Chereads / She Called Me "Om Jae" / Chapter 17 - Senyum penuh rahasia

Chapter 17 - Senyum penuh rahasia

Bara berdiri mematung, masih menggenggam ponsel dengan tangan kiri. Ia berharap Dini segera melarangnya untuk menghubungi suaminya, tapi sepertinya tidak.

"Aku telepon sekarang?" ujarnya. Dini mengangguk, sungguh diluar dugaannya. "Oke. Aku telepon suami kamu sekarang," lanjutnya.

Bara meruntuk dalam hati. Bagaimana bisa ia seperti terjebak dalam permainannya sendiri? Sedangkan ia tidak mengerti, apa tujuan kedua kaki jahanam yang menuntunnya ke rumah itu.

"Sepertinya dia sedang meeting," ucap Bara lirih, saat lama tidak mendapat jawaban dari panggilan ponselnya.

"Tidak apa-apa, Pak. Sebaiknya kami naik taksi saja. Saya tidak mau merepotkan," ucap Dini.

"Begini--" Bara menutup panggilan ponsel, lalu mengantonginya kembali dan menatap mat perempuan di depannya lekat-lekat.

"Aku tidak ada maksud apa-apa selain ingin mengantar kalian ke rumah sakit. Lagi pula aku juga ada janji temu dengan salah seorang teman di sana. Jadi ... tidak ada salahnya kita pergi bersama, kan?"

"Teman?" gumam Dini, mengulangi ucapan pria yang tampaknya tidak mudah menyerah itu.

"Kamu tunggu di depan saja. Aku segera datang." Bara lantas berbalik setelah mengucapkan kalimat itu.

Dini urung untuk memanggil sang pemilik rumah yang telah berlalu pergi dengan langkah yang nyaris berlari, lalu hilang di balik dinding pembatas yang memagari di sepanjang halaman belakang rumah itu. Perempuan itu menghela napas, lalu meraih handle pada kursi roda dan mendorongnya perlahan.

"Kita ke rumah sakit ya, Sayang. Ketemu sama Pak Dokter biar Alika ceper sembuh," bisiknya lembut, dengan hati yang terasa sangat perih.

Sebenarnya Reno sudah lama ingin menghentikan pengobatan Alika karena merasa tidak akan mendapatkan apa-apa. Tetapi Dini tetap bersikeras melakukan apa pun demi kesembuhan sang putri, meskipun hanya untuk mengulur waktu kepergian malaikat kecilnya itu.

Terdengar suara klakson dari depan pagar. Tidak berapa lama, turun seorang security dari dalam mobil yang langsung membukakan pintu pagar. Dini membiarkan keduanya bersama-sama membantu Alika masuk ke dalam jok belakang kendaraan, sementara kursi dilipat dan disimpan di bagasi.

"Kita berangkat sekarang, ya." Bara melihat ke arah pantulan bayangan di kaca mobil.

"Terima kasih, Pak," jawab Dini, sembari mengangguk dan terus menggenggam jemari putrinya yang ia pangku.

Bara bukanlah orang yang mau mengerjakan sesuatu tanp alasan, tapi apa yang ia lakukan saat ini benar-benar di luar kebiasaannya. Bukan rasa puas karena telah berhasil satu mobil dengan istri temannya, tapi lebih dari itu.

"Aku sudah mengirim pesan ke Reno. Jadi ... tidak perlu khawatir," ucap Bara, sembari terus mengemudi.

"Oh, iya. Terima kasih banyak, Pak," jawab Dini lirih, lalu diam dan menunduk.

Bara tidak dapat menyembunyikan senyum yang diam-diam tersembul di sudut bibirnya. Ia memang memberitahu Reno, tapi dengan alasan taksi yang dipesan istrinya lama tidak datang. Setidaknya ia tidak akan dituduh membawa pergi perempuan itu tanpa izin.

"Apa dia ... benar-benar tidak bisa bicara?" tanya Bara dengan hati-hati.

Dini tidak langsung menyahut pertanyaan pria yang duduk di depannya, mengemudikan mobil untuk mereka. Diciuminya rambut di kepala gadis kecil itu dengan penuh kasih, lalu merengkuhnya dengan hangat.

"Alika selalu bicara dengan hati, Om!?" jawab perempuan itu dengan suara yang menirukan gaya bicara anak kecil. "Iya kan, Sayang?" pungkasnya.

