"Gelora buka," teriak Pragma dari dalam sambil terus mengedor pintu dengan brutal. Semakin lama, gedoran itu terdengar keras, sedangkan Gelora semakin mempercepat langkahnya menuruni satu persatu undakan anak tangga.
Di sisi lain, Pragma semakin marah pada dirinya sendiri. Karena Gelora berhasil kabur darinya.
"Berpikir Pragma, berpikir," ulangnya terus menerus merapalkan perkataannya sendiri. Berjalan bolak balik ke sana kemari.
"Kalau Gelora berhasil kabur. Pasti wanitaku itu akan meninggalkanku lagi," pikirnya mulai bergerilnya tidak jelas seiring jarum jam yang terus berdetak.
"Tidak, Geloraku tidak boleh pergi," teriaknya tiba-tiba.
"Aku masih kuat untuk mendobrak pintu ini," katanya, sekali lagi menyakinkan dirinya sendiri. Melihat keadaannya yang sangat memperhatinkan. Semua lukanya belum sembuh, bahkan, kakinya kembali diperban saat Gelora masih belum sadar tadi.
Dengan sepenuh tenaga, Pragma berusaha mendobrak pintu kamarnya sendiri. Sedangkan di luar sana Gelora mulai panik melihat banyak bodyguard menghalangi jalannya.
"Nyonya Gelora ingin ke mana?" tanya seseorang yang Gelora ingat, dia adalah bodyguard yang bersama Pragma di basement rumah sakit tadi. Sekaligus, dialah yang membuatnya pingsan. Kurang ajar memang, lain kali, Gelora akan memberinya pelajaran. Tidak sekarang, karena kabur dari Pragma lebih utama dulu.
"Saya ingin pulang," ucap Gelora berusaha menetralkan suaranya sedatar mungkin. Meski dalam hati, ia menjerit ketakutan membayangkan Pragma mengurungnya. Jika itu sampai terjadi, dia tidak akan bisa bertemu dengan suaminya.
Rudolp menaikkan satu alisnya. Memandangi Gelora bingung. "Pulang ke mana Nyonya. Inikan rumah Nyonya, bagaimana kalau Tuan marah lagi, Anda ingin meninggalkannya?"
Gelora memutar bola matanya malas. Dia benci mendengarkan kata yang sama, seperti yang diucapkan Pragma tadi 'inikan rumahmu' tidak tahu sajakah ia, kalau Gelora sungguh muak berada di sini.
"Minggir," sentak Gelora sok galak kepada semua bodyguard itu.
"Jangan ada yang mundur. Hubungi yang lain untuk tetap menjaga pintu gerbang utama dari luar," ucap seseorang dengan vokal nada rendah. Dia terus berjalan tanpa melepaskan tatapannya pada objeknya.
"Sayang, jangan membuatku terlalu marah," keluhnya berpura-pura, sehingga Gelora berdecih sinis padanya.
"Cukup Tuan Pragma Dexander Abraham. Anda, jangan menganggu saya lagi, terus menahan-nahan saya untuk keluar dari sini. Ingat, kita adalah orang asing," jelas Gelora datar menatap Pragma muak dan benci.
"Sudah kubilang sejak tadi Sayang, bahwa kamu tidak akan bisa keluar dari sini, sebelum aku mengizinkanmu. Tapi itu mustahil, karena aku tidak akan pernah mengizinkanmu pergi tanpaku. Kamu mutlak bersamaku sepanjang waktu," balas Pragma sama datarnya dengan Gelora.
Terlalu muak dan ingin mencakar wajah Pragma, itulah yang dirasakan Gelora saat ini. Tak sadar ke dua tangannya saling mengepal menatap Pragma semakin benci, menghunus tajam ke depan bak ingin menghancurkan.
"Kamu dibaikin semakin melunjak yah. Mau kamu apa sih sebenarnya," teriak Gelora frustasi tepat di depan wajah Pragma. Semua orang menahan napas melihatnya, termasuk Rudolp. Berani sekali wanita itu berteriak di depan Tuannya.
