"Terimakasih semuanya," Una segera bangkit dari kursi. Melihat Bian dengan ragu.
"Wow ada apa ini kok ngumpul semua di sini?"
Una terpana melihat seorang wanita yang baru datang, cantik sekali. Kulitnya putih pucat, rambutnya hitam dan lipstiknya sangat merah.
"Siapa kau? Baru pertama ini melihatmu datang kesini? asisten rumah tangga yang baru?" Feby berkata dengan pongahnya pada Una yang terpaku di tempatnya.
"Tenaang, kau akan segera mempelajari apa yang kusukai dan apa yang tak kusukai."
"Eh kok pe-de sekali Anda? Maaf saya bukan asisten rumah tangga di sini!" tegas Una menjawab.
Bian tertarik melihat Feby yang memerah pipinya karena marah, "Dasar manja!"
"Lah kau sedang apa di sini?"
Una mendongakkan dagunya, suaranya yang masih bergetar, "Mau pulang setelah ikut rapat dengan Pak Jacob dan Pak Bian."
"Oh hanya staf kantor? Apa yang kau tunggu? Silahkan pergi kalau sudah selesai."
"Ya," Una senyum tawar yang sudah terlatih, kembali ke kantor untuk mengambil tas yang tertinggal.
Bian mengikutinya ke dalam, "Kau pulang naik apa?"
Serius, Una tak menjawab, tangannya mengetikkan sesuatu di handphonenya.
"Tak usah manggil taksi, pemborosan aja!"
"Tadi masih tak tahu jalan menuju rumah ini, lain kali ke sini akan aku berikan polusi dari knalpot motorku yang jadul, tenang aja. Tunggulah saat itu, kau pasti akan terhibur melihatnya terbatuk dan meledukkan gas yang tersumbat."
"Sinis amat kau!"
Una nyengir terpaksa ke arah Bian, lalu meneruskan mengetuk dan menggeser layar handphonenya.
"Sering bertemu dengan keluargamu membuat latihan bertahun-tahun dengan psikiater menjadi tak berguna sama sekali. Sudah dua kali terkena serangan mendadak dalam dua hari terakhir, benar-benar fantastis!"
"Kau memang gadis yang aneh!"
"Betul." Una mengangguk tenang. Segalanya sudah terkendali."
"Cukup gak usah manggil taksi, biar sopir yang antar."
"Tidakk!"
"Jangan keras kepala kau!"
Una menjawab dengan tajam, hanya harga diri yang masih tersisa dariku, tolong jangan ambil itu. Kau boleh bicara apa saja, aku akan menerima apapun semuanya tapi tidak hal yang sudah aku putuskan."
"Gadis sombong!"
Feby telah masuk ikut nimbrung menjawab.
Una menggeleng pelan, kelihatan agak frustasi, "Waduh serangan masih berlanjut nih, kayaknya belum puas menyiksaku." Una mulai mengomel pelan untuk mengontrol emosinya.
Feby masuk dan duduk di kursi dalam kantor, menyilangkan lututnya yang mulus, "Sok gak mau diantar padahal hanya jual mahal aja."
Una terus beralih menghitung cepat, beberapa hitungan aljabar, "Aku mau menunggu di satpam aja."
Feby mendekati Una dengan penuh gaya, "Cepat sana! Hush cepat pergi! Can-tiikk, gadis murahan!"
Itulah pemantik yang diperlukan, Una paling benci desahan manja berucap 'gadis cantik' yang keluar dari bibir Feby yang merah.
Sekilas beberapa pintasan peristiwa terpercik di ingatan. Feby telah membangunkan singa dalam diri Una yang lagi lemah kontrol terkena serangan emosi bertubi.
Una meloncat ke arah Feby yang tak mengira ini akan terjadi, menggeram keras lalu menerjang Feby hingga terjatuh di tanah, merobek baju Feby yang indah, menampar mukanya dan menahannya di lantai.
Una tetap menekannya, Feby menggeliat berusaha melepaskan diri. Memukul lantai dengan telapak tangannya. Bian berteriak menggelosor dari kursi rodanya. Berusaha merangkak melerai pertengkaran itu. Suasana tak terkendali hingga Pak Jacob, Bobby dan beberapa satpam berdatangan memenuhi ruangan.
"Shhh tenang Una," dengan lembut Pak Jacob menenangkan mengambil tangan Una dengan lembut dan kuat lalu memeluknya.
Una mulai bergoyang ke depan dan belakang meringkuk bagai bola terus menerus.
