*Enam bulan sebelumnya*
Hari ini keberangkatan Gladis menuju jakarta kediaman kakak perempuannya Gita, sejak dulu Gladis sudah lama menantikan momen ini dimana ia akan melanjutkan kuliahnya di jakarta dan menjadi anak metropolitan.
"dis, nanti kalau di rumah kakakmu jangan malas-malas ya, dibantu kerjaan rumah kakakmu apalagi kakakmu itu juga bekerja pastilah dia sangat sibuk" pesan ibu sebelum kepergian Gladis.
"Iya bu, Gladis tau kok" jawab Gladis.
"Sekolah yang rajin ya nak, jangan bikin kakak kecewa, ga sedikit biaya yang dikeluarkan kakakmu untuk biaya kuliahmu itu" ibu menyambung nasihatnya.
"Iya ibuku sayang" Gladis mencium tangan ibunya.
Gladis melambaikan tangan dari dalam mobil kepada ibu dan adik laki-lakinya yang masih SMP, wajah ibu tampak sendu melepas kepergian Gladis, berbeda dengan Gladis yang ceria dan semangat menantikan ketibaannya di kota Jakarta.
~~~~~
Perempuan berkerudung hitam dan bergamis kuning kunyit itu telah gundah menunggu kedatangan adiknya dari kampung, karena sebagai wanita karir tentu saja waktunya sangat padat, jadi semua harus tepat pada waktunya agar tidak mengacaukan jadwalnya.
"Dis kok lama banget bis nya sampe?" Gita bertanya sinis pada Gladis yang baru saja turun dari bis.
"Iya kak, tadi bisnya kehabisan bahan bakar jadi agak lama ngantri di pom" jawab Gladis mencium tangan Gita.
"Yaudah ayo buruan, kakak ada meeting lima belas menit lagi" Gita langsung berjalan menuju mobil pribadinya.
"Iya kak." Gladis menenteng tas besar dan juga plastik berisi sedikit oleh-oleh dari ibunya itu sendiri.
"Dis nanti kamu buka aja sendiri rumahnya, kamar kamu yang dekat kamar mandi ya, nanti bersihin aja dulu kalau agak kotor" Gita bicara sambil fokus menyetir.
"Memangnya kakak ga ikut pulang?"
"Kan kakak dah bilang ada meeting, ini aja buru-buru karena jemput kamu, jadi mepet banget!" Gita agak kesal.
Kurang lebih 10 menit mereka sudah sampai di depan rumah ber cat orange dan berpagar hitam, yang didepannya dipenuhi tanaman bunga milik Gita.
"Turun gih dis!, kakak buru-buru banget ni ga bisa anterin kamu ke dalam" suruh Gita.
"Iya kk." Gladis bergegas membawa tasnya, karena ia sangat takut jika kakaknya bertambah kesal.
Gita sebenarnya kakak yang baik, hanya saja Gita pembawaannya agak emosional, ia terlalu obsesi akan karirnya, baginya karir nomor satu, sedangkan suami dan keluarga nomor sekian.
"Wah rumah kak Gita cantik banget ya" Gladis kagum akan keindahan di dalam rumah Gita, ia langsung meletakkan tas barangnya dan langsung menyusuri rumah Gita.
Memang rumah Gita tidak terlalu besar, namun berkesan minimalis dengan tiga kamar tidur, dan ruang tamu yang didominasi warna cream berpadu wallpaper batik yang manis.
"Kamar kak Gita cantik banget, kasurnya gede banget empuk lagi " Gladis merebahkan badannya di tempat tidur Gita yang berukuran king, yang dilapisi set bed cover berwarna ungu yang sangat manis.
"Suami kak Gita kemana ya? aku dah lama banget ga ketemu bang Diko." Gladis bertanya pada dirinya sendiri, sambil tubuhnya merasakan empuknya kasur ini, tangan kakinya terus bergerak-gerak merasakan nyamannya kain halus yang terasa dingin.
Ya.. Gladis memang sudah lama tidak bertemu dengan abang iparnya itu, terakhir saat ia kelas tiga SMP, dan sekarang Gladis sudah tamat SMA, jadi kurang lebih 3 tahun mereka tidak bertemu.
"Udah ah nanti kak Gita marah kalau tahu aku tidur-tiduran di kamarnya" Gladis merapikan alas kasur yang sedikit kusut karenanya.
***
Seminggu sudah Gladis tinggal dirumah Gita, cukup jenuh karena Gladis belum mempunyai teman dan kegiatan kuliah pun masih satu minggu lagi.
"dis, nanti kalau bang Diko pulang, bilangin kalau kakak ada meeting mendadak hari ini." suruh Gita yang sudah rapi.
"Ini kan hari minggu, kakak gak libur?" Tanya Gladis bingung.
"Libur ga libur sama aja, di rumah juga ngapain bagus kerja kan!" sahut Gita tegas.
Gita memang penggila kerja, saat libur pun ia tetap bekerja, padahal hari ini adalah kepulangan suaminya dari luar kota.
"Oiya, kamu kalau mau makan beli aja biasa di warung padang itu ya!" Suruh Gita lagi sambil mengenakan sepatu heels pendeknya dan setelah itu langsung masuk ke dalam mobil.
