Bara terbangun oleh suara bising dari lantai bawah. Seperti ada orang yang sedang bercakap-cakap, lalu sesekali disusul oleh gelak tawa. Pria itu mengamati ujung tirai yang bergerak akibat tertiup angin dari jendela yang terbuka. Sudah pagi, dan Sonya telah meninggalkan kamar tanpa membangunkannya.
Selesai membersihkan diri di kamar mandi dan berganti pakaian santai, Bara bergegas turun. Hari libur biasanya ia pergi ke tempat fitnes, tapi sahabatnya berencana datang. Benar saja. Ia dapat melihat So nya yang sedang berbincang santai dengan sahabatnya itu, saat menuruni tangga.
"Halo, Bos. Selamat pagi!" sapa Reno, begitu melihat kedatangan Bara.
"Hai! Kapan datang, Ren?" sahutnya.
Kedua pria itu berpelukan sebentar, lalu kembali duduk di sofa. Ada empat cangkir minuman di meja, tapi Bara tidak melihat orang lain, kecuali Reno dan Sonya, istrinya.
"Loh! Istri kamu mana? Nggak diajak?" tanya Bara, menyandarkan punggung. Ia duduk bersebelahan dengan sang istri.
"Ada. Lagi di kamar mandi," jawab Reno. Wajah pria terlihat tak nyaman, sambil terus melihat ke arah belakang.
"Oh, iya. Kita sarapan dulu, yuk! Kalian pasti belum sarapan, kan? Kebetulan tadi aku bikin bubur ayam, loh." Sonya mencoba membuat mereka nyaman.
Reno memang terlihat gelisah, dan itu lebih membuat Bara semakin tidak mengerti. Sikap Sonya pun, seperti sedang berusaha mengalihkan perhatian Bara yang akhirnya urung untuk bertanya.
Brakk!!
Mereka saling pandang, sontak menoleh ke arah sumber suara yang terdengar dari dapur belakang. Tidak berapa lama, Reno terlihat berlari meninggalkan Bara dan istrinya yang hanya saling pandang.
"Ada apa, sih?" tanya Bara.
Bukannya menjawab, Sonya malah meraih lengan sang suami dan memberi isyarat dengan jarinya yang ditempelkan ke bibir bergincu peach itu.
"Papa jangan kaget, ya. Pokoknya nanti, kita harus bisa jaga perasaan mereka," bisiknya.
"Apaan? Mama lagi ngomong ap--pa ...." Bara menggantung ucapannya, saat melihat bayangan Reno yang datang dari arah dapur.
"Kasihan ya, Pa ...." Lirih, Sonya berbisik pada suaminya yang hanya diam mematung, saat memandangi bocah kecil duduk terkulai yang berada di atas kursi roda.
"Sorry, Bar. Aku belum mengatakan keadaan kami yang sebenarnya," ucap Reno, saat telah sampai di depan mereka.
Belum sempat Bara menyahut, ia kembali menangkap bayangan orang yang datang dari sudut mata. Kali ini ia lebih terkesiap dengan sosok mungil yang telah berdiri di samping Reno, dengan sebuah tote-bag berwarna hitam menggantung di bahunya.
"Kenalin, Bar. Ini istriku." Reno memperkenalkan perempuan di sebelahnya.
"Halo. Saya Dini," sapa pemilik rambut ikal yang dijepit ke atas dengan seadanya.
"Bara," balasnya datar, sembari menyambut uluran tangan istri sahabatnya itu.
"Duduk, yuk! Atau ... mau langsung sarapan?" tanya Sonya, mencairkan kekakuan yang mulai terlihat di antara mereka.
"Boleh. Kebetulan ... aku juga belum sarapan," jawab Reno.
Bara tidak banyak bicara, tapi ia mengangguk dan berjalan mendahului mereka menuju ke meja dapur. Mendadak ia tidak memiliki bahan pembicaraan.
"Duluan saja, Mas. Aku jagain Alika dulu." Lirih, tapi suara serak itu sempat terdengar jelas di telinga Bara.
Ternyata Dini memilih untuk tidak ikut bergabung di meja makan. Ia tetap di ruang tamu, menjaga putri mereka yang hanya duduk diambtak berdaya di kursi roda. Sonya pun tidak banyak bicara selama menyajikan mangkuk-mangkuk berisi bubur untuk mereka.
