Chereads / She Called Me "Om Jae" / Chapter 7 - Selamat datang sobat

Chapter 7 - Selamat datang sobat

Riki tidak menjawab pertanyaan ibunya, tapi langsung melompat turun dari tempat tidur seraya menyambar benda yang dipegang oleh wanita yang sangat menyayanginya itu.

"Seharusnya Mama tidak menyentuh barang-barang pribadiku," gumamnya.

"Jelaskan dulu sama mama, apa yang kamu lakukan semalam?" tanya Sonya, masih dengan suara yang bergetar menahan emosi.

"Bukan urusan Mama. Lagi pula aku bukan anak kecil lagi," jawabnya sembari menutup pintu kamar mandi dengan keras.

Hentakan suara pintu seolah gambaran perasaan yang kini melingkupi hati Sonya. Ia hanya tahu kenakalan sang anak yang senang balap liar bersama teman-teman genk-nya, tapi untuk melakukan sesuatu yang kebablasan seperti ini sungguh membuatnya terguncang.

Sonya menghela napas, lantas berbalik menuju pintu sembari memijit keningnya sendiri. Putra kecilnya yang manis dan penurut, kini menjelma menjadi Bara muda yang mulai tidak bisa ia kendalikan. Entah kejutan apa lagi yang akan membuatnya syok di kemudian hari.

"Pagi, Bu," sapa Mbak Pur, saat melihat majikannya menuruni tangga. "Mau saya buatkan teh hangat?" tanya perempuan bertubuh gemuk itu.

"Tidak, Mbak. Aku butuh sesuatu yang lebih dingin," jawabnya, sembari menggeleng.

Mbak Pur hanya mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya membersihkan rumah. Sesekali ia melirik sang majikan yang kini berjalan ke meja bar kecil di dekat kursi tamu, mengambil sebotol wine dari dalam lemari es.

"Pagi-pagi sudah minum. Kebiasaan orang kaya memang sangat aneh," gumamnya lirih, sambil terus menyisir setiap jengkal lantai dan sudut ruangan yang harus ia bersihkan dari debu dan kotoran.

--

Dini masih terus memperhatikan wajah anaknya yang masih tertidur dengan lelap. Tangan mungilnya memeluk sebuah boneka bear berwarna coklat, pemberian suster. Tidak ada lagi jarum infus yang menancap di pergelangan, hanya sebuah plester bening yang menutup secuil kapas di bekas tertancapnya jarum.

"Sudah siap?" tanya Reno yang baru saja muncul dari pintu.

"Alika masih tidur, Mas," jawab Dini, seraya menoleh ke arah suaminya.

"Bangunkan!" sahutnya singkat.

Dini terdiam, lalu menghela napas dan bangkit dari duduknya. Sikap Reno memang sudah lama berubah. Tidak ada lagi Reno yang dulu sangat menyayanginya, memujanya bahkan bucin-nya yang dulu telah menghilang setelah kehadiran Alika yang memang terlahir 'istimewa'.

"Ke mana kita akan pulang, Mas?" tanya Dini lirih. Ia mendorong kursi roda milik Alika, lalu mendekatkannya ke ranjang di mana putrinya terbaring.

"Mereka sudah memberikan kita tumpangan. Memangnya mau ke mana? Balik ke kost-an? Kamu tahu nggak, berapa sisa uang yang kita miliki?" jawab Reno tak mampu menahan kesal, meski ucapannya tidak terlalu keras.

Awalnya ia hanya memandangi istrinya yang dengan sabar mencoba membangunkan putri mereka. Reno tidak ingin jika ada suster atau pun perawat datang untuk membantu mereka. Bukan karena ingin kabur, pasalnya semua biaya memang sudah tertanggung oleh Bara sebelumnya. Hanya saja ia tidak ingin semakin banyak orang tahu tentang kondisi anaknya yang tidak sempurna. Akhirnya ia pun turun tangan dan mengangkat tubuh kurus Alika yang sudah mulai terjaga dari tidurnya, meletakkannya di kursi roda.

"Pelan-pelan, Mas," pinta Dini dengan cemas.

"Kau pikir aku tidak punya hati?" tanya pria berbadan tegap itu.

