Sebulan sudah Gladis memijakkan kaki di kota jakarta ini, ia pun sudah memulai aktivitas kuliahnya dua minggu belakangan ini, ia mulai terbiasa dengan cara bicara orang Jakarta, sedikit-sedikit ia mulai mengikuti.
"Dis.. gimana di kampus udah punya teman baru?" Tanya Gita sambil memencet remot tv.
"Udah dong kak, seru banget, teman-teman juga pada asik," jawab Gladis yang asik dengan cemilannya.
"Tapi kamu jangan terlalu ngikutin gaya mereka, pandai-pandai pilih teman yang baik," Gita menasihati.
"Iya kak," Gladis menurut.
"Eh satu lagi, kakak gak larang kamu pacaran, tapi kalo bisa gak usah dulu, fokus aja dulu sama kuliah, nanti kalau sudah tamat pasti ada yang lamar kok," Gita masih dengan nasihatnya.
"Seperti kakak dulu kan, langsung dilamar sama bang Diko," Gladis menggoda Gita.
"Iya, ternyata dia sudah lama naksir, tapi baru berani bilang pas kakak sudah selesai kuliah."
"Emm,bang Diko itu memang jarang pulang ya kak, emang kerjanya dimana?" Tanya Gladis.
"Iya, pulangnya gak menentu, kadang dua minggu sekali, kadang sebulan sekali, bisa juga tiga bulan sekali," Gita menjelaskan.
"Lho kakak gak papa ya? terus gak kesepian kalau gak ada bang Diko?" tanya Gladis. lagi.
"Ya gaklah, kakak kan dah biasa, justru kakak bisa fokus sama kerjaan kakak, kadang mengurus suami tiap hari capek juga tahu!" terang Gita sambil ikut mengunyah cemilan.
"Masa sih capek kak, bukannya punya suami itu enak, ada yang nemenin kalau bobok, terus ada temen buat mesra-mesraan," goda Gladis sambil mencubit pinggang Gita.
"Huss.. kamu ya, tahu cuma enaknya aja!" selah Gita.
"Emang kakak gak takut ya, kalo disana bang Diko.. amit-amit ya, mungkin ada cewek lain gitu?" Gladis makin ingin tahu.
"Hahaha… pelakor gitu!" Gita malah tertawa.
"Yee ketawa dia, iya sekarang kan musim pelakor kak, apalagi bang Diko kan ganteng, kakak gimana sih!" Sungut Gladis sedikit bingung.
"Abangmu itu laki-laki setia, dia itu sama seperti kakak, cuma fokus kerja, lagi pula di Bogor itu dekat rumah orangtuanya, jadi gak mungkin dia mau macam-macam," Gita menjelaskan.
"Oh ada ortunya, bagus deh kalo gitu, jangan sampai bang Diko punya wanita idaman lain disana!" Gladis mengepalkan tangannya.
"Mau kamu tonjok gitu kalo dia selingkuh?" Gita geli melihat tingkah Gladis.
"Iya mau aku kasih bogem spesial, haaaaa."
Tak terasa sudah lumayan larut malam, jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam.
"Dis, tidur gih… awas kesiangan besok!" Suruh Gita.
"Iya kak, udah ngantuk memang," Gladis meninggalkan Gita menuju kamar.
*Keesokan hari*
"Ehem.. mau bareng gak," suara laki-laki mengagetkan Gladis.
"Gak usah, aku naik angkot aja," Gladis menolak ajakan laki-laki bermotor besar yang tak dikenalnya ini.
"Yaudah.. besok mau ya," goda lelaki itu.
Gladis tak menjawab dan terus berjalan menuju angkutan umum yang kini menjadi transportasi langganannya menuju kampus.
Kampus ini menjadi pemandangan Gladis hampir tiap hari, kecuali sabtu minggu saat ia libur.
"Hai dis, ke kantin yuk!" Ajak Andin teman Gladis.
"Yuk, aku juga sudah laper." Gladis membereskan buku-bukunya.
Kantin dipenuhi para mahasiswa yang sedang beristirahat, gerobak mie ayam bakso itu seolah memanggil Gladis dan memaksanya untuk segera mampir agar bisa menyantapnya.
"Emm baksonya enak ya ndin," ucap Gladis.
"Iya, aku juga suka banget, apalagi mie ayamnya maknyus," sahut Andin.
"Dis kalo minggu kamu kemana?" Tanya Andin.
"Gak kemana-mana, di rumah aja," jawab Gladis.
"Gak jalan gitu sama kakakmu?"
"Dia sibuk, weekend pun tetap kerja, kakakku itu penggila kerja banget," Gladis menyeruput es teh manisnya.
"Ya ampun, bete banget donk pasti!" sahut Andin.
"Banget, padahal aku pengen banget jalan-jalan keliling Jakarta." Gladis bersemangat menghabiskan baksonya.
"Hari minggu kita jalan yuk! aku jemput ke rumahmu?" ajak Andin.
"Beneran?" Gladis sumringah atas ajakan Andin.
