Senandung kecil dengan suara yan parau, bahkan sesekali tidak terdengar karena terlalu serak dan kondisi tubuh yang lemah. Dini terus menepuk-nepuk lembut paha sang anak yang sempat rewel dan tak kunjung tidur setelah terbangun hampir satu jam yang lalu.
"Temani aku!" Suara itu terdengar dari pintu. Benar saja, Reno telah berdiri dan menatapnya seperti kucing lapar.
"Aku capek, Mas," jawab Dini lirih.
"Sebentar saja, Din. Sudah lama kau tidak menemaniku dan selalu tidur dengannya setiap malam!" sahut Reno, masih dengan suara yang di pelankan.
"Tapi Mas--"
"Kau mau aku melakukannya di sini?" tukasnya dengan sorot mata mengancam.
Dini terdiam, lalu menatap wajah Alika yang kini telah tertidur kembali. Entah kapan kali terakhir ia melayani suaminya tidur. Keadaan yang sulit dan seringnya mereka bertengkar nyaris membuat hubungan mereka merenggang dan semakin buruk setiap harinya.
"Cepatlah! Sebentar lagi pagi," gumam Reno, seraya berbalik pergi.
Hasrat perempuan itu telah sirna sejak lama. Tiada lagi gairah menggebu seperti dulu, saat sebelum kehadiran Alika yang bak mencipta pembatas kaca di antara mereka berdua.
"Din ...!" panggil Reno dari kamar sebelah.
Perempuan itu segera tersadar dari lamunan, lalu bangkis dan berjalan dengan pela menuju kamar sebelah. Ia dapat melihat sang suami yang telah bersiap menunggunya di atas tempat tidur.
"Tutup pintunya!" pinta Reno lirih, sembari mengusap-usap sesuatu di balik celana sementara tangannya yang lain menatap lekat ke layar ponsel.
Dini menghela napas, kesal dengan sikap Reno yang tak juga meninggalkan kegemarannya yang sering menonton video mesum.
"Sudah kubilang untuk tidak melakukan itu saat berada di dekat Alika. Anak kita sedang sakit, Mas. Dia sedang sekarat!" keluh Dini, terdengar sangat putus asa.
Reno menoleh, menatap istrinya yang hanya berdiri saja setelah menutup pintu tanpa segera bergegas mendatanginya. Lelaki yang hanya mengenakan boxer itu meletakkan ponsel di meja begitu saja, lalu bangkit dan menarik tangan sang istri.
Dini tidak menolak atau pun memberontak saat tiba-tiba tubuhnya terhempas di atas tempat tidur. Tangan Reno langsung melucuti pakaian perempuan itu hingga tak menyisakan selembar penutup satu pun yang menutupi tubuh polosnya.
"Matikan lampunya. Tolong!" pinta Dini, seraya memalingkan wajah ke arah dinding kamar.
Reno tidak menggubris permintaan itu. Ia tidak perduli dengan sikap dingin sang istri yang bahkan tidak bereaksi saat kedua buah mengkal di dadanya diremas.
"Tolong ...." Lirih, Dini mengulangi permintaannya. Tetapi Reno sudah seperti binatang buas yang tak lagi mendengar apa pun selain menuruti hasratnya.
Perempuan itu menutup matanya rapat-rapat, sementara kedua tangan mencengkeram seprei dengan kuat. Ia tahu tentang kewajibannya untuk melayani kebutuhan batin sang suami, tapi entah kenapa hal itu menjadi hal yang tidak lagi ia rindukan sejak lama.
Gerakan tangan Reno terus menjelajah, meremas, memilin bahkan terus bergerak bebas hingga ke bawah sana. Ia tidak lagi perduli dengan sikap diamnya Dini yang tak sedikitpun membalas bisikan-bisikan lembutnya yang telah bergairah.
Dini merasakan bagaimana lahapnya sang suami menyesap dari pucuk dada yang satu ke pucuk yang lainnya. Ia bahkan semakin merapatkan kelopak matanya saat tiba-tiba sesuatu yang keras menerobos paksa di bagian tubuh bawahnya dengan sekali hentak.
