Setelah melakukan reservasi ulang, mereka harus duduk di ruang tunggu untuk mengantri. Sebenarnya Bara bisa saja meminta pihak rumah sakit untuk didahulukan--lewat jalur dalam tentunya--tapiia tidak melakukannya karena Dini menolak.
Di antara pasien yang menunggu giliran, Bara masih berdiri di belakang kursi roda. Sementara Dini sudah duduk manis di bangku yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit.
"Bukankah Bapak harus menemui teman di rumah sakit ini?" tanya Dini.
"Ya?! Oh, i-iya. Biar nanti saja. Aku bisa menemuinya nanti," jawab Bara gelagapan.
Dokter Mahen belum pulang dari liburannya, tentu saja ia hanya beralasan agar bisa mengantar perempuan itu datang ke rumah sakit ini. Pria itu mengangguk dan mulai mengatur jawaban agar tidak membuat Dini merasa telah dibohongi.
"Kau yakin tidak apa-apa kalau aku pergi sebentar?" tanya Bara, sembari melihat beberapa pasien lain yang juga sedang mengantri.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah terbiasa begini. Oh, iya, nanti biar kami pulang naik taksi saja, Pak." Dini berdiri, lalu memutar perlahan kursi roda Alika agar Bara tidak lagi memeganginya.
"Tidak. Aku akan pergi sebentar untuk menemui temanku, lalu ke sini lagi untuk kalian. Pulanglah denganku nanti," ucap Bara.
"Tapi--"
"Aku pergi dulu. Dah, Alika! Om pergi sebentar, ya." Pria itu masih sempat menyentuh pucuk kepala Alika sebelum pergi.
Dini hanya diam, lalu melihat ke pasien lain yang beberapa tampak cuek, tapi ada juga yang sedang memperhatikan mereka. Perempuan itu hanya mengangguk, kemudian tersenyum saat mendapatkan sikap ramah yang sama.
Bara masih sesekali menoleh ke belakang dan melihat mereka dari kejauhan. Hingga kemudian pria itu berhenti di salah satu kursi tunggu di depan bangsal kamar rumah sakit. Ia duduk, menghela napas dalam-dalam sembari mengeluarkan ponselnya.
"Aku bisa benar-benar gila kalau begini, Hen," ucapnya lirih, saat telah terdengar sahutan dari dalam ponsel.
"Kenapa lagi?"
"Kau tahu? Aku bertingkah bodoh hari ini. Benar-benar bodoh hanya karena ingin bersamanya, Hen."
"Bersamanya? You mean, sleep with her?"
"Tidak! Bukan seperti itu maksudku. Ini lain," jawab Bara, seraya mengusap wajahnya dengan tangannya yang lain.
"Oh, ya? So ... it's not about seks? Oke ...."
"Aku juga tidak tahu apa yang terjadi, Hen. Entah kasihan atau apalah aku pun tidak tahu. Tapi yang jelas, aku ingin dia mau berbagi sedikit penderitaannya itu. Ngerti nggak maksudku?"
"Ehemm!? Berapa usianya?"
"Entahlah. Kurasa lebih muda dari Sonya. I think, but ... not sure," jawabnya pelan.
"Cantik?"
"I don't know. Dia masih cukup cantik, meski sepertinya hampir tidak pernah mengurus dirinya sendiri. Dia memiliki anak dengan kebutuhan khusus, dan saat ini mungkin hanya menunggu waktu saja," ujarnya, sembari mengembuskan napas dengan berat.
"Oh, oke. Cancer?"
"Mungkin. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh. Perempuan itu bahkan pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya."
"Oh, Tuhan! Dia melakukan itu?"
"Hemm, dan bukan sekali. Suaminya bilang, dia pernah melakukan itu sebelumnya. Mungkin dia mengalami depresi," ujarnya.
"Are you oke, Bar? Kurasa ... kau sebaiknya menjauh dari perempuan itu. Akan lebih baik jika kau tidak terlibat dalam kehidupannya."
Bara terdiam sebentar, lalu memindahkan ponsel ke sisi telinganya yang lain. Jika saja sedang tidak berada di rumah sakit, ia mungkin sudah mengeluarkan bungkus rokok dari dalam kantung celananya.
"Aku berbohong padanya, ada janji temu denganmu di sini," bisik Bara.
