Pragma." Kali ini kesalahan anak buahnya sangat fatal. Mereka kecolongan dengan Pragma yang berhasil melenyapkan seseorang, termasuk mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Ini sudah tidak terhitung berapa kali anaknya itu membuatnya darah tinggi.

"Bagaimana ini Mas, anakku tidak kenapa-napa 'kan? Mengapa dokter sangat lama sekali di dalam. Hikss-hikss, anakku Mas." Istrinya menarik-narik lengan bajunya.

"Sabar Raeni! Jangan membuat aku tambah marah," ucapnya menepis pelan tangan istrinya. Sengaja menjauhkan diri agar ia tidak kelepasan menyakiti istrinya.

"Rudolp, hukum mereka," perintahnya. Membuat Rudolp menunduk takut-takut. Mana mungkin ia berani menghukum pengawal senior dengan dirinya yang baru beberapa bulan bekerja dengan keluarga Abraham.

"Laksanakan cepat, jika tidak?" Zaylan menatap Rudolp tajam. Mengeluarkan revolper dari saku jasnya.

"Siap Tuan, laksanakan," jawabnya lantang. Sebelum Zaylan benar-benar mengeluarkan pelurunya.

"Cambuk mereka sampai pingsan," titahnya lagi. Semua anak buah yang ia perintahkan untuk menjaga Pragma, tidak ada yang memprotes. Sadar bahwa mereka salah, jadi ia harus menerima segala konsekuensinya.

"Dan kamu Julian, bereskan mayat si Banci itu," perintahnya lagi tanpa ganggu gugat apa pun. Kali ini ia sangat dibuat pusing oleh kelakuan anak tunggalnya.

"Saya tidak ingin ada jejak yang tertinggal, bahwa anak saya yang membunuhnya," lanjutnya sebelum berlalu dari sana.

***

Bandung 21:00 P.M.

Tepatnya di rumah sakit Medika Raya. Semua orang menunggu dengan cemas, menatap lampu ruangan operasi masih menyala berkedip.

"Ini semua kesalahan kamu Elora! Coba saja, kamu tidak menyuruh Suamimu untuk membeli mie ayam tadi. Pasti tidak akan terjadi hal seperti ini," tuding ibu mertuanya tajam. Menatap menantunya dengan linangan air mata, yang membasahi wajahnya. Anaknya sedang berjuang di dalam sana antara hidup dan mati.

"Ma, cukup! Jangan menyalahkan Elora. Ini sudah takdir, sebaiknya kita berdoa agar operasi Radit berjalan lancar," ucap suaminya seraya mengelus bahu istrinya. Tatapannya berpindah pada menantunya. "Sebaiknya kamu duduk dulu, tenangkan dirimu, Nak."

Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. Bagaimana ia bisa tenang, jika suaminya masih berada di dalam ruangan operasi.

"Paman, Bibi," panggil seorang pria dengan suara bassnya. Datang dengan tergesa-gesa.

"Hossh-hosss, ba–bagaimana keadaan Mas Radit?" tanyanya dengan napas terengah-engah.

"Tidak tahu, Nak," ucap pamannya sendu.

"Kenapa, Mas Radit bisa sampai kecelakaan seperti ini?" Dia kembali bertanya. Menatap istri sepupunya.

"Hikss-hiksss, semua ini salahku Jacob. Coba saja aku tidak menyuruhnya untuk membeli mie ayam." Yang ditanya malah menangis terisak keras menyalahkan dirinya.

Jacob turut prihatin melihatnya. "Jangan menyalahkan diri Mbak, sendiri. Ini semua sudah takdir. Dan sejak kapan Mbak, suka sama mie ayam?"

Wanita itu terdiam mendengar pertanyaan Jacob. Menyadari perubahan yang akhir-akhir ini terjadi pada dirinya. Semua makanan yang ia suka menjadi tidak enak saat ia memakannya. Malahan sebaliknya, makanan yang tidak ia sukai. Mengapa menjadi terasa lezat dan ia ingin memakannya. Contohnya ia tidak suka mie ayam tapi mengapa ia mengingikannya. Aneh bukan?

"Entahlah Jacob, aku tidak tahu," balasnya menghapus air matanya kasar.

"Apa jangan-jangan," tebak Jacob menelisik dari atas ke bawah. Memperhatian Elora. "Mbak sedang hamil?"

Sedangkan mertuanya langsung mengalihkan atensi sepenuhnya pada wanita itu.

"Mana mungkin! Dua tahun yang lalu ia mengalami keguguran akibat terjatuh dari tangga. Kata Dokter, kandungannya lemah akibat kecelakaan itu. Kemungkinan besar dia tidak dapat hamil lagi," jelas Mayra, wanita paruh baya itu. Kini ikut memperhatikan tubuh menantunya, mengindainya dari atas ke bawah.

"Badanmu juga kelihatan berisi, seperti berbada dua," ucapnya lagi. Kini membuat wanita itu terdiam cukup lama.

***

London 04:00 A.M

"Gelora ... aku butuh kamu," ngigau seorang pria dalam tidurnya.

"Mas anak kita," ucap Raeni menatap suaminya cemas. Saat ini mereka berdua, memutuskan untuk tidur bersama Pragma. Membiarkan anaknya itu berada di tengah-tengah. Meski Pragma sudah beranjak dewasa, tetap saja ia dimanjakan, dan tetap anak kecil orang tuanya.

"Biarkan saja dulu, akan tiba waktunya dia akan bahagia lagi," sahut suaminya. Memperhatikan wajah Pragma seraya mengelap keringat dingin di dahi anaknya.

"Apakah kamu menyembunyikan sesuatu dariku, Mas?" tanyanya saat menyadari gelagat aneh dari suaminya.

