Aku selalu terlambat tiba di sekolah, kalau Papa yang berjanji akan mengantarkan aku sekolah. Tak hanya terlambat, aku pasti dihukum walikelas. Katanya aku murid yang paling sering terlambat diantara murid lainnya.
Sebenarnya aku malu. Tapi, apa boleh buat. Mama juga sibuk. Mau minta antar Mama, nggak mungkin. Apalagi bersamaan dengan orderan cathering. Pasti Mama sangat sibuk sekali.
"Fit. Kamu diantar ke sekolah sama Papa aja ya Nak," kata Mama..
Kalau Mama berkata seperti itu, artinya aku harus siap-siap menerima hukuman dari guru wali kelasku, Bu Gita Askara. Dia, guru matematika dan juga wali kelas yang kejam. Siapa pun yang terlambat, harus lari keliling lapangan sampai 10 kali, dengan membawa tas di pundak.
Ah. Sial!
Aku bakal kena hukum lagi, kalau Papa yang antar aku ke sekolah. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku pasrah. Mau naik angkot? Jalan ke area Jalan Raya juga butuh waktu. Jauh. Belum lagi, kalau nggak ada angkot yang lowong. Karena, di Surabaya, pagi-pagi angkot pasti full penumpang.
"Dug....dug.....dug....." pintu kamar papa aku ketuk berkali-kali.
"Pa....anterin Fitri ke sekolah. Udah mau jam setengah tujuh Pa." pekikku dari luar kamar, dan Papa menjawabnya dengan cepat.
"Iya.....tunggu. Udah siap nih. Papa cari kunci mobil." jawab Papa dan dalam hitungan beberapa menit kemudian, Papa keluar dari kamarnya, dalam keadaan sudah rapi. Karena, di kamar Papa sudah ada kamar mandinya sendiri.
"Yuk. Berangkat." katanya dan Papa juga bilang itu ke Mama.
"Ma. Aku ke kantor," kata Papa dan kami beranjak pergi dari rumah.
Lagi-lagi aku kesal. Karena kulirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul 06.45 wib.
"Sial. Sial. Aku bakal kena hukum lagi hari ini. Masa iya dalam seminggu aku kena hukum 3 kali." gumamku.
Sepanjang jalan aku hanya diam.
"Pa. Nanti nggak usah jemput," kataku bersungut-sungut saat sudah tiba di depan halaman sekolah.
Scurity sekolah, Pak Ginting, sudah duduk tenang di pos scurity. Gerbang sudah ditutup. Murid-murid juga sudah duduk rapi di kelasnya masing-masing.
"Ya Allah, gimana ini. Aku telat lima belas menitan. Pasti aku harus menjalani hukuman lari 10 kali," gumamku panik ketakutan.
"Pak. Tolongin Pak. Buka," kataku memohon pada Pak Ginting.
"Tiap hari kenapa kamu telat. Bangunnya pagian dong biar nggak telat. Dasar pemalas." kata Pak Ginting berceloteh padaku.
Aku sudah nggak heran kalau seperti itu, karena itu memang makanan aku. Tapi, meski begitu aku panik banget saat harus masuk ke kelas. Jadi tontonan teman-teman, karena aku kena omel sama Bu Gita Askara.
Ya....kalau Selasa, waktunya ibu itu memberi pelajaran Matematika.
"Sebenarnya kamu bangun jam berapa Fitri? Telat terus ke sekolahnya. Besok ibu mau, orang tua kamu menghadap ke saya," katanya.
"Ya Allah. Malu banget aku." gumamku dengan jantung yang deg-degan tak karuan karena ketakutan.
"Kamu lari dulu, kalau mau ikut pelajaran saya. Kalau kamu tak mau, silakan pulang dan suruh orang tua kamu temui saya, besok," kata Ibu Gita Askara dengan tegas.
''Ya Allah..... apa aku besok harus bangun subuh, dan naik angkot saja ke sekolah. Kalau terus-terusan seperti ini, bagaimana aku bisa tenang menjalani tugas belajarku di sekolah.''
Dengan terpaksa, aku lari dulu keliling lapangan basket di sekolah aku. Dengan nafas terengah-engah, dan setelah menyelesaikan hukuman aku, aku masuk ke ruangan kelas.
