Reno menutup pintu kamar rawat, lalu berjalan gontai mendekati Bara yang duduk di bangku tunggu. Pria yang tampak berantakan itu memilih tetap di luar, meski sempat melongok sebentar dari kaca jendela untuk melihat ibu dan anaknya terbaring berdampingan.
"Maaf, Bro. Sudah sangat menyusahkanmu," gumam Reno, terdengar lesu.
"Nggak apa-apa. Santai saja," sahut Bara datar, sembari menyandarkan punggung. Sesekali, ia melirik wajah sahabatnya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran, murung.
"Kadang ... rasanya ingin menyerah saja, Bro. Dua tahun terakhir, makin susah untuk kuhadapi," keluhnya lirih.
Bara menghela napas, masih belum mengerti dengan kejadian beberapa saat yang lalu. Kenapa tubuhnya langsung bereaksi tak terduga saat bersentuhan dengan istri sahabatnya? Bukankah hal seperti itu tidak terjadi ketika kali pertama mereka bertemu? Kemungkinan itu efek kelelahan karena ia terlalu banyak pekerjaan. Berkali-kali Bara meyakinkan diri dengan alasan yang menurutnya masuk akal.
"Sudah berapa lama anakmu sakit, Ren?" tanya Bara kemudian.
"Sejak lahir, mungkin juga dari dalam kandungan. Ibunya dulu pernah demam tinggi dan sempat beberapa kali kejang saat hamil. Aku tidak tahu bahasa medisnya apa, tapi begitu lahir sudah sering sakit-sakitan. Dokter pernah bilang, kecil kemungkinan untuk dia bisa bertahan hingga usia sepuluh tahun. Entahlah," jawabnya.
Bara merangkulnya sahabatnya, mencoba menguatkan dengan cara menepuk-nepuk bahu tegapnya. Bukan perkara mudah untuk berada di posisi Reno saat ini, dan yang lebih membuatnya salut adalah sikap easy-going pria itu hingga pintar menyembunyikan suasana hatinya.
"Aku tidak tahu, ternyata bebanmu begitu besar, Ren. Maaf, ya. Cuma bisa bantu do'a," ucapnya.
Reno terdiam, menahan perasaan yang campur aduk dalam dada. Ia tidak tahu harus berterima kasih seperti apa pada sahabatnya itu. Sudah emberinya tempat tinggal, menjanjikan pekerjaan, bahkan menjamin biaya perawatan istri dan anaknya.
"Istrimu ... baik-baik saja, kan?" tanya Bara, tanpa sadar.
"Makin membaik. Sepertinya dia kelelahan dan hanya perlu di-infus," jawabnya.
Bara mengangguk lega, lalu melihat arloji di tangan. Karena saat ke rumah sakit ia buru-buru, ternyata lupa membawa ponsel dan kemungkinan melewatkan beberapa panggilan penting. Pada saat seperti itu, Selvi sang sekretarisnya yang akan mengambil peran dan menyelesaikan segala urusan kantor.
"Aku pergi dulu, ada urusan. Bawa saja mobilnya."
"Terus, kamu gimana?"
"Aku bisa naik taksi. Kabari kalau kamu perlu sesuatu, ya."
"Oke. Thank you, Bro," sahut Reno, saat menerima kunci mobil yang diberikan oleh Bara.
"Hmm." Bara mengangguk, lalu berlalu meninggalkan sahabatnya yang sepertinya harus bermalam di rumah sakit.
Bara tidak langsung pulang ke rumah, tapi menuju ke kantor. Sampai di sana, ia melihat ada beberapa karyawan yang bekerja lembur. Tidak terkecuali Selvi, sang sekretaris yang langsung menyuguhkan secangkir kopi hangat padanya.
"Makasih," gumam Bara, sembari menyesap minuman beraroma khas itu dua teguk.
"Istri Bapak barusan menelepon. Katanya suruh kasih kabar kalau Bapak datang ke kantor," tutur wanita cantik itu.
Bara tidak menanggapi perkataan Selvi. Ia hanya menghela napas dan mengamati lekuk tubuh sintal sang sekretaris yang sesekali memunggunginya. Berjalan mondar-mandir untuk sekadar mengambil dokumen atau meng-copy di sudut ruangan.
"Bisakah kau kemari?" pinta pria bermata coklat itu dengan suara yang parau.