Seketika hati Bara berdebar. Ada perasaan menyesal karena sudah bertanya, tapi di sisi lain ia pun merasa bahagia karena secara tidak langsung Dini berusaha membuatnya akrab dengan sang putri.

"Halo, Alika. Senang nggak diantar sama Om?" Bara mencoba menyapa gadis cilik itu, seraya merubah posisi kaca di depannya agar bisa melihat bayangan wajah Alika.

"Halo, Om. Alika senang, Om. Makasih ...."

Senyum di bibir Bara kian merekah. Meski bukan mendengar langsung dari sang bocah, tapi sahutan perempuan berwajah pucat itu mampu membuatnya di atas awan. Good job, Bara! Sedikit lagi untuk mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya yang menggelora.

Sepanjang perjalanan, Bara hanya diam mengemudi Dengan perlahan. Sementara Dini makin sering terdengar berbicara pada sang putri. Ia dengan sabar menjelaskan apa saja yang terlihat di luar mobil. Mulai dari banyaknya gedung dan tulisan-tulisan besar yang tampak jelas di kiri dan kanan jalan. Persisi seperti tour-guide yang memandu dengan penuh kesabaran.

Hingga kemudian mereka sampai di rumah sakit setelah hampir satu jam perjalanan. Bara dengan cekatan menyiapkan kursi roda dari dalam bagasi, lalu membopong tubuh Alika dan mindahkannya dengan hati-hati.

"Terima kasih, Pak," ucap Dini, dengan suara yang bergetar.

Ada kesedihan yang teramat dalam dari suara serak itu, pun binar yang terpancar dari kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dini tidak selalu mampu menyembunyikan kesedihan. Ada kalanya ia kalah dan tak bisa menutupi rasa lelah yang berkepanjangan.

"Serahkan padaku!" ucap Bara, seraya mengambil alih kursi roda yang sebelumnya hendak didorong oleh Dini.

"Tapi, Pak--"

"Jangan berdebat. Rapikan saja bajumu," ucap pria itu, lalu berjalan lebih dulu.

Dini terhenyak, lalu segera menyadari kalau ternyata dua kancing bajunya terlepas hingga bagian dadanya terbuka. Mungkin tidak sengaja terlepas saat sedang memindahkan Alika di dalam mobil. Ia pun cepat-cepat membenarkan pakaian, kemudian bergegas mengejar Bara dengan langkah cepat.

"Biar saya saja, Pak!" pinta Dini, saat mereka telah berjalan berdampingan, tapi Bara menolaknya.

"Sudah ...! Biar aku saja." Bara masih tidak mau menuruti permintaan Dini.

Dini menghela napas dalam-dalam. Hampir semua mata tertuju pada mereka di sepanjang lorong rumah sakit itu. Mungkin mereka kasihan melihat kondisi Alika yang tidak normal, atau mungkin mengasihani dirinya yang menjadi orang tua dari anak tidak berdaya itu. Mungkin ....

"Terima kasih," bisik Dini lirih, nyaris tidak terdengar.

Bara menoleh ke arah Dini yang berjalan menunduk di sampingnya. Dahi pria itu sedikit mengernyit, lalu melihat ke sekitar. Mungkinkah perempuan di sebelahnya merasa risih dengan tatapan orang-orang yang kebetulan lalu lalang?

"Untuk apa?" tanya Bara.

Dini terdiam, lalu menggeleng dengan sebuah senyum getir tersembul dari bibirnya yang sedikit basah. Rupanya perempuan itu sempat memoles wajahnya sebelum pergi ke rumah sakit, meski hanya sekedar poles tipis.

"Apa selama ini kamu melakukannya sendiri?" tanya Bara, makin penasaran.

"Tidak selalu," jawabnya pelan, "Mas Reno terlalu malu untuk menerima Alika sebagai putrinya," lanjutnya.

"Itu tidak benar. Reno ... bukan orang seperti itu. Dia sangat mencintai kalian," sahut Bara dengan suara datar.

Ia tahu bagaimana sepak terjang Reno di masa lalu, tapi bukankah setiap orang akan berubah? Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Bara saat ini.

"Dulu mungkin iya. Entah sekarang," sahut Dini lirih, tapi dengan sedikit gelak kecil.

Bara kembali mengernyitkan dahi. Bisa-bisanya perempuan itu tertawa sementara ada bulir bening yang merembes di ekor matanya? Meski ia dengan cepat menyeka air mata, tapi bekas basah di kedua kelopaknya jelas tertinggal.

--