Andai saja aku diperbolehkan kos. Pasti aku lebih memilih tinggal di kos-kosan, ketimbang harus ketemu Papa di rumah. Aku juga pernah iseng ngobrol sama Mama, kalau aku ingin kos, dengan alasan ingin mandiri.
Tapi, Mama selalu melarang dan kata Mama, belum saatnya untuk tinggal sendirian.
''Ma.....kata guru Fitri di sekolah. Jadi perempuan itu harus mandiri. Nggak boleh manja sama orang tuanya. Jadi.....Ma.....,'' aku ragu untuk melanjutkan ceritaku, karena takut kena marah Mama.
''Jadi, apa.....?'' tanya Mama ingin tahu.
''Ya....maksud Fitri, Fitri mau coba kos, Ma. Biar Fitri bisa belajar mandiri.'' kataku alasan pada Mama.
''Nggak! Nggak. Nggak ada kos-kosan segala.'' tolak Mama, to the point tanpa mendengar penjelasan aku lebih lanjut.
''Sudah Mama bilang berapa kali. Nggak ada kos-kosan segala. Emang kamu bisa hidup sendiri. Memangnya kamu sudah punya banyak uang? Atau kamu mau bebas ya...biar nggak ada yang mengawasi kegiatan kamu sehari-hari.'' tegas Mama.
''Ya nggak begitu Mama. Aku mau belajar hidup mandiri Ma,'' jelas aku lagi, berusaha meyakinkan Mama.
''Fitri punya kawan Ma. Dia kan dari Jawa. Pindah ke Tanjungpinang, karena ikut neneknya. Terus saat neneknya meninggal, dia diusir dari rumah neneknya itu sama saudara-saudaranya. Akhirnya dia kos, Ma. Dia kos sambil kerja di toko ponsel, buat biayai hidup dia,'' imbuhku lagi, bercerita detail soal Hana, kawan sekelas aku yang hidupnya benar-benar tragis.
''Kamu mau kerja di toko ponsel seperti kawan kamu itu?''
''Sepertinya begitu Ma. Biar Fitri bisa belajar mandiri, cari uang sendiri.'' jelasku lagi.
''Jangan macem-macem kamu. Nanti Papa kamu marah, kamu baru tahu rasa.''
Aku langsung saja ngomong ke Mama, kalau Papa itu sebenarnya nggak peduli sama keluarga.
''Kamu jangan kurang ajar, ngomong seperti itu soal papa kamu.'' bentak Mama.
''Fitri bicara fakta. Papa memang nggak peduli sama keluarganya.'' celetukku kesal.
''Bukti nya, Papa saja mana pernah betah di rumah. Jalan-jalan atau makan bareng sama kita. Papa itu lebih mementingkan urusan kantornya dan urusan-urusan di luar sana yang nggak penting.'' jelasku lagi lebih detail tanpa jeda.
''Fitri.....jangan kurang ajar kamu sama Papa kamu!'' bentak Mama lagi dan aku langsung pergi meninggalkan Mama di dapur.
Aku sedih saat mengucapkan itu. Karena, faktanya memang Papa aku nggak peduli sama keluarganya.
Doaku, hanya satu, yang selalu aku panjatkan kepada-Nya.
''Ya Allah, beri aku secepatnya lulus SMA. Kalau lulus, aku bisa cari kerja dan tinggal di kos-kosan, biar nggak sering ketemu Papa.'' gumamku sedih.
Tak lama ibu menyusulku ke kamar. Dia memelukku, dan aku menangis sesenggukan dalam pelukannya.
''Maafin Mama ya sayang. Mama nggak bermaksud kasar sama kamu. Mama minta kamu jangan berprasangka buruk sama Papa kamu. Dia bekerja, semuanya demi kita.''
Mendengar Mama mengatakan itu, aku semakin sedih. Sebenarnya Mama ini tahu nggak, kalau Papa berkhianat di belakang Mama. Sepertinya Mama nggak tahu akan pengkhianatan Papa.
''Tenang Ma, aku akan cari cara yang tepat, untuk membalaskan pengkhianatan Papa ke Mama,'' pekikku bicara sendiri. Andai Mama tahu, pasti hatinya terluka banget melihat ulah Papa.
*Dreett....
*Dreett....
Ponselku bergetar. Kulihat ada nama Diandra Casanova di layar ponselku. Aku cuek saja dan Mama melihatnya.
