"Sudahlah Bian, kau tidak boleh menolak Una untuk bekerja denganmu. Dia tidak sama dengan gadis-gadis yang kau kenal selama ini."
"Alaaah mana ada gadis yang tidak sama? semuanya sama! wanita di dunia ini matre! tidak ada yang tidak!"
Una mulai mengerti Bian. Laki-laki pembenci perempuan, mungkin Bian telah mengalami peristiwa terburuk bersama wanita yang salah. Una tak sakit hati. Bagi Una, pengidap alexithymia, semuanya memakai logika. Hal itu terkadang sangat baik bagi dirinya.
Tersinggung membuat kerjanya memburuk. Bukannya dia tak pernah tersinggung, biasanya bila hatinya sakit, ditandai dadanya yang sesak. Saat ini dia hanya merasa kepalanya mau meledak, itu berarti sinyal bagi dirinya. Una marah! yah marah!
Una menatap Bian dengan tajam, mendekatinya pelan tapi pasti. Jacob memandang dengan khawatir konfrontasi yang akan terjadi. Una menoleh pada Jacob menunduk hormat, menarik bibirnya yang segera membentuk senyum terpaksa. Jacob merasakan aura aneh. Mundur. Diam memperhatikan.
"Aku memang wanita! aku juga sama sepertimu, Bian! boleh kupanggil begitu?"
Bian terperangah melihat keberanian Una. Belum pernah dia melihat wanita yang berbicara tenang dengannya. Tanpa rasa takut.
"Hah mau apa, Kau? Marah kukatakan matre?"
"Aku tak marah! tapi aku mau bertanya padamu. Apakah Kau mau menjawab pertanyaanku?"
Tanpa sadar Bian mengangguk, terperangah melihat ketenangan Una.
"Saat aku kecil, seorang laki-laki yang kuhormati menodaiku. Aku marah karena dia tak mendapat hukuman sedikitpun. Malah aku yang terusir dari rumah. Hanya karena alasan bahwa aku 'wanita'! takkan ada seorangpun laki-laki baik-baik yang akan mau menikahiku. Kau pikir aku peduli? tak peduli! aku hanya ingin keadilan. Kau tahu kenapa?"
Jacob juga menggeleng terpesona. Bian menanti Una melanjutkan kata-katanya.
"Karena bagiku, semua laki-laki breng...sekkkk! termasuk Kau!"
Wajah Bian memerah, "Be-raninya kau mengatakan padaku hal ini!"
Una mendekatkan wajahnya pada Bian, "Sa-ma! beraninya Kau mengatakan aku wanita brengsek! padahal Kau tak mengenalku sama sekali."
Bian terdiam, melotot menatap Una dengan kebencian yang nyata. Dengan gerakan cepat dia memutar kursi rodanya, mengambil berkas di meja. Menaruhnya di pangkuan. Sesaat sebelum kursi roda itu meninggalkan ruangan.
Una mengejar dengan cepat menghadang laju kursi roda, "Jangan jadi pengecut Bian. Ayo kita kerja bareng, kita tak harus menyukasi satu sama lain. Profesional aja. Kau takut akan berubah pikiran? Mungkin takut akan jatuh cinta padaku?" Una nyengir menyebalkan. Dia tahu, bila bujukan dan gertakan tidak berhasil, terkadang hinaan cukup manjur membuat seseorang termotivasi. Sejenak semuanya terdiam.
Jacob memuji cara Una bertindak, dia sebagai ayah tak pernah berpikir untuk melakukan hal itu.
Bian menatap Una dengan sangat kesal, "Kau pikir dirimu hebat ya?"
Una tersenyum mempesona, dia pandai melakukannya, "Tak ada yang mengatakan sebaliknya padaku selama ini?"
"Kau sanggup bekerja keras, tanpa mengeluh capek?"
"Asal kau membayarku wajar sesuai yang kukerjakan, kau takkan pernah mendengar keluhanku sedikitpun."
Una sadar dia telah berjudi dengan nasib. Selalu berdoa semoga sehat dan kuat.
"Maafkan aku Tuhan, dia harus diberi pelajaran agar menghormati wanita," desah Una dalam hati.
Bian memutar kursi rodanya dengan mulus, berbalik ke depan ayahnya. Menaruh berkas dalam pangkuannya ke meja.
"Silahkan kau baca syarat-syarat dan ketentuan yang tertera."
Una mengambil dan membacanya dengan teliti.
Jacob mendekat untuk menjelaskan, "Kami menginginkan pada peringatan ulang tahun perusahaan yang ke-75 ini ada suatu yang spesial."
