Chereads / How To Love You / Chapter 3 - Kambuh

Chapter 3 - Kambuh

Una segera bekerja kembali hingga tak terasa melewati waktu makan. Pikirannya kosong. Perutnya mual sejak keluar dari kantor Pak Jacob. Dia tak mampu menampung luapan emosi yang membuncah. Sudah berkali-kali dia mengeluarkan isi perutnya.

"Aku harus kerja, aku tak mau berpikir," berulang-ulang Una mengatakan itu dengan lirih. Dia menghealing jiwanya. Autisnya akan timbul jika dia merasa tertekan. Bukan karena kebencian Bian yang membuatnya marah, tetapi hal tersebut memicu kilasan masa lalu berkelebat cepat tak terkendali. Membuatnya semakin tertekan. Tubuhnya mulai bergoyang ke depan dan belakang.

"Kau harus mau pergi ke asrama!"

"Aku tidak mau Bapak! Emak, tolonglah! Aku tidak mau!"

Emak hanya menggelengkan kepala sambil terisak-isak. Wajah Bapak sangat mengerikan, memerah. Matanya melotot penuh kebencian. Una menggeram, dadanya terasa sesak kepalanya berputar-putar seakan mau meledak.

"Bukan...bu-kan, a-kuu yang merayu! yah, dia laki-laki bajingan itu yang mendekatiku. Mengikutiku kemana-mana, menjepitku di antara dinding belakang kios pasar yang sepi. Dia selalu membuntuti sejak lama, selalu bisa melepaskan diri, tapi gagal, siang itu." Una memeluk kaki Emaknya dengan erat tubuhnya menggigil seakan sangat kedinginan.

"Sudah terlambat Una kabar telah tersiar di mana-mana," Bapak kelihatan sangat capek, lemas tak berdaya.

"Aku hanya membeli makanan yang diminta oleh emak. Tidak mendekatinya sedikitpun. Bahkan berusaha menjauhinya. Dia mengerlingkan matanya, berusaha merayuku, menggesekkan tubuhnya saat antri di kasir. Entah darimana datangnya tiba-tiba dia sudah ada di sana." Una putus asa, mendesah memohon untuk dipercaya. Sia-sia saja menjelaskan, hal ini terulang lagi, selalu terulang.

"Bapak tidak mau tahu siapa yang salah Una! Jelas sekarang semua tetangga mengatakan bahwa kau wanita murahan yang mau merebut Dirga dari bibimu sendiri. Bibimu menangis datang kemari. Saat kau pergi ke sekolah. Dirga ingin menceraikannya, dan menikahimu."

Una terkesiap, gemetar menatap Bapaknya tajam-tajam, air matanya meleleh di pipi, mengusapnya keras dengan tangannya lalu dia berkata dengan tersenyum.

Inilah yang sangat ditakuti oleh Una. Dia takut jiwa psikopatnya meronta, Una menekannya keras-keras. Logikanya harus tetap jalan, "Mereka berdua, bapak dan emakku!" Una mulai bergoyang ke depan dan belakang terus berdesis. Emak memeluk erat Bapak. Ketakutan!

Tersenyum sinis Una berkata kepada Bapak, air matanya mengambang menetes terus menetes di pipi tanpa mengusapnya lagi.

"Jadi selama ini saya tidak dipercaya? Semuanya Dirga yang mulai, dia tak pantas di sebut 'Om'! Bukankah dari Una masih kecil sudah melaporkan bahwa Om Dirga telah menyakiti Una tetapi apa yang dilakukan oleh Bapak atau Emak? Apakah ada yang percaya?"

Wajah Bapaknya luruh, matanya meredup, "Maafkan Bapak Una. Tak mampu melindungimu."

"Terlambat Pak, Una sudah tercoreng, wanita nakal itulah sebutan untuk Una sekarang, sedang semua kelakuan Dirga dimaklumi," Una memotong perkataan Bapak.

"Bapak hanya berusaha menyelamatkanmu dari luka yang lebih besar, Nak."

"Ini desa! Kata Bapak pada Emak dulu, nama baik wanita dipertaruhkan wanita harus menjaga perilakunya. Lalu bagaimana jika Dirga yang tak tahu malu? Tolong jawab Bapak, siapa yang akan membela diriku dan wanita-wanita lain yang mungkin telah menjadi korbannya atau mungkin, Dilla! Anak Bibik!"

"Unaaa! jaga perkataanmu!" Bapak dan Emak berbarengan membentak.

Una tertawa terbahak-bahak dadanya yang sesak ini harus dikeluarkan semuanya, tanpa ada yang tersisa.

