Bara terhenyak, tidak tahu harus berkata apa saat mendengar pertanyaan Dini yang begitu lugas. Ia sungguh tidak menyangka akan mendengar kalimat tajam itu dari mulut perempuan yang selama ini terlihat tak berdaya.
"Ap-apa maksud kamu? Jual apa?" sahut pria itu, dengan wajah yang telah merah padam.
Dini tidak langsung menyahut, masih menatap lelaki bercambang di depannya dengan penuh selidik. Ia yakin, ada sesuatu yang dirahasiakan oleh suaminya, terutama dengan pemilik perusahaan yang kaya raya di depannya.
"Apa saya salah? Bukankah--"
"Udah, stop! Berhenti bicara ngawur. Aku antar kalian pulang sekarang," tukas Bara, memotong ucapan Dini.
Mendadak suasana hati pria itu berantakan. Ia tidak tahu apa yang ada di pikiran perempuan itu sehingga bertanya tanpa merasa malu. Seolah menuding dirinya binatang buas yang menunggu mangsa.
"Baik, Pak," ucap Dini. Ia berjalan cepat, mengekor di belakang Bara yang kembali mendahului dengan langkah panjang.
Kali ini hanya ada wajah-wajah yang muram. Bukan hanya Bara yang menutup rapat mulutnya, Dini pun seperti enggan untuk menceritakan pemandangan di luar mobil pada Alika, seperti saat mereka berangkat sebelumnya.
Ponsel bergetar-getar di dasboard mobil. Bara terlihat cuek dan tetap menyetir dengan pandangan lurus ke depan. Handphone berlayar lebar itu terus bergetar seolah memberitahu tentang panggilan yang sangat mendesak.
"Ponsel Bapak berbunyi ...." Dini mencoba memberitahu, meski yakin sang pemilik ponsel sebenarnya telah mendengarnya.
Tanpa menyahut, tangan kiri pria itu menyambar ponsel dan mematikannya. Dini hanya menahan napas saat alat komunikasi seri terbatas itu terlempar begitu saja ke tempat semula.
"Saya ... minta maaf, Pak." Perempuan itu berucap lirih.
"Soal apa?" ketusnya, tanpa menoleh.
"Saya benar-benar minta maaf telah membuat Bapak marah. Sekali lagi saya minta maaf, Pak." Ucapan Dini terdengar sangat hati-hati.
Bara tidak menanggapi, tapi sudut bibirnya sedikit tertarik ke belakang dan melirik sekilas ke bayangan kaca di depannya. Wajah puas itu terlihat sedih dan tertunduk, sementara Alika tertidur di pangkuannya.
"Tidur?" tanya pria itu lembut.
Dini sedikit terkejut dengan perubahan sikap Bara yang tidak lagi berbicara dengan nada ketus. Ia pun mendongak dan menemukan sepasang mata elang dari bayangan kaca. Pandangan mereka terkunci untuk beberapa detik, lalu perhatian Bara kembali tertuju ke jalanan.
"Iya. Dia kelelahan setelah transfusi. Anak yang malang," gumam Dini lirih, sembari mengusap-usap pergelangan tangan sang bocah yang tampak lebam di beberapa titik.
"Aku tidak tahu kalau dia juga harus melakukan cuci darah. Benar-benar anak yang kuat," sahut Bara, meski terasa getir mengingatnya.
Dini terdiam, terus menatap wajah sang putri yang telah terlelap dengan kepala bertumpu di pangkuan. Berkali-kali ia mengusap pipi kurus itu, lalu kepalanya yang ditumbuhi helai rambut nan semakin tipis akibat kemoterapi.
"Sudah waktunya makan siang. Aku lapar," ucap Bara.
"Oh, ya. Saya ... bisa tunggu di mobil saja, Pak."
"Kamu tidak lapar?" tanya Bara, seraya melirik ke bayangan kaca.
"Tidak," jawabnya menggeleng, sambil terus memandangi wajah putrinya yang tertidur.
Bara menghela napas, lalu melihat arloji di tangan sebentar dan melambatkan laju mobil untuk kemudian menepi ke sebuah restaurant.
"Kita makan dulu. Perutmu butuh diisi," ucap Bara, saat mobil telah benar-benar berhenti di lahan parkir tempat makan itu.
"Saya tunggu di mobil saja, Pak. Saya benar-benar tidak lapar," jawab Dini.
Bara yang telah melepaskan sabuk pengamannya kini menoleh ke belakang, setengah memutar badan hingga kini wajah mereka berhadapan satu sama lain.
