Chereads / She Called Me "Om Jae" / Chapter 4 - Aroma kehidupan

Chapter 4 - Aroma kehidupan

Dini diam terpaku, tidak tahu harus menjawab apa dan hanya menunduk. Ia tidak melihat kehadiran remaja tampan itu sejak datang pagi tadi, tapi dari apa yang sempat disampaikan oleh Sonya sebelumnya, ia tahu siapa gerangan yang sedang bertanya.

"Mama mana, Mbak?" tanya pemuda itu pada embak yang mengurus rumah.

"Ibu baru saja pergi, Mas," jawab perempuan bertubuh gemuk itu.

"Kamu tamunya Mama atau Papa?" tanya Riki lagi, seraya menuruni anak tangga dengan sedikit berlari dan akhirnya berdiri di depan Dini.

Dini masih belum bisa berkata-kata, terlebih saat sorot mata bocah yang jauh lebih tinggi darinya itu tak berkedip menatap penuh selidik. Terlepas dari sikapnya yang kurang ajar, Dini mencoba untuk menahan diri agar tidak membuat kesalahan dalam menjelaskan keberadaannya di tempat itu.

"Aku--" Belum sempat Dini menjelaskan, terdengar suara tangis yang melengking dari ruang tamu.

Seketika perempuan itu berlari pergi meninggalkan Riki yang masih berdiri di sisi meja makan. Ia bahkan mengikuti dengan pandangan yang terlihat kebingungan.

"Sejak kapan ada tamu di rumah ini, Mbak?" tanya Riki, kemudian menarik kursi dan duduk dengan mengangkat satu kaki.

"Baru datang pagi tadi, Mas. Ibu bilang, mau nempatin rumah yang di sebelah," jawabnya.

"Itu tadi yang nangis siapa? Anaknya?" cecar bocah tampan itu lagi.

"Iya, Mas. Anak mereka ... sepertinya lagi sakit," jawab perempuan yang telah lama bekerja di kediaman orang kaya itu dengan hati-hati.

Merasa penasaran, Riki pun bangkit dan berjalan santai hendak menuju ke ruang tamu. Tetapi di waktu yang bersamaan, ia melihat sang ayah datang bersama seorang pria yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

"Naikkan celanamu!" gumam Bara, saat melihat celana trining sang putra yang sengaja tidak ditali dan nyaris melotot.

"Kamu pasti Riki, kan?" tanya Reno tanpa canggung dan langsung mengulurkan tangan. Meski bingung, remaja berusia lima belas tahun itu tetap menyambutnya.

"Iya. Om siapa?" tanya Riki datar.

"Namaku Reno, teman papamu waktu masih sama-sama di Surabaya," jawab Reno.

"Mas! Tolong kemari sebentar ...." Terdengar suara Dini dari dalam kamar tamu.

Reno tidak menyahut, ia lebih dulu meletakkan tas yang dibawanya di sofa, lalu bergegas menuju arah suara. Bara yang baru saja duduk menyandar di sofa pun hanya mengikuti dengan tatapan mata.

"Bukankah sudah waktunya untuk mendapatkan kartuku kembali?" tanya remaja berkulit bersih itu, memandang ke arah Bara.

Mendengar pertanyaan itu, Bara hanya tergelak kecil dan melihat ke wajah putranya yang sebagian tertutup anak rambut, karena lumayan gondrong.

"Bukannya kamu masih pegang kartu punya Mama?" balas pria bermata coklat itu dengan suara yang berat.

Pemuda yang mewarisi ketampanan ayahnya itu terlihat gelagapan. Ia tidak mengira kalau akan tertangkap basah telah bersekongkol dengan sang ibu. Sudah hampir sebulan, Bara menarik kartu debet Riki setelah insiden kecelakaan yang mengharuskannya mengganti rugi dengan nominal yang cukup besar. Tetapi di saat yang sama, Sonya justru mati-matian membela sang putra, meski dengan cara berbohong di belakangnya.

"Fu*k!" umpat Riki, tidak dapat menyembunyikan rasa kesalnya. Seketika ia berbalik dan bergegas naik ke atas, lalu mengunci kamar.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh Reno yang sudah mendorong kursi roda, sementara di belakangnya, Dini sudah pucat dan berurai air mata mengikutinya. Sekonyong-konyong Bara tersentak saat melihat warna merah di pakaian dan tangan perempuan itu.