"Kalian ... pasti kaget melihat keadaan putriku, kan?" ucap Reno tiba-tiba.
"Kita sarapan dulu. Mumpung masih hangat," ucap Sonya, mengabaikan perkataan Reno yang merasa bersalah.
Bara sama sekali tidak bersuara dan mulai menyantap bubur hangat itu sesuap demi sesuap. Begitu pun Sonya, meski sesekali ia mencuri lihat ke arah Dini yang masih berada di ruang tamu. Sadar dengan kebungkaman sahabatnya, Reno memutuskan untuk tidak berbicara lagi.
"Kalau sudah selesai, bergantianlah dengan istrimu. Dia juga harus sarapan," gumam Bara, sesaat setelah ia menyelesaikan sarapannya.
Reno terhenyak, lalu menatap sahabatnya yang telah berdiri dan meninggalkan meja makan. Sonya pun hanya tersenyum dan mengangguk, tanda setuju dengan apa yang baru saja diusulkan oleh suaminya. Tanpa menunggu lama, Reno segera menemui Dini yang sedang memberikan susu pada putri mereka dengan sabar.
"Kamu sarapan dulu, sana! Biar aku yang memberinya susu," ucap Reno.
"Aku tidak lapar, Mas."
"Jangan membuatku malu di depan mereka!" tukasnya dengan sedikit penekanan di ujungnya.
Perempuan itu mendongak, lalu berdiri dan memberikan dot berisi cairan susu hangat itu pada suaminya. Perempuan itu pun langsung menuju ke meja makan, saat melihat kedatangan Bara. Ia datang dengan membawa sebuah papan catur yang masih terlipat.
"Siapa namanya?" tanya Bara, seraya meletakkan alat permainan dari papan kayu itu disudut meja. Diperhatikannya sang sahabat yang kini duduk berjongkok di depan kursi roda.
"Alika," jawab Reno datar.
"Cantik." Bara menggumam, terdengar dekat.
Saat itulah Reno menyadari kalau sang sahabat telah berada tepat di belakangnya. Entah kenapa, ada rasa malu yang menyergap dan membuatnya reflek berdiri, seraya memutar kursi roda sehingga posisinya membelakangi Bara.
"Apa ... ini mengganggumu?" tanya Reno, dengan sorot mata yang terlihat putus asa.
"Ngomong apa kamu, Ren. Diminum tehnya," sahut Bara. Sikapnya terlihat tenang saat menyesap minuman hangat itu.
Reno menghela napas, lalu kembali duduk di sofa dan mengambil cangkir teh setelah mengisinya kembali dari poci kaca berbentuk bulat. Dalam dadanya kini bercampur aduk, malu, marah, kesal sekaligus merasa sangat bersalah. Seandainya Alika terlahir normal seperti anak-anak yang lain, pasti keadaannya tidak akan seperti sekarang.
"Aku ... belum ada pekerjaan yang cocok di kantor. Jadi untuk sementara, kamu bisa bawa mobilku," ucap Bara.
"Serius, Bar?" tanya Reno tak percaya.
"Asal kamu tidak keberatan," jawab Bara.
"Enggaklah. Thank you banget, Bar. Kapan aku bisa mulai kerja?"
"Secepatnya."
"Oke, siap!" jawab Reno dengan senyum semringah. Ia melihat dari kejauhan, sang istri masih menyantap sarapan sambil sesekali berbincang dengan Sonya.
"Oh, iya. Rumahku yang di sebelah itu kan, kosong. Kalau kamu mau, kalian bisa tinggal di sana dari pada nge-kost. Kasihan anakmu. Di kost-an kan ramai, pasti dia kurang tidur dan istirahat," ungkap Bara dengan enteng.
"Kamu tidak sedang bercanda kan, Bar?" cecar Reno, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Sebenarnya ini usul dari istriku, Ren. Rumah itu dulunya milik tetangga. Karena satu alasan, mereka menjualnya padaku."
"Kamu beruntung, Bar. Sonya itu cantik, pintar, Benar-benar istri pembawa hoky. Beda jauh denganku," celetuknya.
Bara terdiam. Jadi selama ini, Reno menganggap istrinya sebagai pembawa sial. Lalu bagaimana dengan keberadaan anak mereka yang diberi keistimewaan oleh Tuhan.
--