"Haruskah aku bawa meja makannya ke mobil?" tanya pria itu.
Dini tertegun, lalu menggeleng cepat dan menunduk. Jantungnya berdegup keras saat harus beradu tatap dengan pria berwajah tampan dan bercambang tipis itu.
"Kita tidak akan meninggalkan Alika di sini, kamu tenang saja. Ayo kita turun. Aku sudah sangat menahan lapar," ucap Bara dengan tenang.
Dini tidak lagi mengelak. Saat ini ia hanyalah seorang penumpang yang harus mengaminkan apa pun perkataan sang supir. Ia bahkan tidak menyangka saat tanpa canggung, pria itu mengangkat tubuh ringkih Alika dan menyandarkannya di bahu dengan nyaman.
"Kursinya?" tanya Dini saat mengikuti langkah Bara di depannya.
"Tidak usah. Dia bisa kita baringkan di sofa nanti, biar tidurnya enak." Enteng pria itu menjawab.
Dini kembali diam dan terus mengekor di belakang Bara. Mereka memasuki restaurant yang tidak begitu besar itu. Tidak terlalu banyak pengunjung, hanya beberapa pasangan dan kurang begitu peduli dengan kedatangan pelanggan lain.
"Mari saya antar, Pak!" ucap seorang karyawan begitu tahu Bara meminta meja yang khusus.
Mereka diantarkan di tempat yang agak terpisah dengan meja yang lain, lebih tepatnya sebuah saung kecil di sudut taman yang hanya ada beberapa.
"Terima kasih," ucap Dini seraya sedikit membungkuk ketika telah sampai di tempat itu.
"Sama-sama, Bu. Mohon ditunggu sebentar, ya. Pesanannya nanti kami antar."
"Terima kasih," ucap Dini, masih dengan sikap yang sama.
Bara membaringkan tubuh Alika di sebuah kasur kecil yang juga telah tersedia, lengkap dengan bantalnya. Mungkin efek obat atau terlalu lelah, bocah kecil itu tampak tidak sedikit pun terganggu dan masih melanjutkan tidurnya.
"Bisakah kamu berhenti bersikap seperti itu?" tanya Bara, saat mereka telah sama-sama duduk dan bersandar pada dinding saung dari kayu.
"Sikap yang ... mana?" sahut Dini terbata, tidak mengerti maksud ucapan pria itu.
"Berapa kali kamu bilang 'terima kasih' dan 'maaf' untuk hari ini? Kamu pernah menghitungnya?" jelasnya.
Dini terhenyak. Ia baru mengerti kemana arah ucapan Bara. Ternyata pria itu menyadari sikapnya yang mungkin terlihat aneh di mata seorang pria kaya yang kemungkinan jarang sekali mengucapkan kata-kata yang baru saja ia sebutkan.
"Haruskah kau selalu merendah seperti ini?" ucapa pria itu lagi.
"Mengucapkan terima kasih dan meminta maaf tidak akan membuat kita menjadi rendah," jawab Dini datar.
"Masalahnya kau lakukan itu pada semua orang. Sikapmu lebih seperti meminta belas kasihan dan itu sangat buruk," tegasnya, seraya melihat ke arah lain.
Ia mencoba menelan Saliva dengan perasaan yang entah sekotak apa sekarang. Pria yang duduk di dekatnya itu seperti tidak merasa perlu menyaring ucapannya. Ia bahkan tidak perduli jika saat ini telah melukai hati seorang perempuan yang tidak berdaya.
"Serendah itukah saya di mata Bapak?"
Bara tidak langsung menyahut. Ia terpaku saat menoleh dan mendapati sepasang mata Dini telah berkaca-kaca tengah menatapnya.
"Bukan begitu maksudku--"
"Orang seperti saya, sudah tidak lagi punya rasa malu, Pak. Harga diri saya tidak bernilai tinggi seperti Bapak atau pun orang lain."
"Kamu berlebihan, Dini. Bukan itu maksudku. Tolong jangan membuatku seperti orang yang bersalah."
Dini menyeka basah di matanya dengan kedua lengan, mendongakkan kepala sembari mengerjap agar tidak menangis. Kenapa saat bersama pria itu, dia gampang sekali mengeluarkan air mata? Bukankah selama ini ia sudah sangat jarang mengeluarkan air mata? Sekeras apa pun ia mencoba, tetap saja kedua matanya seperti telah mengering.
"Bolehkah saya menyukai Bapak?"
--