Dini tidak menyahut, malas bertengkar dengan ayah dari putrinya itu terlalu jauh. Ia tahu, Reno tidak akan pernah kehabisan kata untuk terus membalikkan semua ucapannya. Pertengkaran demi pertengkaran sudah terlalu sering terjadi, hingga pada akhirnya ia pun merasakan seperti orang yang mati rasa.

"Ingat, ya! Jangan membuatku malu di hadapan mereka!" ancam pria itu, tepat di telinga sang istri.

Dini tidak menyahut, hanya membenarkan posisi duduk Alika agar lebih nyaman saat bersandar. Tubuh gadis kecil itu jauh lebih mungil dari anak-anak seusianya. Meski kehilangan kemampuan berjalan atau pun berbicara, tapi ia masih bisa mendengar dan merasakan setiap emosi dari kedua orang tuanya.

"Tolong pelankan suaramu, Mas. Kau hanya akan membuatnya semakin membencimu," gumam perempuan itu lirih, seraya mendorong kursi roda dengan perlahan.

Reno terdiam, lalu mengikuti langkah istrinya dengan perasaan yang berkecamuk. Ia memang merasa malu, tapi sebagai seorang ayah, tetap ada rasa sayang yang terselip di antara semua kekecewaan yang ia rasakan.

Satu-satunya hal yang ia sesali adalah, membiarkan rasa malu mengalahkan semuanya. Mmpi dan harapan seketika musnah ketika dihadapkan dengan keadaan sang putri yang sungguh jauh dari bayangan.

Sepanjang perjalanan menuju kediaman rumah sahabatnya pun dia antara mereka tak jua mencair. Baik Reno maupun Dini sama-sama tenggelam dalam diam, sementara mobil terus melaju dengan kecepatan sedang menyusuri jalanan kota. Pandangan mata perempuan itu jauh menatap ke luar, dengan tangan yang terus menggenggam jemari sang putri yang tampak pucat dan keriput.

"Halo! Selamat datang ke rumah, Alika cantik ...." Sonya menyapa ramah, saat mereka telah tiba di halaman rumah.

Rupanya wanita cantik itu telah membersihkan rumah yang akan mereka tempati, selama tiga hari harus menginap di rumah sakit. Barang-barang yang sebelumnya menumpuk di dalam pun, kini sudah diatur sedemikian rupa sehingga lebih leluasa untuk ditinggali.

"Terima kasih banyak, Kak Sonya. Maaf, sudah merepotkan," ucap Dini, saat memeluk erat Sonya.

"Nggak apa-apa, Din. Aku yang harusnya makasih karena kamu mau tinggal di sini. Jadi aku ada teman buat ngobrol," sahutnya lembut.

Reno membiarkan keduanya berjalan masuk, sambil mendorong Alika yang baru saja ia pindahkan ke kursi roda. Sementara dia sendiri pamit ke kost-an untuk berbenah karena belum sempat mengemasi semua barang-barang milik mereka.

"Kalian baik-baik saja, kan?" tanya Sonya tiba-tiba, saat mereka telah duduk di kursi tengah dan minum teh yang telah dipersiapkan lebih dulu.

"Mm-maksudnya?" tanya Dini, tidak mengerti dengan pertanyaan sang pemilik rumah.

"Maksudku ... hubungan kalian selama ini. Apa kalian baik-baik saja?" ulangnya, dengan tatapan mata yang penuh rasa iba.

"Kami ... baik-baik saja, Kak," jawab Dini, sedikit gugup. Ia terus saja menyesap teh-nya untuk menutupi rasa gugup yang kini membuatnya menggigil. Jangan-jangan wanita berkelas itu sudah tahu tentang keadaan pernikahannya yang telah lama tidak lagi sehat.

"Kamu tahu? Suamiku sering sekali bermain perempuan di luar sana. Orang selama ini melihat kami baik-baik saja. Saat ini aku hanya bisa menonton, tapi suatu saat nanti pasti aku balas semua perbuatan curangnya itu."

Dini termangu. Ia tidak menyangka kalau kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir yang berpoles gincu warna maroon. Rasanya terlalu sembrono jika seseorang lansung berterus terang tentang hal pribadi kepada orang lain. Apalagi mereka belum lama saling mengenal.

"Aku ...."

"Apa kamu pernah selingkuh?" tanya Sonya lagi, dan kali ini sepasang mata Dini semakin membulat saat mendengarnya.

--