"Apa yang terjadi?"

"Aku harus ke rumah sakit sekarang, Bar. Tolong," ucap Reno, sembari mempercepat langkah.

"Iy-ya, iya. Aku antar!" sahut Bara, meski belum sepenuhnya mengerti dengan apa yang terjadi. Meninggalkan seorang perempuan yang berdiri gemetar di dekat meja makan, tak mampu bersuara.

--

Tidak sampai setengah jam, mereka sampai di rumah sakit setelah Bara mengemudi seperti dengan cepat. Ia tidak bertanya, tidak juga mencari tahu situasi apa yang sedang dialami oleh sahabatnya. Satu-satunya yang ia lakukan adalah secepat mungkin tiba di tujuan.

Reno yang memangku tubuh Alika, tidak berhenti memanggil nama putrinya itu. Sementara sang istri kemungkinan telah habis tenaga karena hanya bungkam dan terduduk lemas di sebelahnya.

"Suster! Tolong, Sus!" teriak Reno, saat mobil telah sampai di pintu UGD.

Beberapa petugas kesehatan datang dengan sigap untuk membantu Reno yang turun dengan membopong Alika. Anak itu sudah tidak sadarkan diri saat di perjalanan. Sementara Dini mencoba untuk mengejar suaminya. Tiba-tiba tubuh perempuan itu terkulai lemas, jatuh begitu saja di lantai keramik.

"Astaga!" pekik Bara, yang langsung melompat turun dan berlari mendekati tubuh Dini.

Reno sempat menoleh ke belakang, tapi ia hanya menatap sahabatnya dengan tatapan memohon. Sementara kaki pria itu terus berlari mengiringi laju roda tempat tidur rumah sakit, di mana putrinya kini terbaring.

Bara tidak punya pilihan, selain harus mengangkat tubuh istri sahabatnya yang telah pingsan. Harga dirinya seolah melarang saat ia hendak memanggil petugas lain untuk membantunya membawa Dini.

"Maaf, Ren. Aku harus melakukan ini," gumamnya meletakkan kedua lengannya di bawah tubuh Dini. Ia berdiri dengan hati-hati sambil memeluk erat beban ringan itu, lalu berjalan sedikit cepat.

Mendadak Bara merasakan hawa hangat yang seolah menjalar di sekujur tubuh. Saking dekatnya jarak di antara mereka, Bara bisa melihat seluruh wajah perempuan itu dengan begitu jelas.

Sepasang alis yang tidak beraturan bentuknya, kedua mata terpejam dengan bulu mata basah, batang hidung yang tak mancung, serta bibir mungil yang terkatup rapat, tanpa pemerah.

"Apa ... apaan ini?" gumamnya lirih.

Tanpa ia sadari, langkah kakinya mendadak berhenti. Tubuhnya seolah membeku, tapi berasa terbakar hingga degup jantungnya pun tidak terkendali. Mata pria itu menatap lekat wajah Dini, tanpa berkedip.

"Mari kami bantu, Pak!" seru seorang petugas berseragam putih yang datang menyongsongnya.

Bara tidak menolak saat tubuh Dini kini beralih ke ranjang rumah sakit setelah dua perawat membantunya. Ia bahkan mempersilakan mereka membawa tubuh istri sahabatnya itu dibawa pergi terlebih dahulu.

Sedikit tertatih, pria itu berpegangan dinding rumah sakit dan duduk di bangku besi yang biasa digunakan untuk menunggu pasien. Belum pernah ia segemetar ini, tubuh terasa menggigil dan seolah tak bertulang. Tetapi dari semua keanehan itu, ia merasakan sesuatu yang hidup di luar kendalinya.

"Sial! Bisa-bisanya di tempat seperti ini," umpatnya kesal, sembari mencengkeram sisi kursi dengan kuat.

Suasana rumah sakit yang tidak terlalu ramai, setidak bisa sedikit menguntungkan Bara. Paling tidak, tak satu pun orang yang menyadari keadaanya saat ini. Sementara ia melihat petugas yang membawa Dini semakin jauh dari pandangan.

"Aku benar-benar sudah gila!" umpat pria itu, mengutuk diri sendiri. Hingga kemudian, tersungging sebuah senyum di sudut bibir, menertawakan dirinya sendiri.

--