Chereads / The Smell of Crime / Chapter 23 - Pembalasan yang setimpal

Chapter 23 - Pembalasan yang setimpal

Setelah cukup lama bernogosiasi dan salin bertukar informasi satu sama lain, akhirnya George memutuskan untuk pergi dari bar tersebut

Suasana berubah seketika menjadi mencekam ketika suara tembakan terdengar dari arah luar bangunan.

Seorang pembunuh baru saja berhasil mendapatkan mangsanya. Benjamin melihat langsung keadaan George yang sudah sekarat dengan matanya sendiri.

"Tolong aku, uhuk ... uhuk ... Tolong aku, Ben..." teriak Geoger yang berusaha meminta pertolongan kepada Benjamin.

"Astaga, bukankah itu Pak tua! Apa yang harus aku lakukan sekarang, aku yakin pembunuh itu masih berada di sekitar sini," gumam Benjamin.

Benjamin segera melihat situasi dan kondisi disekitar lingkungan untuk memastikan keadaan.

"Dimana pembunuhnya? Astaga ... Aku tidak melihatnya dari sini karena terlalu gelap, aku harus bergerak cepat untuk menyelamatkan pak tua itu,"

Tanpa pikir panjang lagi, Benjamin segera menghampiri dan membantu George dengan menarik tubuhnya masuk ke dalam bar.

Sebuah peluru timah kembali dilancarkan, namun peluru tersebut hanya sedikit menyentuh lengan kiri Benjamin.

"Sialan, Hampir saja aku mati dan untungnya saja luka ini tidak terlalu parah" gumam Benjamin.

Benjamin segera melihat kondisi George yang sudah terluka parah tanpa memikirkan kondisinya yang terluka.

"Pak tua, Apa kau baik-baik saja? Sadarlah, pak tua! Bangunlah," teriak Benjamin berusaha menyadarkan George sembari menepuk pipi George?

Benjamin segera memeriksa luka tembak yang ternyata peluru-peluru itu tepat mengenai bagian dadanya dan untungnya peluru itu tidak mengenai detak jantungnya.

"Aku tidak tahu cara apalagi untuk membangunkannya, Apa mungkin dia sudah ..."

"Uhuk... Uhuk... Ben? Uhuk... Kau kah itu, Ben? Huuhh ... Huh ... uhuk..." tanya Geoge.

"Ini aku, George. Bagaimana keadaanmu? Kurasa aku harus segera membawamu pergi dari sini untuk mendapatkan perawatan medis,"

"Uhuk ... Tidak perlu, Ben. Mungkin sudah waktunya aku pergi dari dunia ini, uhuk... uhuk,"

"Siapa yang melakukan ini padamu, pak tua?" tanya Benjamin.

"Aku tidak tahu siapa yang melakukan ini... Uhuk... Uhukk..."

"Bertahan sebentar, pak tua. aku akan membawamu pergi dari sini," ucap Benjamin sambil berusaha mengangkat tubuh George.

"Cukup, Ben. Uhuk ... uhuk, kau pergi saja dari sini jika kau ingin selamat, aku sudah tidak bisa bertahan lagi dengan lukaku ini ... Uhuk ... Uhuk..."

Terlihat beberapa bercak darah perlahan mengalir keluar dari bagian mulut dan hidung George.

"Mungkin sudah saatnya ajalku tiba, Ben. sebaiknya kau pergi saja sekarang juga atau kau akan bernasib sama sepertiku,

namun sebelum kau pergi ada yang ingin aku berikan padamu," ucap Geoger sambil merogoh sesuatu dari dalam bajunya.

"Ini dia, Ben. Kau simpan benda ini, untuk menjagamu jika dalam bahaya,"

"Pistol? Tunggu sebentar, sejak kapan kau menyimpan senjata api didalam pakaian mu?"

"Aku menyimpan pistol ini untuk berjaga-jaga jika aku dalam bahaya namun, sayangnya aku tidak menduga hal ini akan datang begitu cepat,"

"Lelucon macam apa itu? Aku sama sekali tidak mengerti apa maksud perkataanmu, George?" tanya Benjamin.

"Uhukk ... Sebenarnya akulah yang mengirimkanmu surat itu, karena aku tahu hal ini akan terjadi padaku,"

"Tunggu sebentar ... Jadi yang mengetuk kaca dikantorku itu ternyata kau?" tanya Benjamin.

"Akulah orangnya, Ben. Aku yang mengetuk jendela kantormu,"

"Berarti kau juga tahu jika aku ini seorang detektif?" tanya Benjamin.

"Uhuk, uhuk... Betul, aku sudah mengetahui semuanya tentangmu, Maafkan aku, Ben. Seharusnya aku mengatakan semuanya padamu lebih awal,"

"Untuk apa kau melakukan itu?" tanya Benjamin yang merasa bingung.

"Sebenarnya surat itu aku kirim untuk meminta bantuanmu karena hanya kau yang dapat membantuku, argh... Huh..."

"Ini semua benar-benar tidak masuk akal, pak tua. Aku ... aku masih tidak mengerti apa maksud perkataanmu itu,"

"Mungkin ini terdengar mengejutkan tapi aku sedang tidak bercanda, uhuk ... Kau akan mengerti nanti, sebaiknya kau pergi sekarang juga, Ben. Argh... Aku mohon padamu, uhuk ... Huh,"

"Aku tidak akan pergi dari sini, sebelum semuanya jelas, George, Aku tidak mau ikut campur dengan masalahmu atau apapun itu yang berhubungan denganmu,"

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang tengah berlari dari arah luar, langkah kaki itu terhenti tepat di depan bar.