"Kau di rumah sakit?"
"Tentu saja. Saat ini dia sedang duduk mengantri bersama pasien lain di sana, dan aku terpaksa pergi agar dia tidak curiga."
"Dokter siapa? Katakan padaku, biar nanti aku bantu agar tidak terlalu lama kau berada di sana. Dasar kau!"
Bara terkekeh, lalu menyebutkan nama anak dari istri temannya itu pada dokter pribadinya tersebut beserta nama petugas medis yang menangani. Tidak berapa lama, ia pun mengakhiri panggilan dan saat itu juga ada notifikasi pesan masuk dari Reno.
'Makasih, Bro. Sudah mengantar istri dan anakku ke rumah sakit. Aku sudah selesai meeting, tapi sepertinya harus lanjut di salah satu restorant satu jam lagi. Kukirimkan alamatnya, nanti nyusul, ya.'
Bara hanya melihat sekilas alamat yang terkirim di bawah pesan sebelumnya, tapi kemudian mengabaikannya tanpa membalas.
"Bisa-bisanya kau biarkan dia mengurus semunya sendiri, Ren. Tega, kamu!" gumam pria itu dengan suara tertahan.
Cukup lama Bara termenung di tempat itu, lalu berdiri dan menguatkan hati untuk terus melangkah menemui Dini dan anaknya yang kemungkinan besar sudah mendapatkan giliran untuk check-up.
Benar saja, saat tiba kembali di ruang tunggu, ia tidak melihat mereka berdua. Akhirnya ia memilih untuk duduk menunggu, tanpa berniat untuk menyusul perempuan itu dalam ruangan pemeriksaan.
"Pak! Bangun, Pak! Bangun ...."
Suara itu membuat Bara tersentak, lalu membuka matanya dan kembali terkejut saat melihat Dini beserta anaknya yang tersenyum tipis saat menatapnya.
"Oh! Apa aku tertidur di sini?" sahut pria itu, seraya mengusap rambut di kepalanya.
Beberapa pasien tunggu terlihat menahan senyum saat melihatnya. Begitu pula Dini yang mencoba menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Pria itu hanya pasrah dan ikut tersenyum, sembari berdiri dan mengambil alih untuk mendorong kursi roda.
"Biar aku saja," ujarnya.
Dini tidak lagi menyela, hanya membiarkan lelaki berpenampilan sanyai itu berjalan mendahuluinya seperti saat mereka datang. Tetapi kemudian, Bara melambatkan langkah hingga kini mereka berjalan berdampingan.
"Kenapa Bapak repot-repot menunggu kami?"
"Oh! Aku ... bebas hari ini. Jadi punya banyak waktu luang," jawabnya.
"Begitu, ya?" Dini mengangguk, seolah menyadari posisi pria yang merupakan teman sekaligus bos dari suaminya itu.
"Bu Sonya ... juga sangat baik pada kami. Benar-benar tidak enak karena selalu merepotkan--"
"Simpan saja kata 'terima kasih'mu itu. Aku tidak ingin mendengarnya lagi," sela pria itu, memotong kalimat Dini yang belum selesai.
"Ohh ...." Dini mengangguk, lalu menggigit bibirnya agar tidak lagi berkata-kata.
Sebenarnya, ada sedikit ketakutan dalam hati perempuan saat berada di sekat pria asing yang kini berjalan di sebelahnya. Beberapa pikiran mulai memenuhi benak di kepalanya.
"Bolehkah saya bertanya?" tanya Dini, setelah mereka hanya saling diam untuk beberapa saat, lumayan lama.
"Soal apa?" sahut Bara, sambil terus berjalan pelan agar langkah mereka seimbang.
"Apakah ... Mas Reno sudah menjual saya pada Bapak?" tanya perempuan itu dengan suara yang lirih dan bergetar.
Seketika langkah kaki Bara terhenti. Mau tidak mau, Dini pun ikut menahan langkah dan sedikit berputar hingga mereka kini saling berhadapan.
"What!?" Bara menatap perempuan di depannya itu dengan perasaan yang sudah campur aduk.
"Apa yang sudah Mas Reno janjikan pada Bapak, sebagai imbalan untuk semua yang sudah Bapak berikan pada kami?" Dini masih melanjutkan pertanyaannya, masih dengan lirih yang sama.
--