Bukannya marah diperlakukan seperti itu. Pragma malah terkekeh gemas mengangkat ke dua tangannya. "Tanganku berdarah Sayang. Tolong kamu obati."
"Ya Tuhan makhluk apa ini di depanku," batin Gelora semakin stres menghadapi kelakuan Pragma.
"Tanganku terluka Sayang, semua ini gara-gara kamu, tolong obati," ucapnya sekali lagi.
Sudahlah, Gelora semakin frustasi mengacak rambutnya kasar. Melempar tubuhnya ke sofa, terlalu lama berdiri dan berdebat membuat kakinya sakit, bahkan mulutnya sudah tak ingin mengeluarkan suara pada Pragma lagi.
"Rudolp ambil obat," suruh Pragma yang diangguki oleh pria itu. Sedangkan Pragma ikut duduk di samping Gelora, mengamati wajah wanita itu dari samping terlihat sangat kelelahan menurutnya.
"Setelah mengobati lukaku baru kita makan," ucap Pragma membuka suara lebih dulu.
"Apakah kamu sangat kelelahan Sayang, sehingga wajahmu terlihat pucat?" tanya Pragma menarik dagu Gelora agar menatapnya, namun segera ditepis kasar oleh pemiliknya.
"Sudahlah, Sayang, jangan merajuk seperti ini. Aku menahanmu tetap di sini karena ini adalah rum–"
"Ini bukan rumahku," potong Gelora cepat.
"Kenapa Sayang. Apakah kamu tidak suka dengan mansion ini, apakah mansion ini terlalu jelek menurutmu. Kalau kamu mau, nanti kita akan mencari mansion sesuai seleramu," Pragma terus saja berceloteh tanpa memedulikan Gelora, yang tidak mau menimpali perkataannya. Tapi, jika semakin dibiarkan berceloteh terus-menerus, Gelora juga menjadi bosan mendengarnya.
"Sudahlah Pragma, kepalaku pusing mendengar celotehan gilamu," desis Gelora menendang paha Pragma agar menjauh darinya.
"Dasar Nyonya kurang ajar," batin Rudolp kembali meringis melihatnya. Sungguh kasihan kepada Tuannya, harus dijadikan korban dan bahan penistaan begitu. Sejahat-jahatnya Rudolp karena sikap bossy dari Pragma, tetapi ia tidak pernah bisa membalas bosnya itu karena takut. Tapi wanita itu tidak ada takut-takutnya, sedangan dia melihat Pragma tidak marah, melainkan Tuannya itu mencoba membujuk Gelora.
"Pragma kenapa kau mendekatiku terus," decak Gelora saat Pragma kembali mengikis jarak.
"Karena aku mau," balas Pragma kelewat santai.
"Kamu." Tunjuk Gelora murka mendelik sinis padanya.
"Sangat menyebalkan, Jerk," umpatan kasar itu kembali lolos dari mulutnya.
"Berani kamu mengumpatiku lagi," desis Pragma terlihat marah terhadapnya.
"A–apa yang kamu lakukan," gagap Gelora saat Pragma semakin mendekatkan wajahnya.
Pragma suka melihat wajah ketakutan Gelora saat ini. Pria itu semakin melebarkan seringainya pada Gelora, dengan sekali sentakan dia menarik tengkuk Gelora.
Cup
Berhasil mempertemukan bibirnya mereka. Menyadari tidak ada perlawanan dari Gelora, Pragma dengan cepat memberikan lumatan-lumatan kecil di sana.
Satu detik!
Dua detik!
Tiga detik!
Hingga hitungan keempat detik, barulah kesadaran Gelora kembali tertarik sepenuhnya. Sadar apa yang telah terjadi pada dirinya saat ini, ada gerakan kecil mengerayapi bibirnya semakin lama semakin liat, terkesan kasar dan terburu-buru.
