Una berdecak kagum, "Wuihh rumahnya sangat bagus, memang agak di pinggiran kota sih."
"Pak berhenti!" Una segera membayar ongkos taksi yang lumayan besar bagi kantongnya yang pas-pasan, tapi bagaimana lagi? jika dia sudah tahu jalannya, saat kesini lagi Una akan mengendarai motor tuanya.
"Ini kenapa lama sekali? mungkin agar tukang kredit gak nyelonong masuk halaman," Una ngomel sendirian agar otaknya terus berpikir. Menunggu satpam membukakan gerbang agak lama.
"Mbak gak bawa kendaraan?"
"Kenapa Pak?"
"Agak jauh Mbak."
Wow. Halaman depan yang luas melewati taman bunga nan indah. Pintu dan jendela semua berukuran besar.
"Ah gak papa Pak, maaf saya gak bawa motor tua saya," Una nyengir tak merasa bersalah.
"Silahkan, sudah ditunggu dari tadi oleh Bapak."
"Hem, nih maksudnya bapaknya apa anaknya nih? eh, maaf, saya memang biasa bicara ceplas ceplos."
"Pak Jacob dan Pak Bian, Mbak." Satpam mengangguk sopan.
Una merasa malu sekali, terkadang dia memang tak bisa mengira-ngira kalimat yang cocok untuk audiens yang tepat. Untuk bisa memberikan komentar yang tepat memang membutuhkan latihan bertahun-tahun.
Sebelum mengetuk pintu kayu yang sangat tebal di depannya, pintu itu terbuka.
"Silahkan Mbak." Seorang asisten rumah tangga yang cukup bersih dan modis mempersilahkan Una langsung ke kantor yang melewati ruang tamu dan ruang keluarga. Ukurannya mungkin sepuluh kali lipat rumah kontrakan yang ditinggalinya bersama Lina.
Pintu kantor terbuka, ternyata selain Bian dan ayahnya, sudah ada beberapa orang yang telah menunggu. Ruangan itu dilengkapi peralatan komunikasi dan teknologi yang sangat canggih.
Bian menatapnya dengan sinis, Una merasa malu. Dia telah berprasangka buruk. Una mengira Bian bekerja dengannya tanpa rencana matang, tetapi untunglah Una juga sudah bekerja keras seharian tadi hingga lupa makan. Semua informasi tentang sejarah perusahaan, pendiri serta dokumentasi telah lengkap disusun menjadi sebuah portofolio yang cantik dan tertata rapi.
"Selamat sore Una," sapa Jacob dengan gembira, "Kami sudah menunggu kehadiranmu dari tadi."
"Mohon dimaafkan dari tadi saya menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor dan menyusun portofolio berdasarkan tahun dan nama pimpinannya."
Una berkata sambil menyodorkan portofolio yang telah disusun dengan rapi dari semalam.
"Wah kau bekerja sangat cepat. Padahal tadi aku memang berniat untuk memberimu pekerjaan menyusun beberapa dokumen yang telah kami temukan."
Bian segera mengambil berkas dari Una lebih cepat dari ayahnya, "Mungkin kita bisa menambahkan dengan dokumen yang kita yang telah kita kumpulkan ayah."
Jacob mengambil berkas-berkas tersebut dan mengangguk setuju.
"Ya, segera membuat job description tugas-tugas yang bisa kita lakukan. Minggu depan kita akan bertemu lagi untuk mengumpulkan dan berdiskusi format seperti apa yang paling cocok. Oh ya, saya minta semuanya telah menyiapkan idenya masing-masing ya?" Bian menjelaskan dengan terperinci semuanya. Rapat ini berjalan efisien. Sangat profesional, Una suka.
Una berniat pulang terakhir, dia harus meminta maaf. Menunggu agak lama, ternyata Bian malah rapat dengan beberapa staf yang tak cepat selesai.
"Aduh aku ngantuk sekali. Badanku gemetar dan lemas. Rupanya aku lapar." Una berbicara sendiri, lirih dan berharap tak ada yang mendengar. Bagi pengidap Alexithymia sepertinya, perasaan marah, lapar atau bahkan jatuh cinta harus dipelajari. Bukan merasakan hal yang sama secara langsung seperti orang lain.
Bian berhenti bicara sebentar, menengok Una dengan heran, "Una kau boleh kembali lagi minggu depan."
"Eh iya, eh anu... ."
"Iya?" alis kiri Bian naik ke atas menunggu perkataan Una.
Una bingung mengatakannya, melihat ke arah empat pasang mata lain yang merasa terganggu dengan interupsi itu.
"Bagaimana aku mengatakannya di depan banyak orang nih?" pikir Una.
Melihat Bian tersenyum sinis, kepala Una serasa mau meledak.
"Saya mau minta maaf, tadinya saya akan melakukannya saat tak ada orang tapi sepertinya tak ada kesempatan lagi."