Selvi menoleh menatap bos-nya yang duduk bersandar di kursi, memandang dengan sayu penuh arti. Ia pun membalas dengan senyuman yang paling manis.Ini bukan kali pertama ia memenuhi keinginan Bara untuk melakukan sesuatu di luar pekerjaan kantor. Sudah bukan rahasia lagi, semua karyawan pun tahu jika sang bos memiliki affair dengan sekretarisnya.
"Kenapa, Pak?" tanya Selvi, ingin memastikan lagi.
"Cepatlah ...." Suara Bara terdengar merajuk, seolah tak sabar untuk mendapatkan keinginannya dengan segera.
"Sebentar, Pak. Saya kunci pintu dulu," sahut Selvi, sembari berjalan menuju pintu ruangan dan menguncinya.
"Cepatlah! Puaskan aku," gumam Bara, yang kini duduk menyandar dan membuka kakinya lebar-lebar.
Selvi belum bersuami, tapi untuk urusan bercinta dia cukup piawai dan mampu memuaskan Bara. Ia bukannya tidak tahu tentang resiko dari perbuatannya, tapi wanita itu tak perduli. Gayung bersambut, meski sadar dengan cibiran orang lain, tapi toh, ia mendapatkan banyak keuntungan dari kepuasan yang dia berikan.
"Buka!" pinta Bara yang mulai tidak bisa menahan hasratnya. Terlebih saat wanita bertubuh seksi itu berjalan mendekat sembari membuka kancing bajunya satu persatu.
Sayup mata terlihat nyalang saat mendapati pemandangan indah nan aduhai tepat di depan mata. Begitu pula sang bunga yang meliuk lembut tanpa canggung. Bergerak lincah lagi rancak, beraksi di pangkuan sang kumbang yang makin tenggelam dalam surga kenikmatan.
--
Sonya tersenyum saat melihat sebuah mobil berwarna hitam memasuki halaman rumah. Ia berdiri dan menyambut kedatangan sang suami, setelah Selvi memberitahu kalau bos-nya itu sedang dalam perjalanan pulang dari kantor.
"Malam, Pa." Sebuah kecupan mendarat di pipi kiri pria yang terlihat lesu itu.
"Belum tidur?" sahutnya, membiarkan sang istri mengapit lengannya, berjalan bersama.
"Reno bilang kamu sudah pergi dari rumah sakit sejak sore, makanya tadi mama hubungi Selvi di kantor."
"Ponselku tertinggal waktu mengantar mereka ke rumah sakit. Terus, gimana? Reno bilang apa soal anaknya?"
"Ya ... gitu. Mungkin belum dibolehin pulang dalam waktu dekat. Mama bingung deh, Pa. Sebenarnya anak mereka sakit apa, sih? Apa masih ada harapan untuk sembuh?"
"Tidak ada yang tidak mungkin, Ma. Kita doakan saja yang terbaik. Aku mandi dulu. Gerah!"
"Hu-um. Mama seduhin teh, ya."
Bara melepaskan jas dengan dibantu oleh sang istri yang langsung memegangnya. Pria itu bergegas naik ke atas, sementara Sonya ke meja dapur untuk membuatkan minuman hangat.
Sejenak, wanita itu terdiam dan menghela napas. Diperhatikannya jas yang tersampir di lengannya, lalu mendekatkan ke hidung. Sonya hapal betul aroma parfum suaminya, dan yang tercium saat ini bukanlah miliknya. Melainkan parfum seorang wanita yang kebetulan juga, ia tahu siapa pemiliknya.
"Si Jalang itu lagi," gumamnya, sembari menghempaskan jas berwarna biru itu di meja makan.
Sonya sudah lama mengetahui hubungan gelap Bara dengan sekretarisnya. Sebagai seorang istri, hatinya sangat terluka. Tetapi Selvi bukanlah satu-satunya wanita yang dikencani oleh Bara. Ia tidak bisa menghentikan kebiasaan buruk sang suami, tapi setidaknya pria itu tidak pernah meninggalkannya.
"Sampai kapan kamu akan terus seperti ini sih, Pa? Apa harus dibikin layu dulu biar kamu jera!?" gerutunya, kesal.
Wanita itu mengatur napas dan mencoba untuk tersenyum. Kecantikan yang ia dapatkan bukanlah tanpa pengorbanan, dan ia tidak akan membiarkan masalah itu menghancurkan semua usahanya. Ia hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk bisa membuat sang suami menyesal telah berbuat curang di belakangnya.
--