"Hmmmphhhh." Gelora kembali berontak saat merasa kehabisan oksigen. Dia menjambak rambut Pragma mencoba memberinya peringatan, agar pria gila ini melepaskan cumbuannya. Dengan terpaksa Pragma melepasnya, menempelkan keningnya dengan kening Gelora. Menatap wanitanya dengan napas terengah-engah juga.
"Ka–kamu mau membunuhku?" tanya Gelora berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya. Pragma tersenyum kecil, saat Gelora berbicara tepat di depan bibirnya sehingga napas wanitanya dapat ia rasakan.
"Tidak Sayang, hanya saja, aku menghukumku karena kamu mengumpatiku lagi. Dan jangan bilang?" Pragma mengerling nakal pada Gelora.
"Apa?" tanya Gelora balik memukul kecil bahu tegap Pragma.
"Kamu menyukai hukuman yang aku berikan tadi," bisiknya dengan sengaja mengecup sekilas leher jenjang Gelora. Memberikan sensasi aneh pada tubuh wanita itu, jika semakin dibiarkan sesuatu yang tak diinginkan pasti terjadi.
"Ekhm," dehem Rudolp tiba-tiba. Wajah dan telinga pria itu memerah seperti tomat, menatap Tuan dan Nyonya barunya itu.
"Menganggu saja," decak Pragma menatap Rudolp malas. Jangan bilang pria itu melihatnya, mencumbu wanitanya karena dia tidak akan peduli sama sekali.
"Ini kotak obatnya. Tuan," katanya memberikan kotak P3K itu dengan tremor, membuat Pragma kembali berdecak dan memutar bola matanya malas. Sangat tahu, apa yang dialami Rudolp sekarang.
"Kenapa kamu sampai tremor seperti ini. Apakah kau tidak normal, sehingga terkesan seperti itu melihat seseorang bercumbu?" tanya Pragma frontal tanpa difilter terlebih dahulu.
BUK
"Akhh kenapa kau memukulku lagi, sih, Sayang," ringis Pragma pelan.
"Kamu sangat frontal," dengus Gelora tidak suka sekaligus malu.
"Yah memangnya kenapa? Ada yang salah kah?" cerca Pragma dengan deretan pertanyaan.
"Sangat salah Pragma. Pertama aku dan kamu tidak ada hubu–"
Ucapan Gelora terpotong, saat Pragma dengan cepat meletakkan jari telunjuknya di bibirnya. Menatapnya tajam hanya beberapa saat, sebelum kembali tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa.
"Sayang ini kotak obatnya," ujarnya tanpa memedulikan delikan dari Gelora.
"Obati saja sendiri!" balas Gelora.
"Ke dua tanganku terluka Sayang. Jadi mustahil, jika aku bisa mengobatinya sendiri," keluh Pragma memperlihatkan wajah menyedihkannya.
"Kamu sangat menyusahkan Pragma," cibir Gelora dengan paksa membuka kotak P3K itu dengan kasar. Membalikkan badannya, menghadap pada Pragma dengan posisi menyamping.
"Aku tidak tahu, mengapa kamu bisa mendapatkan luka sebanyak ini." Gelora dengan hati-hati membersihkan luka Pragma terlebih dahulu, sebelum memberinya obat, setelah itu, dia membalut luka Pragma dengan perban.
"Apa tidak sakit?" tanya Gelora meringis pelan melihat Pragma yang biasa-biasa saja, saat ia mengobatinya.
"Tidak, asalkan kamu yang mengobatinya," jawabnya ngawur. Lalu tanpa permisi dia mengangkat ke dua kakinya, meletakkannya pada paha Gelora.
"Astaga Pragma, kakimu juga terluka," teriak Gelora refleks sambil menutup mulutnya. Tanpa sadar jika sepasang mata sedang mengawasinya, yang baru saja datang terburu-buru saat mendengarkan suara familiar itu.
"Gelora?" panggilnya ragu.
DEG
Tempat obat yang dipegang Gelora terjatuh berceceran di lantai. Saat mendengarkan suara orang itu, orang yang ia benci.
Bersambung.