Bara melirik ponsel yang tergeletak di meja, lalu meraihnya dan membaca pesan dari Selvi, sang sekretaris. Orang kepercayaannya itu memberi tahu kalau Reno telah berada di kantor dan sebentar lagi memulai meeting dengan staff.
"Baguslah," gumamnya lirih, sembari memasukkan benda pipih itu ke kantong celana pendek yang ia kenakan.
Hari ini ia berencana untuk diam di rumah, karena besok pagi-pagi sekali ia harus bertolak ke luar kota untuk urusan bisnis. Jadi ia sengaja mengosongkan jadwal khusus untuk bermalas-malasan, sungguh tidak seperti dirinya yang biasa.
Dengan santai, pria berkaus biru langit berkerah itu berjalan menuju halaman belakang. Mbak Pur sepertinya membiarkan pintu besi yang menghubungkan ke rumah sebelah sedikit terbuka. Rasa penasaran menggelitik, hingga akhirnya ia pun mendorong pintu dan melangkah masuk ke area rumah itu.
"Permisi ...." Pria itu mencoba memberi salam, meski suasana pekarangan yang tidak begitu luas itu terlihat lengang.
Beberapa pakaian tergantung di jemuran, lalu terdengar suara orang bersenandung disertai candaan yang sesekali dilontarkan saat nyanyian kecil itu terjeda. Bara langsung mengenali pemilik suara yang sedikit serak itu.
"Halo! Ada orang di rumah?" sapa Bara, saat berjalan memasuki pintu dapur yang memang dibiarkan terbuka.
"Ya ...." Sahutan itu terdengar bersamaan dengan munculnya seorang perempuan yang sedang jongkok di depan kursi roda.
Pandangan mereka sempat bertemu dan terkunci beberapa detik, tapi kemudian Dini bergegas berdiri hingga kini mereka berhadapan. Bara masih berdiri di pintu.
"Mm ... Mas Reno sudah ke kantor," ucap Dini pelan, seraya menoleh sebentar ke dalam rumah yang memang sepi, hanya ada merek berdua.
"Oh, gitu? Duh! Sayang sekali," jawab Bara, seraya menyentuh tengkuknya agar tidak terlalu gusar.
"Saya pikir tadi barengan perginya," ujar Dini.
"Kenapa? Oh-- tidak, kok. Aku ada mobil lain. Lagi pula Reno kan, bukan supirku. Kami berangkat sendiri-sendiri," tukas Bara cepat.
Dini terdiam, lalu tersenyum tipis sembari melengos ke arah lain. Ia kembali melanjutkan kegiatannya yang sedang menyuapi sang anak dengan bubur dari mangkuk kecil yang ia pegang.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Bara kemudian, tidak dapat lagi membendung rasa ingin tahu yang telah lama ia pendam.
Dini terhenyak, mendongak sejenak ke arah pria tegap yang masih berdiri menatapnya dari pintu dapur. Sepertinya ia melihat bekas luka di pergelangan tangannya yang meski tidak lagi ditutup perban, tapi masih terlihat jelas luka sayatnya.
"Oh, saya ... baik-baik saja, Pak," jawab Dini lirih.
"Tidak. Kamu sedang tidak baik-baik saja, Din. Jangan membohongiku," jawab Bara, dengan suara yang berat.
Lagi-lagi Dini terhenyak, lalu kembali menoleh ke arah Bara yang sama sekali tidak bergerak dan masih berdiri diam di tempat yang sama. Jika Dini memandang dengan penuh tanya, maka tatapan sayu kedua mata Bara justru memancing sesuatu yang berdesir dalam dadanya.
"Mm-- Maksudnya?" tanya perempuan itu.
"Berhentilah mengatakan sesuatu yang tidak benar. Ini semua bukan salah kamu, Dini."
"Maksud Bapak apa, ya? Saya kok, nggak ngerti," sahutnya, sedikit mengerutkan dahi.
"Kenapa kamu melakukannya? Berapa kali kamu mencoba untuk mengakhiri hidup seperti itu?" cecar Bara, menggeser pandangan matanya ke arah tangan Dini.
Tidak ada sahutan, tapi raut wajah perempuan itu seketika berubah murung. Saat ini ia bahkan tidak perduli jika penampilannya kini terlihat sangat mengerikan. Sangat jauh dari kesan 'berkelas' seperti wanita-wanita cantik di luar sana.