Gita pun melajukan mobilnya, secepat kilat ia telah menghilang dari pandangan Gladis. Lagi-lagi Gladis harus menikmati kesendiriannya di rumah ini, karena merasa jenuh, Gladis pergi berjalan kaki di dekat-dekat rumah kakaknya dan tak sengaja ia melihat warung yang menjual sayur mayur segar.
"Udah lama ni ga masak, bosen juga makan nasi bungkus, hari ini masak ah." Ucap gadis langsung menyambangi warung yang cukup ramai itu.
Gladis memilih-milih bahan makanan yang akan dimasaknya hari ini, ia mengambil satu ikat sayur kangkung yang cukup, dan juga bahan-bahan yang lain.
"Saya baru liat neng, tinggal dimana?" Tanya ibu punya warung.
"Iya bu, saya baru semingguan disini, tinggal dirumah kak Gita" jawab Gladis tersenyum.
"Oh adiknya mbak Gita ya, pantes agak mirip-mirip tapi kamu lebih manis, kalo Gita putih" ucap ibu itu.
"Heh.. ibu bisa aja" jawab Gladis tersenyum, dan beranjak dari warung setelah melakukan pembayaran.
Gladis memulai aktivitas masaknya, dia memang cukup pandai memasak karena sudah terbiasa di kampung, kalau ibunya berjualan maka Gladislah yang mengambil alih pekerjaan rumahnya.
"Akhirnya beres juga, tumis kangkung, ikan asin, sambel terasi ahh mantap." Sari tak sabar menyantap hidangan di meja.
Tiba-tiba… ting .. tong
"Itu pasti bang Diko," Sari bergegas berlari membuka pintu.
"Bang", Sari mencium tangan abang iparnya itu.
"Eh Gladis kamu sudah datang" sapa Diko ramah.
"Sudah seminggu bang" jawab Gladis.
"Gita mana ya?" Diko heran, istrinya tak menyambut kedatangannya.
"Tadi kak Gita bilang ada meeting mendadak" jawab Sari.
"Huhh selalu saja begitu!" Diko mengeluh pelan, dan segera memasuki kamar nampaknya ia sangat lelah.
Gladis pun berlari menuju dapur, perutnya sudah tak bisa kompromi mencium aroma ikan asin yang sudah menunggunya, menyantap hidangan ini dalam keadaan lapar, sungguh nikmat yang sudah lama dirindukan Gladis.
Tak terasa sudah pukul tiga sore, Diko pun keluar dari kamar dan nampak sudah segar dengan baju kaos putih dan celana santai selututnya.
Belum juga tampak kepulangan Gita, karena sudah lapar Diko langsung ke dapur melihat apakah ada sesuatu yang bisa di santapnya untuk menenangkan perutnya.
"Wahh tumis kangkung sama ikan asin, kesukaan aku nih, tumben Gita masak menu seperti ini."
Diko makan dengan lahapnya, ternyata sudah lama ia tak makan makanan seperti ini, karena biasa Gita membelikannya nasi padang, kalau tidak ayam goreng siap saji, padahal makanan favorit Diko sederhana saja seperti yang dimakannya sekarang.
*MALAM ITU*
"Sayang.. kamu kok makin sempit sih" ..
"Kan kamu jarang-jarang mas, jadinya gini sempit dehh"
"Iya..aku suka sayang nikmat banget"
"Iya mas, aku juga suka punya kamu makin gede aja"
"Ahh...akh..ahh"
"Goyang terus sayang lebih cepat aku mau keluar"
"Iya sayang, ini aku goyang yang kencang, keluarin ya"
"Akhh...ahhh..ma….ma..mas.. Aku keluar, aahhkkghh" teriak Gita puas.
Gladis terkejut mendengar rintihan dari dalam kamar utama, namun bukannya ia segera meninggalkan suara itu tapi ia malah semakin penasaran dengan kelanjutan rintihan itu.
"Nikmat banget sayang"
"Iya sayang, tinggal aku...aku belum keluar"
"Iya sayang, cepat keluarin aku uda capek"
"Iya sayang, ini dikit lagi mau keluar kok, aww...ahhhh...akhggg..Gi..gita sayang..aahhkkg…." Kali ini suara Diko yang menjerit panjang.
Kini kamar itu hening, sepertinya sepasang suami istri itu telah selesai menikmati pergumulan mereka hingga tertidur lelap.
Gladis bergegas kembali ke kamarnya, ia takut salah satu dari mereka keluar dan memergokinya di depan kamar sedang menguping suara rintihan adegan dewasa barusan.
Entah kenapa malam ini Gladis tak bisa tidur, ia terus terbayang akan desahan kedua insan tadi, ia membayangkan apa yang terjadi di dalam kamar itu.
Setan apa yang menggodanya, tiba-tiba muncul dibenaknya ingin merasakan kenikmatan yang dirasakan oleh kakaknya, namun ia sadar ia belum punya suami, akhirnya ia coba memejamkan matanya dan melupakan semua itu.
Seminggu sudah Diko di rumah, dan Gita pun mengambil cuti untuk menemani libur suaminya, mereka menghabiskan waktu bersama dan selalu bersenda gurau layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, tanpa disadari Gladis merasa iri menyaksikan kemesraan sepasang suami istri itu.