Gelora refleks berdiri dari tempatnya. Matanya saling bertubrukan dengan seorang wanita paruh baya, yang sedang berdiri tidak jauh darinya. Lebih tepatnya, ia masih berada di ambang pintu ke dua menuju ruang tamu.
"Sayang," panggil Pragma berhasil menyentak ke dua wanita, yang berbeda generasi itu dari kontak matanya.
Raeni bahagia melihat anaknya kembali hidup, saat ia telah menemukan wanita itu. Sikap anaknya, sudah terlihat sedikit normal dalam pandangannya saat ini. Tapi sejujurnya, wanita paruh baya itu bingung harus bagaimana menyikapi keberadaan Gelora. Dari tatapan wanita muda itu, menyimpan kebencian mendalam padanya. Tapi mau tidak mau, ia melangkahkan kakinya mendekati Gelora dan Pragma. Setelah memberikan barang belanjaannya kepada maid yang datang menghampirinya.
Para maid di mansion ini, hanya berani keluar jika ada Raeni. Sebaliknya kalau ada Pragma, mereka tidak akan mau mengunjungi ruangan di mana pria itu sedang berada, jika tidak ada pengawasan ketat. Alasannya sangat klasik, mereka takut dibunuh oleh Pragma. Yang mereka dengar memiliki sedikit gangguan jiwa.
"Apa ini benar kamu, Nak?" Raeni baru saja ingin memeluk Gelora, saat telah sampai di hadapan wanita itu. Namun si empu lebih dulu menghindar, menjauhkan dirinya, dari jangkauan wanita paruh baya itu.
Hati Raeni mencelos melihatnya. Sedangkan Gelora semakin gelisah, ingin rasanya ia menangis sekencang-kencangnya, saat menyadari tidak ada celah untuk kabur dari sini. Ditambah dengan kehadiran Raeni, mantan mertuanya yang sangat kejam itu.
"Gelora, hei Nak, coba liat saya." Raeni menarik paksa Gelora agar menghadapnya.
"Lepaskan, kamu menyakiti istriku," ujar Pragma tidak suka. Mengambil alih Gelora, memeluknya sehingga wajahnya tenggelam di dada bidangnya. Seperti tak memberi celah, ibunya itu menatap Gelora.
"Pragma jangan begitu. Ibu hanya ingin minta maaf kepada Gelora," bujuknya saat melihat perlakuan Pragma.
"Tidak, Anda tidak boleh berbicara kepada Geloraku! Dia terlihat ketakutan saat melihatmu," ucapnya sarkas. Entah mengapa, biarpun Gelora telah kembali kepadanya. Memaafkan ibunya terasa sangat sulit.
"Kamu kenapa sih Pragma." Raeni menyentaknya tanpa sengaja.
"Ibu berusaha memperbaiki segalanya, tapi kamu malah menjauhkan Gelora dari Ibu, dan juga, bukankah kamu telah berjanji. Setelah Gelora ditemukan kamu akan memaafkan Ibu," ujar Raeni panjang lebar. Dirinya sudah sangat bersabar menghadapi sikap Pragma, tapi anaknya itu masih bersikap keterlaluan kepadanya. Hati ibu mana yang tidak sakit, jika anaknya menganggap dirinya seperti orang asing.
Mendengar pertengkaran kecil itu membuat Gelora meringis. Sejak dulu bersama Pragma, ia tidak pernah melihat Pragma yang berkata formal kepada ibunya. Dan kemana tatapan lembut Pragma, kepada ibunya? Sekarang berubah dengan tatapan datar.
"Pragma," panggil Gelora berhasil mengalihkan atensi ke dua orang itu.
"Iya Sayang?" sahutnya cepat menundukkan sedikit kepalanya menatap Gelora, saat wanita itu mendonggakkan kepala menatapnya.
"Jangan membenci Ibumu," ucapnya pelan. Tapi berhasil didengar oleh Pragma dan Raeni.
Sedikit kehangatan yang tercipta memenuhi relung hati Raeni. Seberapa banyak perlakuan buruknya kepada Gelora di masalalu, Gelora tetap saja membelanya di saat Pragma membencinya.
"Maafkan saya Gelora, sungguh ... saya tidak tahu, bagaimana caranya menebus semua kesalahan saya, juga, bagaimana caranya saya menebus kebaikan kamu?" Raeni bersimpuh memohon pada Gelora. Wanita paruh baya itu menangis, memohon maaf pada Gelora.
Gelora kembali memundurkan langkahnya, hingga ia tidak bisa mundur lagi saat telah mencapai pembatas sofa di belakangnya. Langkahnya kini terkurung antara sofa dan Raeni dihadapannya, tidak jauh darinya sekitar dua langkah yang terpisah. Sedangkan Pragma masih terdiam membisu melihat kejadian di depannya.