"Film dokumenter dan buku sejarah berdirinya perusahaan ini untuk dibagikan kepada klien dan semua pegawai?'
"Aku ingin mereka merasa memiliki dan bangga menjadi bagian dari kami. Warisan bagi anak cucu agar mengerti dan menghargai kerja-keras leluhurnya untuk mendirikan perusahaan ini."
Una mengangguk mengerti, "Kita mulai memilah beberapa informasi penting yang perlu ditampilkan. Secara artistik dan seni tentunya."
"Bukan hal itu intinya."
Una meengerutkan alis menunggu informasi yang ditahan oleh Bian dengan angkuh.
Jacob kelihatan salah tingkah, membuat Una curiga, "Ada apa sebenarnya?"
"Kami ingin selesai semua sebulan lagi."
Una terperanjat, "Wah ini benar-benar akan menjadi kerja yang gila-gilaan."
Jacob mengangguk mengiyakan.
Bian tersenyum sinis, "Sudah kuduga akhirnya kau akan mundur. Makanya jangan sesumbar seakan bisa kerja keras."
"Cu-kuup Bian!" Kali ini Jacob benar-benar tak kuat menahan dirinya.
"Kan, benar Ayah?" Bian mengangkat bahunya dengan pongah.
"Una pegawai yang sangat hebat, pekerja yang handal dan profesional. Aku aja tak pernah menghinanya. Sekarang mari kita buat agenda kerja. Sudah jangan menghina dia lagi."
Una tersenyum penuh rasa terimakasih.
Setelah melihat beberapa lembar portofolio dan menyusun agenda kerja bersama, "Saya mau kembali ke bilik kerja saya, Pak," Una meminta izin untuk pergi meninggalkan ruangan terlebih dahulu.
"Kayaknya kau ingin cepat melarikan diri dariku rupanya?" sinis Bian bertanya.
Una menggeleng tenang, "Aku masih banyak kerjaan di meja, takut tak selesai. Tenang Bian. Aku tak pernah takut pada siapapun."
Una berbalik sambil membawa berkas di dekapan tangannya. Tenang berjalan dan menutup pintu di belakangnya.
"Brengsek! sombong benar dia, Pa?"
Jacob menghela, "Sebenarnya kalau boleh jujur, kalian berdua sama saja. Ayah yang berada dalam radius beberapa meter di antara kalian berdua terkena pecahan bom dan peluru yang sama-sama kalian lontarkan."
Bian tersenyum kecut mendengar sindiran halus ayahnya.
Bian masih terbengong menatap pintu yang telah tertutup.
"Dia gadis yang pemarah tapi pekerja keras dan sikapnya sangat tulus. Kau harus meminta maaf padanya di lain waktu Bian. Tak semua gadis seperti Feby. Lagipula dia sudah menjadi adik iparmu sekarang."
"Boby memang selalu iri padaku Ayah."
"Dan dia kena batunya sekarang, Feby telah membuat hidupnya bagai di neraka."
"Beruntungnya Bobby."
"Kau tak boleh menyimpan dendam pada adikmu sendiri."
"Itu karena ayah dan mama selalu memanjakannya. Dia tak pernah mau bertanggung jawab."
Jacob menunduk sedih. Mereka berdua tahu Bobby telah menghabiskan bagian warisannya berfoya-foya bersama Feby. Berhura-hura ke luar negeri, membeli mobil sport terbaru tanpa mau bekerja sedikitpun. Akhirnya sekarang Feby merasa kesal setelah warisan bagian Bobby mulai menipis. Mereka berdua merayu Jacob untuk menerimanya bekerja di perusahaan Samudra Jaya Permai yang menjadi bagian Abian.
"Berilah kesempatan adikmu untuk membuktikan dirinya bisa bekerja."
"Perusahaannya sendiri sudah hancur, hotelnya sudah kuambil alih karena mau beralih tangan, lalu sekarang apa?"
"Berilah sedikit kerjaan, ajari dia!"
"Sudah terlambat ayah!"
"Berilah dia saham ayah." Pak Jacob menatap Abian dengan penuh harap.
"Ayah selalu begitu, Bobby menjadi semakin hilang arah."
"Seorang ayah tahu mana anaknya yang paling lemah, Abian. Nanti saat kau punya anak kau akan melakukannya juga."
"Perbuatan ayah inilah yang membuat Bobby semakin manja."
Jacob menatap Abian dengan sedih.
"Apakah aku harus memberitahu Abian penyebab kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh?" Jacob semakin khawatir. Dia merasa semakin tua saja.