Kemudian tiga orang masuk kedalam bar sembari membawa sebuah senjata api dan juga tongkat pemukul.

Ternyata mereka merupakan tukang pukul yang dikirim untuk melihat kondisi di dalam bar, tampak sebuah tato naga dileher mereka dan juga gelang rantai berwarna emas di pergelangan tangan mereka.

Tampak di dalam bar sudah tidak ada siapapun selain George yang terbaring kaku tak bernyawa akibat pendarahan dari luka tembak.

"Bagaimana kondisinya? Apakah dia benar-benar sudah mati?"

Salah satu dari ketiga tukang pukul tersebut segera memeriksan denyut nadi dari lehernya george.

"dia sudah tewas,"

"Sialan, kita terlambat, kalau begitu kita pergi saja dari sini, "

"Bagaimana dengan mayat ini? Apa kita biarkan saja disini?"

"Biarkan saja mayatnya disini sampai busuk sekalipun,"

"Bagaimana jika nanti polisi yang menemukan mayat ini? Bukankah itu berbahaya buat kita nantinya?"

"Kau benar, kalau begitu sebaiknya kita singkirkan mayat ini sebelum benar-benar ada yang melihat,"

"Apa tidak sebaiknya kita memeriksa disekitar tempat ini, mungkin saja masih ada rekan dari pria tua ini yang sedang bersembunyi,"

"Kalau begitu kita bagi tugas, kalian berdua urus mayat ini sedangkan aku akan memeriksa tempat ini untuk memastikan tidak ada siapapun disini,"

Akhirnya para mafia itu sepakat dan mulai menjalankan tugas mereka masing-masing. Ternyata Benjamin masih berada di dalam bar tersebut, bahkan ia mendengar semua pembicaraan para mafia itu dari balik meja pramutama bar.

"Sepertinya aku harus mengotori kedua tanganku ini untuk kedua kalinya," batin Benjamin.

Benjamin terus memantau para mafia tersebut dari balik botol minuman yang sudah kosong, terlihat Benjamin mulai mengeluarkan pistol pemberian mendiang George.

Sebuah pistol berjenis colt revolver yang dilengkapi dengan suppresor atau peredam dan sudah terpasang delapan buah peluru.

"Aku rasa dua peluru saja cukup untuk membungkam masing-masing orang dari mereka bertiga,"

Akhirnya Benjamin mulai melancarkan aksinya, peluru pertama ia tembakan ke arah lampu hingga membuat ruangan tersebut gelap.

"Apa itu? Mengejutkan, ternyata hanya lampu pecah,"

"Sepertinya tempat ini memang ada yang tidak beres,"

"Lebih baik kita selesaikan pekerjaan ini, setelah ith kita pergi dari tempat yang menyeramkan ini,"

Hal itu tidak disadari oleh para mafia dan menganggapnya hanya korsleting listrik. Mereka melanjutkan kembali tugas mereka masing-masing.

"Jangan khawatir, George. Aku akan membalaskan kematianmu,"

Berbekal pantulan cahaya lampu dari luar jendela, Benjamin segera berdiri dari tempat ia bersembunyi lalu menembaki mereka satu persatu sesuai rencananya.

"Argh... "

Dan dalam hitungan detik, mereka semua terkapar tewas dan tidak ada seorangpun yang selamat hidup-hidup.

"Ternyata tidak sesulit yang aku bayangkan," gumam Benjamin.

Setelah melihat mereka semua tewas, Benjamin sadar tidak ada yang bisa ia lakukan lagi dan akhirnya terpikirkan sebuah ide untuk membakar mereka bersama tempat tersebut.

"Bagaimana caraku membakar bar ini, tidak ada benda yang mudah terbakar disini,"

Benjamin menatap kearah peluru terakhir didalam pistol dan ia berniat menggunakan bubuk mesiu untuk membakar tempat tersebut.

"Kurasa ini bukan ide yang buruk,"

Benjamin segera mengambil pistol milik musuh dan mengeluarkan semua peluru didalamnya.

Perlahan Benjamin mulai menghacurkan setiap peluru dan mengeluarkan bubuk mesiu didalamnya.

"Aku harus melakukan ini dengan sangat hati-hati,"

Setelah semua peluru hancur, dengan cepat Benjamin

segera menaburkan bubuk mesiu disetiap sudut bar.

"Akhirnya semuanya selesai, dengan begini semua sudah terkendali,"

Benjamin sedikit termenung sejenak sambil menatap mayat George, ia mulai menyalakan sebatang rokok yang ia raih dari dalam kantong jas miliknya.

Perlahan Benjamin mulai menghisap rokok untuk menenangkan pikirannya sejenak.

"Aku tidak tahu kejadian apa lagi yang akan terjadi kepadaku setelah ini," gumam Benjamin.

Seketika Benjamin teringat kembali akan pembicaraanya denga George sebelum ia benar-benar meninggal.

"Aku tidak akan pergi dari sini, sebelum semuanya jelas, pak tua, Aku tidak mau ikut campur dan terlibat apapun masalahmu itu,"

"Uhuk ... uhuk ... Aku mohon padamu, Ben. Kau harus pergi dari sini, mereka akan segera sampai,"

"Tidak, pak tua. Aku tidak akan pergi sebelum kau menjelaskan apa yang terjadi,"

"Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi ada seseorang yang akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi," terlihat Geoger kembali merogoh saku jaketnya dan ia kemudian memberikan sesuatu

"Huh... Huh ... argh... ini dia foto dari orang yang baru saja aku bilang dan dia akan menjelaskan semuanya padamu, Sekarang kau harus pergi dari sini, Selamat tinggal, Ben..."

Akhirnya George menghembuskan nafas terakhirnya dengan tersenyum senang.