"Saya ... tidak apa-apa, Pak. Maaf."
Bara terdiam. Ada apa dengan dirinya? Kenapa tiba-tiba ia datang ke tempat itu dan langsung menanyakan sesuatu yang tidak lazim bagi seorang Bara?
"Tidak. Maaf. Maksudku tadi--"
"Apa Bapak pikir saya sudah gila?" tanya Dini tiba-tiba.
"Hm?!" Bara seperti tercekat saat mendengar pertanyaan itu. Ia tidak mengira kalau Dini akan melontarkan perkataan itu.
"Bukankah sangat wajar kalau orang yang berada di posisi saya sekarang lambat lain akan menjadi gila?" ucap Dini dengan datar, senada dengan raut wajahnya yang tanpa ekspresi.
"Bukan itu maksudku. Hanya saja--" Bara sempat terdiam sebentar, lalu berusaha menenangkan dan mencoba menguasai dirinya sendiri, "Alika ... bukanlah kesalahanmu," ucapnya.
Bara sungguh menyesali ucapannya. Betapa pun kerasnya ia berusaha, toh akhirnya tidak dapat dipungkiri kalau Dini justru seperti orang yang disudutkan dengan sikapnya. Tiba-tiba mata pria itu tertumpu pada sebuah tas di dekat pintu kamar. Sepertinya mereka akan segera pergi untuk meninggalkan rumah.
"Kalian ... mau pergi?" tanya pria itu.
Dini mengikuti pandangan Bara dengan ekor matanya, lalu mengangguk sembari menyelesaikan suapan terakhir pada sang putri. Ada terbersit rasa heran dengan kehadiran sang pemilik rumah, tapi dengan cepat Dini menepis jauh pikirannya yang berlebihan.
"Kami mau ke rumah sakit untuk check-up."
Dini berjalan untuk membersihkan mangkuk di wastafel yang letaknya tidak begitu jauh dari kursi roda anaknya. Tetapi sekarang ia justru berada lebih dekat dengan Bara.
"Alika atau ...."
"Alika," jawab Dini tanpa menoleh.
"Bagaimana denganmu? Kau yakin tidak butuh ke Dokter?" tanya Bar a lagi. Kali ini ia sangat berharap agar perempuan itu menatapnya sekali lagi agar bisa meyakinkannya.
"Saya sudah bilang, kalau saya baik-baik saja."
"Bagaimana dengan lukamu?"
"Ini sudah sembuh. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan soal lukanya," jawab Dini.
Ternyata perempuan itu tidak seringkih kondisi tubuhnya. Bara menyadari, bahwa Dini juga bisa menjelma menjadi seorang yang sangat keras kepala.
"Apa kamu selalu seperti ini?"
"Hmm!?" Dini seketika menoleh dan lagi-lagi harus bertemu pandang dengan mata elang pria yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Keras kepala," gumam Bara.
Seketika bibir pucat itu tertarik ke belakang dan tersenyum mendengar ucapan pria itu. Sangat jauh dari definisi cantik yang sebenarny, tapi entah kenapa hati Bara berdebar kencang saat melihat senyum yang memperlihatkan deretan gigi kecil yang tertata rapi dan bersih.
"Kenapa tersenyum?" tanya Bara, mencoba untuk berdamai dengan rasa gugupnya.
"Tidak," jawab Dini, masih dengan tersenyum menahan tawa. Ia pun mematikan kran air dan kini berbalik menghampiri Alika.
"Kalian mau pergi sekarang?"
"Iya. Saya hanya perlu menghubungi taksi dan pergi ke rumah sakit sebelum hari semakin siang dan panas," jawab Dini.
"Kamu keberatan jika aku yang mengantar?" tanya Bara, setelah sempat terdiam untuk beberapa saat.
Mendengar tawaran itu, Dini sedikit kaget dan merasa aneh. Bukankah pria ini adalah pemilik perusahaan dimana suaminya bekerja? Kenapa dia harus repot-repot mengorbankan waktunya yang berharga untuk mengantar mereka ke rumah sakit?
"Tidak. Kami bisa pergi dengan taksi. Terima kasih, Pak," jawab Dini akhirnya.
"Apa perlu aku hubungi Reno sekarang?" tanya Bara, seraya mengeluarkan ponsel dari dalam pocket celananya.
--