"Ya Tuhan apa yang terjadi? Siapa gadis gila ini?" tanya Bobby heran.
"Cukup Bobby! Bawa istrimu pergi! Gara-gara dia Una lepas kendali!" teriak Bian meledak.
Satpam segera membantunya kembali ke kursi rodanya.
Bobby melengos, "Mengapa kau malah membelanya? dia telah melukai istriku."
Feby menangis tersedu. Pak Jacob menghela napas panjang, "Baru saja dokter Jodi pergi, sudah terjadi lagi. Tadi kan Una sudah mau pulang mengapa sih kalian mengganggunya? Belum cukupkah kejadian hari ini?"
Feby menghentikan tangisnya dia menatap mertuanya dengan berani, " Mengapa sih Ayah malah membela dia? saya menantu ayah! dia hanya staf rendahan di kantor, aku tidak mengatakan apa-apa kok padanya."
"Kau tadi menghinanya Feby!" kata Bian dengan lelah.
"Aku hanya mengatakan dia cewek cantik dan murahan, apa itu salah?"
Una tak menghiraukan lagi sekitarnya. Untungnya dia sekarang telah berada dalam dunianya sendiri. Menghindari rasa sakit yang diterimanya itu.
"Dia hanya ingin memanggil taksi dari kantorku ini, tapi kau malah mendekatinya dan mengatakan hinaan yang sangat pedih. Tentu saja dia berhak marah kepadamu walaupun sebenarnya kemarahannya melebihi ekspektasiku tapi mungkin kita tidak mengetahui cerita yang dialaminya. Seperti kata dokter Jodi tadi, " kata Bian menjelaskan panjang lebar. Bermaksud agar Bobby dan Feby segera memakluminya dan pergi. Bukan hanya Una yang capek tetapi Bian muga merasa lelah.
"Kalau begitu pecat dia!" perintah Feby dengan berani.
"Dia tidak akan keluar dari kantorku hanya karena mempunyai penyakit yang dia sendiri tidak ingin mengalaminya," kata Bian dengan tegar.
"Ada hubungan apa sih kamu dengan dia? begitu nekatnya Kamu membela dia terus-menerus!" kata Bobby dengan keras.
"Entahlah Apa yang dilihat oleh Bian? gadis udik seperti dia kok dibela? lihat ini bajuku robek-robek, baju yang sangat mahal kubeli baru seminggu yang lalu."
"Kamu membelinya dengan uangku jadi aku tak akan menggantinya."
"Bukan masalah menggantinya tapi baju ini langka, tidak akan ada lagi yang serupa dengannya."
"Menurutku semua bajumu sama saja kelihatannya, sudah pergi saja! pergilah ke kamarmu dan jangan perlihatkan wajah kalian berdua di hadapanku lagi sebelum aku merasa tenang."
Bobby mendekati Bian pelan dan penuh dengan kemarahan, "Kau ini kenapa sih, Kak. Kalau kau memang merasa cemburu denganku tak usah kau merasa dendam, membiarkan istriku dihina seperti ini tanpa ada pembelaan darimu? hah yang benar aja!"
"Sudah cukup kalian berdua mendesak Bian, benar katanya silakan kalian berdua kembali!"
"Oh ya kalian tidak usah pergi ke kamar sekarang, per-gi-lah ke rumah kalian sendiri!"
Feby dan Bobby terkesiap mendengar perintah Bian yang tegas itu. Tentu saja mereka merasa kehilangan bila tak boleh ke rumah utama ini, segala fasilitas lengkap ada dan asisten rumah tangga yang sigap membantu. Selama ini mereka tak pernah mengelola dengan baik rumah yang ditempatinya, hanya sibuk berpesta kesana-kemari.
"Kau lebih memilihnya, Kak. Daripada adikmu sendiri dan iparmu?"
"Iya tentu saja aku lebih memilihnya karena dia adalah calon istriku dan calon kakak ipar! Jadi kalian berdua harus menghormatinya dari sekarang!"
Feby ternganga begitu lebar, "Kau jangan bergurau Bian. Dia gadis udik. Kalau kau memang merasa marah padaku aku bersedia kok bercerai dengan Bobby dan menikahimu."
"Feby kok ini mengatakan apa sih?" Bobby terkesima mendengar perkataan Feby.
Bian tertawa terbahak-bahak memandang Feby dengan sinis, "Lebih baik aku menikahi sepuluh kali cewek seperti Una daripada aku menikahi cewek matre sepertimu."