Beberapa teman aku, mentertawakan aku, saat aku terlihat mandi keringat, dan seragam aku, basah kuyub karena keringatku.
*Kringgggggggggg....
Jam istirahat tiba. Aku nggak ingin keluar dari kelas. Karena aku masih kesal dengan menjalani hukuman lari 10 kali di lapangan basket.
Diandra Casanova, mendekati aku.
"Ke kantin yuk, Fit," ajaknya.
"Nggak. Lagi malas." jawabku dan aku membenamkan wajahku di tas ransel.
"Tadi Papa kamu telat lagi ya antar ke sekolahnya."
"Pergilah kalau kamu mau istirahat. Ak lagi pengen tidur." kataku masih kesal rasanya.
Diandra nggak mau gerak. Dia tetap di kelas. Ya kami cuma berdua.
"Fit..besok jalan kemana? Boleh nggak main ke rumah kamu," tanyanya.
"Hmmm." jawabku masih malas ngomong.
"Semangat dong. Kita satu kelas, harus saling support," katanya memberi semangat ke aku.
Aku menegakkan dudukku dan bilang ke Diandra, kalau dia nggak perlu terlalu sering ke rumah aku.
Tapi, kata dia, alasan mau main ke rumah. Mau bantu Mama aku. Kalau sudah seperti itu, aku nggak bisa melarang.
"Kalau ke rumah. Bawa kue kesukaan Mama aku." pintaku.
"Hahahahha..Kan aku masih sekolah. Kenapa harus bawa kue kesukaan mama kamu?" protes Diandra.
"Nggak mau ya sudah. Nanti aku ajak Hana aja ke rumah. Dia juga rajin bantuin mama aku," kataku memanas-manasinya.
"Hahahahah. Oh kamu memilih cewek sialan itu?" kata Diandra emosi.
Aku diam saja tak ingin meresponnya.
"Siapa yang deket sama Mama aku, dia yang aku pilih jadi teman aku," sebutku dan semakin membuat Diandra emosi.
Seketika, dia beranjak pergi. Meninggalkan aku sendiri. Dalam hati, cuek aja. "Memangnya Diandra itu sahabat karib?" gumamku dalam hati.
Tapi, jujur, diantara mereka berdua, mama aku lebih suka dengan Diandra. Mungkin, karena Diandra, anak orang kaya. Tapi, dia norak. Suka pamer barang-barang mewah yang katanya dibelikan orang tua dia dari luar negeri.
Tapi sayangnya, Diandra sedikit judes kalau ngomong sama aku. Sedangkan Hana ngomongnya kalem.
Saat jam sekolah berakhir, aku benar-benar nggak ingin dijemput Papa, dengan mobil CRV nya itu. Karena aku terlalu sakit hati, hari ini.
Bertahun-tahun aku jalani hidup seperti ini, mendapat julukan murid termalas karena sering telat masuk sekolah. Tak hanya sekedar itu, konsekwensinya aku harus menjalani hukuman lari keliling lapangan basket, sampai 10 kali.
Rasanya, kalau bisa lulus besok pagi, aku akan sujud syukur. Diandra atau Hana aku traktir semua makanan kesukaan dia. Itu hanya khayalanku. Andai saja bisa.
"Fit. Papa on the way ke sekolah," kata Papa chat ke aku.
Tapi sengaja hanya aku baca, chatnya. Tak mau kubalas.
Bersamaan dengan itu. Aku buru-buru cari angkot, menunggu di depan halte sekolah.
"Bang.....lewat Sukoharjo?" tanyaku. Sopir angkot itu pun menganggukkan kepalanya.
Di dalam angkot, kupasang headsetku dan kuputar musik Bonjovi di aplikasi youtube aku.
*Drettttt....
*Dretttt....
Papa meneleponku..Tapi aku masih tak mau menerima panggilan teleponnya. Panggilannya aku tolak.
"Fit..dimana. Papa sudah di depan halte sekolah kamu. Tapi, sudah sepi. Nggak ada murid-muridnya lagi." kata Papa masih lewat chat.
Nggak tahu kenapa. Aku benar-benar kesal dengan Papa. "Kapan aku cepet-cepet lulus SMA, biar penderitaan ini segera berakhir." kataku membatin sedih.(***)