"Aku sudah memaafkanmu Una, silahkan meninggalkan tempat ini. Kerjaan saya masih banyak."
Merasa malu, Una beranjak dari kursinya tiba-tiba. Fatal. Tubuhnya yang lemah karena tak diisi makanan dari kemarin malam, menjerit kaget. Kursi berderit, Una jatuh berdebum saat akan berdiri, limbung kemudian jatuh berdebum. Saat nanti Una bangun mungkin akan malu luar biasa karena pingsan tanpa gaya.
Kaget melihat hal itu, mereka tak mampu berbuat apapun. Tak menyangka gadis yang begitu energik bisa pingsan begitu saja.
Bian langsung merasa marah, kejadian ini pernah dialaminya. Feby pernah pura-pura pingsan untuk merebut perhatiannya, dan dia terpesona. Sekarang dia sudah dewasa dan takkan mungkin mau ditipu oleh wanita manapun.
"Pak, bagaimana ini? mari kita tolong dulu."
Bian tetap bergeming, kesal sekali. "Dasar wanita penuh drama, kemarin sinis padaku sekarang sok baik, eh ini pake acara pingsan segala?"
Semua bingung mau berbuat apa.
Pintu terbuka, pelayan membawa beberapa cemilan dan minuman hangat. Berteriak melihat Una yang telah terkapar di lantai.
"Ada apa kok ribut sekali?"
Pak Jacob datang setelah pergi sebentar, langsung memerintahkan untuk mengangkat Una.
"Una...Una?"
"Hemm, pusing...kepalaku kayak ada yang ngetok, " Una langsung memejamkan matanya kembali.
Terdengar kriut perutnya berbunyi. "Oh rupanya kau belum makan?" Pak Jacob bertanya dengan geli.
"Hem, orang yang telat makan dari pagi jarang tuh yang langsung pingsan," sinis Bian menimpali.
Una menjawab pelan, "Kayaknya sih kemarin malam atau kapan ya aku lupa, terakhir makan."
"Shinta. Tolong ambilkan air kaldu atau bubur atau apapun yang ada di dapur yang bisa disajikan dengan cepat."
"Baik Pak Jacob."
"Oh ya Pak! dokter Jodi telah datang."
"Oh ya antarkan beliau masuk kesini."
Berderap cepat, dokter Jodi menghampiri, "Loh kok Una ada disini?"
"Dokter mengenalnya?" Bian bertanya dengan cepat tanpa dipikir.
Tanpa banyak bicara dokter Jodi memeriksa Una,
"Sudah kubilang Una, kau memang sangat keras kepala! saat tubuh mulai lemas, segeralah makan walau kau tidak merasa lapar."
Bian yang sudah berada di dekat dokter menimpali dengan heran, "Kalau kita lapar tentu kita akan makan dong?"
Dokter Jodi tersenyum menaruh stetoskopnya dan berkata kepada yang hadir di sana, "Una pengidap alexithymia yang tidak bisa merasakan lapar serta semua emosi yang ada di dalam tubuh. Dia hanya mempelajari gejalanya."
Una menutup matanya, "Baguslah Aku tak perlu menjelaskan lagi hal ini pada mereka," pikirnya dalam hati.
"Jadi kau tidak makan karena tidak merasakan lapar Una?" Pak Jacob bertanya dengan lembut.
Bian bertanya masih merasa heran, "Apakah dia tak merasakan emosi apapun Dok? Aneh ya Dok."
"Semua emosi Bian, otaknya tak terhubung dengan emosi," Dokter Jodi menjelaskan dengan lembut.
"Sebaiknya karena 1 hari sudah tidak makan, makan kaldu atau beberapa makanan yang halus baru dilanjutkan dengan makan berat setelah perutnya mulai beradaptasi."
"Hem, kukira aku dipanggil kesini karena kau Bian! untunglah kau tidak sakit apa-apa ku kira...."
"Jangan melihatku seperti itu, Dok, kok sepertinya suka sekali kalau saya yang sakit?" Bian mendengus kesal.
"Tidak aku selalu berdoa agar kamu segera sembuh, karena lumpuh dikakimu sebenarnya sudah membaik, mendengar keterangan dari beberapa terapis yang menangani mu."
Dokter Jodi segera diarahkan ke ruang tamu agar beliau tidak meneruskan nasihat kedokterannya kepada semua orang. Dia memang baik tapi terlalu berterus terang, tidak semua orang suka jika dianalisis kesehatannya, termasuk Bian atau bahkan Jacob sendiri.
"Apakah kasus seperti Una normal Dok?"
"Sebenarnya tidak, biarkan Una sendiri ya yang menjelaskan, saya tak berhak menjelaskannya. Oh ya, sebaiknya dia jangan terlalu ditekan, depresinya akan semakin memburuk."
Bian mendengarkan dari balik pintu yang terbuka.
"Apakah aku salah? ataukah dia artis yang sangat mahir memerankan drama?"