Sinis dia menatap Bapak dan Emaknya, "Mungkin bagi laki-laki seperti dia tidak ada dosa dan rasa takut pada Tuhan!

"Mengapa Bapak merasa bahwa itu tidak akan berani dia lakukan terhadap Dila? Dia sakit Paak, Makk!"

Bapak dan Emaknya saling menatap sedih dan terduduk lemas.

Una merasa kasihan, " Baiklah besok Una akan ke asrama."

Emak menghambur memeluk Una, "Sabar ya Nak, karma akan berlaku, hukum Tuhan akan terjadi. Maafkan kami ya Nak."

"Unaaa! Ngelamun aja kamu."

"Kaget aku Lina!"

"Lagian kau apa sih yang dipikirin? Kamu lupa makan siang lo, tadi aku mencarimu."

"Ehem ."

Lina terkesiap mendengar suara berat dan maskulin di hadapannya.

"Eh maaf mengganggu kalian berdua."

"Tak mengapa Bian, kau masih di sini?"

"Jangan lupa makan Una," ujar Bian lemah merasa malu, "Oh ya aku mau minta maaf atas kelakuanku tadi."

"Tak mengapa aku sudah memaafkannya Bian."

"Besok bisakah kita bertemu?"

"Oke setelah jam kantor ya?"

"Aku sudah minta izin ke Susan agar tugasmu dikurangi karena akan mengerjakan proyek perusahaan."

"Tidak Bian! Selesai jam kantor saja."

Melihat sikap tegas Una, Bian melemah. Ada waktunya untuk mundur. Untunglah Bian tak menolak. Una takut dia akan meletus kalau mendapat tekanan kembali.

"Ini hanya karena sikap profesional saja, maaf."

"Tak mengapa, aku ngerti kok."

Una merasa bersalah bersikap begitu dingin, "Bian, besok! Ok? Siaap!" tersenyum lebar Una menetralisir susana kaku.

"Baiklah saya permisi dulu." Saat Bian memutar kursi roda, seorang asisten laki-laki yang sigap langsung membantunya. Terlihat wajahnya merengut.

"Dasar cowok manja!" Una merengut, hilang sudah sikap manis yang ditunjukkannya tadi.

"Hii kau menakutkan Una," canda Lina.

"Biarin! Emangnya mudah semua dihapus pakai kata maaf?"

"Bagi orang di posisi dia, itu sudah sangat merendahkan diri. Oh ya pukul berapa kau akan pulang? Ingatlah kau belum amakn dan istirahat."

"Aku tak lapar."

"Kalau nunggu kau lapar, itu takkan terjadi, tuh lihat tanganmu mulai gemetar."

Punya teman seperti Lina yang sangat perhatian, memang menyenangkan. Una khawatir tak mampu membalasnya.

"Pulanglah duluan Lina."

Mereka berdua menyewa rumah kontrakan mungil berdua. Jika akhir minggu Lina akan pulang ke rumah orang tuanya, sedang Una enggan. Pulang membuatnya sedih. Bukannya emak dan bapak tak merindukannya, tetapi entah mengapa rasa benci itu masih tetap ada. Om Dirga tetap bersama bibik. Mereka berdua gagal bercerai. Bagaimana mau bercerai, sedangkan selama ini Bibiklah yang bekerja mencari nafkah. Penjahit di konveksi milik Emak. Una enggan bertemu mereka semua.

Nada dering berbunyi...

"Pak Jacob?"

"Assalamualaikum Aruna yang cantik."

Degh..dia masih trauma dengan kata 'cantik' padahal sudah satu dekade berlangsung. Tenggorokannya tercekat.

"Una? Kau masih di sana?"

"Ya pak, ada yang bisa saya bantu."

"Gaak, saya cuma mau ngasih tau, kau langsung ke rumah aja, kita kerja di sini. Eh Bian dan kau maksudku."

"Eh maaf sebelumnya, Pak."

"Ada pa Una? kau boleh pulang duluan dari kantor gak papa."

"Tidak Pak, bukan itu maksud saya. Apakah di rumah ada orang lain? Eh ma-aff, Pak."

"Tenang Una, aku takkan mengganggumu!" suara berat Bian menimpali.

Una terdiam, "Haduuuh mengapa Bian dengar? salah paham lagi deh."

Terdengar kursi roda Bian berlalu.

"Maaf Una, saya gak bermaksud membuat hubungan kalian menjadi sulit, tadi suaranya dikeraskan, Bian ada duduk di samping."

Una terdiam tak mampu melakukan apa-apa.

Mengapa sih hari salah terus? ada apa dengan diriku Tuhaan?