"Ouhh!" peliknya lirih, seraya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
Tidak ada kenikmatan yang pernah ia dapatkan seperti dulu, hanya rasa sakit yang luar biasa. Ia bahkan diam mematung saat bibir suaminya terus mengecup dan menyapu seluruh bagian lehernya dengan beringas. Hingga saat lelaki yang tengah mendakinya itu menemukan kedua bibirnya yang terkatup rapat.
Lumatan itu terus mencecar bibir Dini, tidak memberi kesempatan untuk perempuan itu bernapas dengan leluasa. Dengus buas sang jantan seolah berpacu dengan gerakan frontal yang tak kenal ampun rintihan sang betina kian terdengar menyedihkan.
"Sedikit lagi! Sedikit lagi ...." Bibir Reno menggumam di antara desis kenikmatan yang justru sangat tidak ingin didengar oleh perempuan itu.
Hingga akhirnya tubuh yang telah bermandi peluh itu terlihat bergetar dan kemudian terdiam bersamaan dengan lenguh panjang sang kuda jantan. Ia telah mencapai puncak pendakian, tanpa peduli dengan sang pasangan yang justru diam-diam meneteskan bulir bening dari sudut matanya yang terpejam.
"Ughhh!!" Reno kembali melenguh, sembari bergulir ke samping tubuh istrinya yang terdiam. Napas lelaki itu masih terengah, merasakan otot bagian bawahnya yang mulai mengendur dan kelelahan.
Hening.
Menyadari sang suami yang mulai bernapas datar dan teratur, Dini pun bangkit dan beringsut turun dengan perlahan. Diambilnya pakaian dan dalamannya yang teronggok di lantai, lalu berjalan ke kamar mandi dengan tertatih.
Suara air mengucur dari kran yang telah dibuka, menyamarkan isak perempuan yang kini duduk bersimpuh di sudut ruangan kecil itu. Bahu ramping itu terguncang kecil, mengiringi tangis lirih saat ia meringis ketika merasakan perih ketika memercikan air untuk membasuh bagian intimnya.
--
Mbak Pur terlihat sedikit ragu untuk membuka pintu besi yang tidak terkunci itu. Seharusnya ia tidak langsung mengiyakan saat sang majikan memintanya untuk mengantarkan bubur di hari yang masih terlalu pagi.
"Kenapa, Mbak?"
"Eh! Bapak ...." Perempuan berpipi tembam itu terkejut saat mengetahui tuannya sudah berdiri di belakangnya.
"Kenapa? Apa itu?" tanya Bara, sembari mengeringkan sisa basah di rambutnya dengan handuk yang ia lingkarkan di leher.
"Oh! Ibu minta saya untuk mengantarkan bubur ini ke rumah sebelah, Pak," jawab Mbak Pur.
Bara yang baru saja selesai mandi pagi dan berjalan santai di halaman belakang itu membuka tutup rantang yang dibawa oleh Mbak Pur.
"Biar aku saja yang kasihkan, Mbak. Sekalian ada yang harus aku bicarakan sama Reno. Ponselku ketinggalan di atas," ujar pria itu, seraya menarik handuk dari lehernya.
"Tapi, Pak ...."
"Udah, sini!" Bara mengambil alih rantang dari tangan Mbak Pur, lalu meletakkan handuk di pundak sang asisten rumah tangga itu.
"Nanti kalau Ibu nanya gimana, Pak?"
"Bilang saja, aku yang antarkan." Bara menjawab sambil mendorong pintu besi yang menghubungkan kedua halaman rumah itu, lalu menghilang.
Mbak Pur menghela napas, lalu berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah. Ia tidak ingin ambil pusing dengan sikap majikannya yang memang sangat baik hati itu.
"Loh! Kenapa balik lagi?" tanya Sonya, saat mereka berpapasan di dapur.
"Iya, Bu. Mm ... tadi Bapak yang mau anterin buburnya ke rumah sebelah," jawab Mbak Pur dengan hati-hati.
Sonya tampak mengernyitkan dahi, lalu menatap handuk yang dipegang Mbak Pur yang memang milik suaminya.
"Oh, iya. Ini tadi punya Bapak, Bu." Mbak Pur pun langsung menyerahkan handuk beraroma wangi itu pada sang majikan.
"Iya, Mbak. Tolong bangunkan Riki, ya. Suruh dia sarapan," gumam wanita cantik itu, seraya menoleh ke halaman belakang.
--