''Tuh....teman kamu telepon. Sudah jangan nangis. Masa iya anak Mama gadis yang tangguh ini cengeng begini.'' katanya sembari mengusap air mataku dengan telunjuk manisnya itu.
Aku masih cuek dan tak ingin mengangkat panggilan masuk dari Diandra.
''Udah ya....Mama ke dapur dulu. Ini ada orderan online lagi, buat besok.'' katanya beranjak pergi meninggalkan aku di kamar.
Andai Mama tahu siapa Diandra Casanova yang sebenarnya, pasti Mama marah besar.
''Tenang Ma, sekarang Mama nggak perlu tahu siapa Diandra yang sebenarnya. Nanti, aku akan buat dia menderita seumur hidupnya.'' pekikku lagi dalam hati, masih kesal.
Karena nggak aku angkat, dia chat. Kata Diandra, dia ngajak jalan ke mall. Katanya dia baru dikasih jatah bulanan sama Mama Papanya.
''Hahahahahah. Jatah bulanan dari Mama Papa kamu? Palsu. Kamu pembohong Diandra. Itu uang dari Papa aku kan.....?!'' tuduhku, masih dalam hati. Belum saatnya aku memusuhi dia. Aku masih mengatur strategi bagaimana menjatuhkan dia, suatu hari nanti.
''Jemput aku kalau begitu.'' kataku membalas chat Diandra.
''Oke...aku pakai Yarris ya. On the way ke rumah kamu.'' balas Diandra dan aku hanya membalas dengan mengirimkan emoticon gambar jempol manusia.
Dalam hitungan lima belas menit, Diandra datang.
''Tettttttt.....!
''Tettttt.....!
Bunyi klakson itu menandakan Diandra sudah di depan rumah. Aku pun bergegas keluar.
Di perjalanan, aku bilang sama Diandra, kalau mau kos. Diandra mendukung.
''Ya udah, kalau Mama kamu nggak izinkan, bilang saja sama Papa kamu,'' kata Diandra memberi saran.
''Eh besok malam ladies night. Kita ke pub yuk.'' ajaknya.
''Nggak Diandra. Lagi nggak pengen ke club minggu ini,'' kataku menolak ajakannya.
''Hmm....ya udah nggak apa. Nanti aku ajak Bimo.'' sebutnya.
''Ah....Bimo itu lelaki khayalan yang kau ciptakan di otak kamu. Lelaki yang sesungguhnya itu kan....Papa aku. Chiko Brahmana.'' celetukku dalam hati dan rasanya aku ingin mencakar wajahnya, menjambak rambutnya, biar dia terluka, babak belur dan berdarah-darah.
''Kita ke mall aja ya....hari ini. Aku kepingin beli sepatu incaran aku. Harganya Rp500 ribu. Sepasang sama tasnya, jadi Rp1,2 juta.'' sebutnya.
Aku diam saja saat dia pamer mau beli barang impiannya yang menurut aku harganya selangit. Aku juga sebenarnya punya jatah bulanan dari Papa. Tapi, aku yakin, tak sebanyak jatah bulanan yang diberikan ke Diandra.
''Dasar jahanam perempuan di depan aku ini!'' makiku, lagi-lagi masih menggerutu dalam hati.
''Kamu itu, pembohong besar, Diandra,'' andai aku bisa memaki dia dengan kalimat itu. Hahahahah!
''Nanti kamu beli apa?'' tanyanya.
''Hmmmmm.....apa ya. Aku kayaknya lagi bokek. Nggak beli apa-apa. Cuma mau nganterin kamu shoping aja.'' jawab aku sambil terlihat pura-pura bingung mau jawab apa.
''Nanti setelah shoping, kita makan aja ya. Aku kepingin makan ikan bakar.'' sebutnya.
''Boleh. Aku ikut apa kata kamu saja.'' jawabku.
Tiba di mall, Diandra berkeliling, mencari sepatu dan baju incarannya itu. Aku, merasa jadi ajudan yang lagi nganter anak pejabat shoping. Hahahahaha! ''Sabar.....Fitri ya....., jangan iri sama Diandra yang dapat kucuran dana buat shoping dari Papa kamu itu. Sabar ya....orang sabar disayang sama Tuhan.'' kataku, bicara dalam hati.(***)