"Tidak," elaknya membuang pandangan.

"Katakan sejujurnya," desak wanitanya, melayangkan pukulan kecil di bahu lebar Zaelan.

Kalau sudah begini, mau tidak mau Zaelan harus jujur kepada istrinya. Ia tatap wajah Raeni di bawah sinar temaram rembulan, karena jendela dan plafon kamar Pragma ia buka, menyisahkan plafon kaca yang menghiasi. Bukan kegelapan pekat lagi, karena diisi oleh sinar rembulan malam.

"Aku sudah menemukan Gelora," beritahunya tanpa basa-basi terlebih dahulu.

Raeni speechles masih berusaha mencerna apa yang dikatakan suaminya.

"Bbe–benarkah?" tanyanya terbata, tak sadar ia mengeluarkan air mata harunya.

"Aku tidak sabar untuk bertemu dengannya Mas," ucapnya. Zaelan terdiam mendengarnya kata istrinya.

"Rencananya kita akan berangkat ke Bandung besok untuk menemuinya. Tapi ... kita harus menunggu kondisi Pragma dulu hingga membaik." Zaelan menatap putra tunggalnya lekat mengelus pelan rambut anak lagi. Sudah menjadi kebiasaannya agar Pragma semakin nyenyak saat tertidur, tapi sekarang berbeda situasi karena anaknya sedang tak sadarkan diri.

"Makanya kita harus memberitahu Rama, Mas!" ujar Raeni senang sekali, sekaligus ada kelegaan tersendiri di dalam hatinya. Jauh terasa lebih damai dari sebelumnya.

"Aku rasa kita jangan memberitahunya dulu, anggap saja kita memberinya kejutan," imbuh Zaelan membuat Raeni tidak setuju.

"Lebih baik kita memberitahunya, agar kondisi Pragma bisa membaik dari sebelumnya. Saat dia tahu Geloranya sudah ditemukan, pasti dia akan merasa sangat senang, aku sangat yakin akan ada kedamaian mengisi relung hatinya. Anakku akan tertawa lagi, aku rindu masa-masa itu di mana Pragma selalu tertawa bahagia. Bahkan sering membuat lelucon untukku," ceritanya mengalir panjang lebar keluar dari bibirnya. Menerawang jauh ke depan, senyuman lebar tak henti-hentinya tersungging di bibirnya. Membayangkan anaknya akan sehat seperti dulu lagi.

"Maaf Sayang, aku tidak akan merusak kebahagianmu. Jadi aku memutuskan untuk tidak mengatakan semua kebenarannya," batinnya Zaelan.

Helain napas panjang ia embuskan, sesungguhnya masih banyak yang ingin ia katakan pada istrinya. Tapi menyadari raut kebahagian begitu besar di wajah Raeni, ia tidak tega untuk menghancurkannya.

"Apakah itu benar, Ayah? Loraku telah ditemukan?"

Degg

Ke dua orang tersebut menegang di tempatnya. Merasakan dejavu seperti dua tahun yang lalu, saat Pragma mulai menunjukkan segala amarah dan terlanjur membenci ke dua orang tuanya.

"Katakan Ayah, apakah itu benar?" tanyanya mendesak, menarik lengan pria paru bayah itu.

Orang tuanya saling melirik satu sama lain, berhasil memancing kemarahan Pragma lagi. Saat tadi ia tersadar dari tidur panjang yang dia rasakan, entah sudah beberapa jam ia memejamkan matanya. Obrolan ke dua orang tuanya berhasil memancing sunggingan senyum lebarnya terbit. Sekaligus memancing amarahnya saat ke dua orang tuanya kembali diam.

"Iya Rama itu benar! Coba saja kamu tidak melakukan hal gila dengan melompat ke balkon kamarmu, pasti besok kamu akan bertemu dengannya," ujar Zaelan menatap Pragma tajam. Saat anak itu ingin melempar lampu tidur ke lantai.

"Jadi besok aku akan bertemu dengan Gelora. Oh, astaga aku tidak sabar menunggu hari esok," pekik Pragma bahagia.

"Iya Rama," sahut ibunya ikut senang.

"Apa kamu sudah gila! Dengan kondisimu seperti ini, kau ingin bertemu dengannya. Sungguh anak ini, selalu membuatku darah tinggi." Zaylan sudah lelah berhadapan dengan Pragma. Yang benar saja ia akan melakukan penerbangan dari London-Bandung dengan kondisi anaknya yang nyaris dikatakan sekarat, penuh perban hampir di seluruh tubuhnya.

"Kenapa tidak! Lebih cepat lebih baik. Coba saja kamu menyampaikan kabar ini sejak lama, pasti keadaanku tidak akan seperti ini." Pragma ikut protes dengan nada tak santai.

"Sepertinya kamu suka menjadi orang yang kehilangan akal hanya demi satu wanita," ejek Zaylan mengeluarkan kekesalannya. Jika saja ia mampu memukul Pragma, sudah dipastikan ia akan melakukannya. Tapi apalah dayanya, ia sangat menyayangi anaknya itu.

"Sebelum berkata, sebaiknya Anda berkaca dulu Tuan Abraham, siapa yang lebih gila sebenarnya? Saya atau Anda?" tanya Pragma dengan formal, berhasil membuat ayahnya terdiam.

"Darah kamu mengalir di dalam tubuh saya. Jadi kamu tahulah, jika kita memiliki kesamaan." Tawa Pragma pecah saat berhasil membuat Zaelan tersinggung. Melotot ke arahnya, malam ini dia akan bermimpi indah lagi dalam tidurnya.

"Mas," bisik istrinya yang dibahas dehemen oleh Zaelan.

"Dia sangat bahagia," bisiknya lagi melihat Pragma tersenyum konyol.

To be Continue.