"Aku semakin mencintaimu Sayang," ujarnya spontan. Saat sadar, Gelora terlepas dari kungkungannya. Pragma ikut berdiri di sisi tubuh Gelora, kembali meraih jemari wanita itu ke dalam genggamannya.
"Sejak kapan Anda bisa tunduk kepada siapa pun?" tanya Gelora ikut menyamakan posisinya, seperti Raeni.
Raeni mendongak, kembali mempertemukan matanya dengan Gelora. Memandang wanita itu dengan lekat. "Selama ini, Ibu memang tidak pernah tunduk sama siapa pun karena harga diri Ibu lebih tinggi. Tapi sekarang, maukah kamu mengasihani Ibu, Nak, dengan memberi maafmu?"
Perasaan iba muncul di dalam hati Gelora. Sisi manusiawinya mengimbangi rasa benci terhadap wanita itu, seberapa buruk perlakuannya. Tapi wanita itu tetap seorang ibu, mana mungkin ia tidak memaafkan seorang ibu yang memohon maaf kepada seorang anak.
"Saya telah melupakan permasalahan kita di masalalu, semenjak saya telah keluar dari keluarga Anda! Itu artinya saya memaafkan Anda," beritahunya membuat Raeni terpaku. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman, yang terpatri di wajahnya yang sedikit keriput pada bawa matanya karena faktor usia.
Gelora ikut membalas senyum itu dengan tulus meski dadanya sesak, setiap kali melihat wajah Raeni mengingatkanya, pada masalalunya yang kelam. Seorang anak yatim piatu yang berhasil masuk ke dalam keluarga besar Abraham, seorang wanita cacat yang pernah hidup di tengah-tengah keluarga megah itu, diratukan oleh suaminya, tetapi dianggap beban oleh mertuanya. Sejujurnya Gelora masih kecewa kepada ibu Pragma. Tapi, bukankah memaafkan seorang ibu adalah hal yang mulia? Tentunya iya, Gelora akan menjadi seorang ibu juga, jadi ia harus belajar dari sekarang.
Pragma ikut tersenyum melihatnya. "Lihatkan Ibu? Wanitaku memang pemaaf!" ucapannya terdengar sangat lembut dan tulus, mengalun indah masuk ke dalam pendengaran Raeni.
"Bangun Nyonya," suruh Gelora membantu Raeni untuk berdiri. Dirinya tidak suka, wanita paruh baya itu memohon padanya sembari berlutut di depannya. Dia merasa itu tidaklah pantas dan sangat memalukan, untuk dilakukan oleh orang yang lebih tua darinya. Gelora masih seperti wanita pada umumnya, yang tau tata krama, memegang salah-satu pendapat yang teguh 'yang muda harus menghargai yang lebih tua' dan Gelora selalu melakukan hal itu, tergantung attitude seseorang kepadanya. Sekarang posisinya Raeni tidaklah lagi menghinanya seperti dulu, melainkan dia meminta maaf kepadanya.
Drtt...
Drtt...
Bunyi getaran handphonenya di dalam tasnya, membuat ia refeleks melepaskan ke dua tangannya, yang bertumpu pada bahu Raeni. Pragma memicingkan matanya pada Gelora karena wanita itu menjauh darinya.
Terlihat Gelora sedang menerima telepon, sedangkan Pragma semakin curiga. Pria itu segera menyusul Gelora di ujung sana.
"Iya ibu. Aku akan ke sana segera," bisik Gelora tidak mau Pragma curiga.
"Sayang," celetuk Pragma tiba-tiba membuat Gelora kaget. Dengan segera ia mematikan sambungan secara sepihak, hampir saja ia menjatuhkan handphonenya. Semoga saja ibu mertuanya tidak mendengar suara Pragma tadi.
"Jangan mengganguku terus Pragma," decaknya mengendalikan raut terkejutnya.
"Siapa yang menelponmu tadi?" tanya Pragma mengintimidasinya mengabaikan decakannya.
"Bukan urusanmu," jawab Gelora.
"Aku ini suamimu kalau kamu lupa," tekannya.
"Sorry yah, kita sudah bercerai dua tahun yang lalu kalau kamu lupa," ucap Gelora terkekeh geli menatap Pragma.
Pragma masih mengelak. Tatapannya kembali tajam, urat-urat di sekitar pelipisnya terlihat menonjol. "Kamu masih istri sahku. Kita tidak pernah bercerai, dan aku tidak pernah menandatangi surat cerai itu!"
Ingatan Pragma kembali pada masalalunya. Di mana Gelora meninggalnya dengan surat cerai yang wanita itu tinggalkan untuknya. Tapi percayalah Pragma sangat membenci surat itu, bahkan ia sendiri yang menghancurkannya.
Bersambung