"Yaiyalah masa bohongan, kamu ya." sahut Andin.
*Hari minggu*
Gladis tak sabar menantikan hari ini, dimana ia akan meninggalkan sejenak kebosanan dan kesepian rumah yang hampir sebulan ditinggalinya ini.
'duh pake baju mana ya, yang ini..apa yang ini.. kira-kira Andin mau ngajak jalan kemana ya?' guman Gladis yang bingung akan koleksi bajunya yang itu-itu saja.
Hampir satu jam Gladis bersiap, dan terpilihlah baju kaos warna bata yang pas di badan, dan celana jeans pensil yang membuat kaki jenjangnya semakin indah, ditambah jaket jeans andalannya yang selalu ia pakai jika ingin bepergian agak jauh.
Gladis sudah menunggu kedatangan Andin di teras, tak henti ia melirik jam silver di tangan kirinya, sudah tak sabar akan kepergian hari ini, tiba-tiba mobil hitam berhenti di depan rumah itu.
'kayanya Andin tu,' gumam Gladis, yang langsung beranjak dari kursi untuk memastikan kalau yang datang itu memang Andin.
"Lho dis mau kemana?", Sapa Diko yang baru saja turun dari mobil.
"Eh bang Diko, aku kira temanku yang datang," Gladis kaget ternyata itu Diko bukan Andin.
"Lagi nungguin teman? Memangnya mau kemana?" Tanya Diko ramah.
"Iya nungguin Andin, katanya mau ajak aku jalan hari ini, daripada bete di rumah," jawab Gladis.
Tak lama kemudian Andin pun sampai dengan mobil putihnya.
"Dis ayo!" Ajak Andin dari dalam mobil.
Gladis segera pamit pada abang iparnya, dan mencium tangannya.
"Bang, aku pergi sebentar ya,"
"Tunggu dis, ini buat pegangan," Diko mengeluarkan sepuluh lembar uang berwarna merah dari saku bajunya.
Mata Gladis berbinar menerima uang itu, apalagi jumlahnya yang lumayan banyak untuk dia yang masih kuliah "wah.. makasih banyak ya bang," Gladis tersenyum manis ke Diko dan segera naik ke mobil Andin.
"Dis itu tadi siapa?" Tanya Andin.
"Itu abang ipar aku, bang Diko." Jawab Gladis.
"Ganteng juga ya dis, pasti kakakmu juga cantik,"
"Selain ganteng, abangju juga baik, iya mereka serasi banget." Gladis sibuk merapikan bajunya.
"Kakakmu tidak apa-apa ya ada kamu disiitu? Karena kan…" Andien tak meneruskan kalimatnya.
"Karena ada aku?" potong Gladis, yang langsung paham.
"Iya, kan kamu masih gadis, cantik juga, kan gak enak kalau suaminya dirumah sama kamu," Andin sedikit khawatir.
"Bang Diko jarang di rumah, pulangnya dua minggu sekali, sebulan sekali, kadang tiga bulan sekali, terus kalo dia di rumah kakakku pasti cuti," Gladis menjelaskan.
"Oh, aman deh kalo gitu, sorry ya dis kalau omonganku bikin kamu kesinggung," Andin merasa tak enak hati.
"Santai ajalah, btw.. kita mau kemana ndin?" tanya Gladis kini.
"Aku mau mengajak kamu ke salon, kita creambath biar relax, biar fresh kalo dah masuk kuliah lagi," Ajak Andin
"Boleh tuh, kebetulan aku mau potong rambut bosen sama rambut panjangku, pengen di bentuk gitu ujingnya," Gladis mengelus rambut hitam panjangnya.
"Pas banget, di sana memang best, ga akan nyesel potong rambut di sana," Andin meyakinkan Gladis.
"Iya ndin, sekalian nanti aku mau luluran ahh, kan udah di kasih jajan tadi sama abangku" Gladis semakin semangat.
"Iya dis, kamu pasti ketagihan deh kalo udah nyobain perawatan di sana, apalagi cewek kaya kita tu penting banget dong tampil cantik, iya gak? Goda Andin.
"Iya ndin, untung abang iparku datang tadi, kalo gak, hmm kakakku mana mau dia kasih uang sebanyak ini, dia aja ga pernah ke salon apalagi mau ajak aku," gerutu Gadis.
Gita dan Gladis,memang kakak adik yang berbeda, Gita sangat ambisi dengan karirnya, kulitnya memang sudah putih sejak dulu, ia tak peduli akan penampilan, baginya nyaman dan simple sudah cukup. Sementara Gladis ia gadis yang manis memiliki badan proporsional, dan pandai memasak, serta sangat peduli akan penampilan. Hanya saja karena ia belum memiliki uang sendiri, jadi hanya merawat seadanya, itupun sudah membuatnya tampak bersih dan tak kalah dengan Andin gadis kota yang rajin perawatan, apalagi jika Gladis rutin perawatan ke salon, mungkin ia akan sebanding dengan artis-artis ibu kota.