Ceklek
Gelora membuka pintu ruangan rawat Radit dengan pelan, kini ia mengenangkan pakaian setril rumah sakit saat masuk menjenguk suaminya.
Hatinya remuk redam melihat prianya terbaring lemah di atas brangkar, dengan beberapa alat penunjang kehidupan. Mesin monitor nampak menunjukkan garis-garis gelombangnya.
Wanita itu berjalan mendekat ke arah suaminya, meski langkah kakinya terasa begitu berat untuk sampai ke sana.
"Hai Sayang," sapanya saat ia sudah berdiri di samping brangkar suaminya. Dengan pelan, lembut, penuh kehati-hatian ia raih salah-satu tangan suaminya yang tidak dipasangi oleh selang infus.
CUP
Dengan air mata yang berlinang ia kecup punggung tangan suaminya. "Cepat sadar Sayang, aku membutuhkanmu, aku butuh kamu Radit." kini tangisannya, yang sedari tadi ia tahan sudah pecah, mengisi ruangan yang sunyi dan hampa itu.
"Banyak orang yang ingin memisahkan kita," adunya pelan meski ia tahu Radit tidak akan menyahuti perkataannya.
"Kamu tahu Sayang, ibu menyuruhku berpisah darimu untuk sementara waktu. Jujur, aku tidak akan pernah sanggup, tapi semua ini hanya untuk kesehatan kamu." Wanita itu terus menceritakan keluh kesahnya seperti biasa kepada suaminya. Tidak ada yang ingin ia sembunyikan, tapi bedanya sekarang, Radit tidak akan pernah menyahuti ucapannya.
Karena dirasa ia sudah lama berada di dalam ruangan Radit. Gelora beranjak pelan dari tempat duduknya, tak lupa ia kembali menyematkan kecupan pada dahi Radit, yang lumayan lama.
"Cepat sembuh Sayang, karena Radit junior membutuhkan ayahnya. Kamu yang pertama kali aku beritahu, kalau aku sedang mengandung anakmu. Ini rahasia kita berdua yah," ucapnya sembari menarik diri dari wajah Radit. Dengan langkah gontai wanita itu berbalik meninggalkan ruangan rawat suaminya, tak menyadari bahwa suaminya itu mengeluarkan air mata.
Beberapa menit kemudian Gelora telah keluar dari ruangan ganti. Kini ia sudah nampak lebih segar setelah mencuci wajahnya. Meski terasa enggan untuk meninggalkan rumah sakit, tempat suaminya dirawat.
"Di mana aku harus mencari uang sebanyak itu," pikirnya. Seraya terus berjalan menuju basement rumah sakit.
"Apa ia, aku harus meminjam di Bank," gumamnya pelan.
Sesaat kemudian ia tersentak pelan, karena telah sampai di basement rumah sakit, karena sedari tadi ia berjalan dengan pikirannya melayang ditempat lain. Memikirkan suami dan anaknya. Memang benar sekarang, ia dinyatakan mengandung setelah memeriksanya sendiri pada dokter dan sempat mengetesnya dengan test pack digital.
"Apa mobilnya aku jual saja, tapi itu tidak mungkin, ini kan mobil kesayangan Radit." Dia menatap sedih mobil Lamborghini suaminya. Yang memang ia gunakan saat ini, mobil yang dibeli dari hasil kerja keras suaminya. Mana mungkin Gelora ingin menjualnya, sebaiknya ia mencari cara lain agar mobil itu tak terjual. Ini hartanya dengan Radit.
"Sayang aku punya kejutan untuk kamu," teriak seorang pria dengan suara beratnya, celingak-celinguk kesana kemari mencari keberadaan wanitanya.
"Aku di dapur Sayang, jangan teriak ih." Pria itu terkekeh kecil mendengar teriakan istrinya.
"Tapi kamu juga teriak Sayang." Pria itu kembali berteriak berjalan riang ke arah dapur.
HAP
Dia langsung memeluk wanitanya dari belakang. "Heum aku rindu kamu."
"Ckck rindu apaan, kalau kita setiap hari bertemu Radit," decaknya pelan kesusahan bergerak karena ia direngkuh dengan erat.
"Minggir sana, aku mau masak," usirnya tapi tak ditanggapi oleh pria itu.
"Gak mau Sayang." Dibalas protesan dari prianya, ia malah tambah mengeratkan pelukannya.
"Kamu kok ngeyel banget dibilangin." Gelora kembali berdecak pelan, menyingkirkan tangan pria itu yang melilit perutnya.
"Sudah, Sayang. Jangan marah-marah ah," timpal Radit melepaskan lilitan tangannya secara tidak rela, ia masih ingin bermanja ria dengan istrinya.
"Matikan dulu kompornya, aku ada hadiah untuk kamu," suruhnya, yang mau tidak mau dituruti oleh istrinya.
Setelah mematikan kompornya, wanita itu segera berbalik menghadap suaminya. Jadi dirinya, seakan terkurung oleh tubuh kekar Radit. Satu tangan pria itu ia letakkan di pinggang istrinya, menatapnya jahil sembari tangan yang satunya ia letakkan di belakangnya.
"Mana hadiahnya?" Gelora meminta hadiahnya.
"Hm gimana yah." Pria itu seakan berpikir membuat wanitanya kesal merasa dipermainkan.
"Kis dulu," ujarnya sambil menundukkan sedikit tubuhnya, memajukan bibirnya di depan wajah istrinya.
CUP
Tanpa membuang waktu, wanita itu yang tak lain adalah Gelora mengecup bibirnya secepat kilat.
"Sudah," jawabnya tersenyum lebar sembari mengalunkan ke dua tangannya di leher suaminya.
"Nih buka sendiri," suruh Radit memberikan kotak kecil yang dihiasi oleh pita biru.
Dengan cepat Gelora mengambilnya, sedangkan Radit bebas memeluk istrinya dengan meletakkan ke dua tangannya pada pinggang Gelora.
Gelora tidak memedulikan itu, meski ia susah payah membuka hadiahnya dengan posisi seperti ini. Tapi ia tidak menegur kelakuan suaminya, karena memang sikap Radit selalu seperti ini kalau pulang kerja. Pria itu akan memeluknya, merecokinya di dapur, atau bahkan selalu merengek untuk ditemani tidur dan kepalanya dielus-elus hingga tidur.
PIP
PIP
Suara klakson mobil yang memasuki basement berbunyi memekkan telinga. Saat Gelora masih berdiri disana menghalangi jalannya.
"Mas Radit," pekik Gelora panik dan linglung di saat yang bersamaan.
"Astaga," gumamnya pelan dengan cepat menyingkir, saat menyadari ia telah melamun mengingat suaminya. Dirinya bisa gila lama-lama jika ia terus seperti ini.
"Wanita itu sungguh menganggu," umpat seseorang yang membunyikan klakson tadi.
"Kamu ceweret sekali Rudolp, tabrak saja dia, kalau memang ia tidak ingin menyingkir," protes seseorang di sampingnya.
"Tapi Tuan," ucap Rudolp menatap Tuannya ngeri.
"Punggung tidak asing." Tuannya kini meletakkan tabnya, menatap wanita itu melalui kaca mobilnya. Dia tidak bisa melihat wajahnya karena posisi wanita itu yang membelakanginya, lebih tepatnya membelakangi mobilnya.
Saat wanita itu telah menyingkir memberinya jalan. Rudolp langsung menjalan mobilnya kembali, sedangkan Tuannya terus menatap wanita itu. Sampai dimana ia berteriak keras, menyuruh Rudolp untuk menghentikan mobilnya. Saat wajah wanita itu terlihat jelas.
"Hentikan mobilnya sialan," sarkasnya menatap Rudolp tajam. Dia sangat yakin jika wanita itu adalah wanita yang ia cari.
Rudolp mengusap kupinganya, yang lumayan berdegung akibat teriakan Tuannya. Terpaksa mengerem mendadak mobilnya, syukurlah Tuannya tidak kenapa-napa, akibat ia mengerem mendadak, dan untung saja kepala Tuannya tidak terbentur di dashboard mobil.
"Ada apa Tuan?" tanya Rudolp bingung tak ditanggapi oleh si empu, yang langsung membuka pintu mobil dengan kasar. Meski tenaganya belum pulih, ia tetap memaksa berlari untuk sampai di depan wanita itu.
"Sayang," teriaknya menggelar memenuhi ruangan basement rumah sakit berhasil menyentak seseorang.
Tangannya menggantung di udara belum sempat membuka mobilnya. Suara itu, dia tidak salah dengarkan? Tapi mengapa rasanya begitu nyata. Sudah dipastikan juga jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, tubuhnya menegang, kakinya susah digerakkan terasa begitu jelly hingga ingin terjatuh.
Suara langkah itu semakin mendekat ke arahnya. Gelora takut, sangat takut jika pria itu benar-benar menemukannya.
"Sayang," panggil orang itu lagi berhasil membuatnya menangis karena panik.
"Kaki kenapa susah sih digerakin." Wanita itu sudah menangis sembari memukul betisnya, berharap kakinya tidak keram.
Gelora tidak ingin menolehkan kepalanya, bahkan berbalik untuk melihat orang itu. Dia sangat takut untuk bertemu dengan pria itu, setelah apa yang ia perbuat di masalalu dan apa yang pria itu perbuat padanya.
"Sekarang aku milik suamiku Radit. Bukan miliknya lagi," batinnya.
Di sisi lain pria itu terus berjalan mendekati Gelora. Meski langkah kakinya yang terseok-seok, namun itu bukanlah penghalang untuk sampai pada wanitanya. Wajahnya sangat bahagia, senyuman terus terpatri di bibirnya. Matanya menyipit seiring senyumannya yang semakin lebar.
"Sedikit lagi," gumamnya sambil terus melangkah ke arah wanita itu.
Dalam hatinya ia memanjatkan syukur kepada Tuhan, karena wanitanya sudah ditemukan, bahkan sudah terlihat di depan matanya.
Kini langkahnya terhenti tepat di belakang wanita itu. Ia terus mengikis jarak yang ada, tangan kekarnya menggapai pinggang wanita itu, dan sekali sentakan ia membalikkan tubuh wanita itu.
DEGG
Mata mereka saling bertubrukan satu sama lain, mata emerald itu masih sama seperti dulu memandang Gelora lembut, hangat dan penuh cinta.
"Rama," bisiknya lirih seiring tubuhnya yang ditarik oleh pria itu.
"I mis you honey," gumam Pragma memeluk erat Gelora.
To Be Continue