Puas menikmati hari libur ini bersama Andin, membuat hati Gladis senang dan lebih fresh, sudah lama ia ingin sekali jalan-jalan mendatangi tempat yang keren di Jakarta, dan tadi Andin baru saja mengajaknya ke pusat perbelanjaan yang sangat mewah dan terkenal di Jakarta, membuat mata Gladis terbelalak kagum, ia sangat menyukai tempat itu, namun sayangnya ia tak bisa membeli apapun karena harga baju di sana lumayan mahal untuk dirinya yang belum memiliki penghasilan.
"Hmm.. andai saja kak Gita seperti kakaknya Andin yang sangat royal dan tidak pelit, sayangnya Kak Gita itu sangat pelit dari dulu, kalau pulang kampung aja, ngasih uangnya cuma seratus ribu, padahal uang kak Gita itu banyak, dia punya empat usaha percetakan belum lagi gajinya sebagai manajer di kantor, nasibku deh punya kakak yang perhitungan." Keluh Gladis, karena ia hanya bisa membeli satu sendal saja tadi, itu pun sisa uang dari Diko setelah ia pakai untuk perawatan di salon kecantikan tadi.
Tak tanggung-tanggung selain merubah gaya cuttingan rambutnya, Gladis juga memberikan treatment mahal pada rambutnya, smoothing keratin yang sedang hits saat ini membuat rambut lurusnya semakin lembut dan berkilau, dan tentu saja wajah Gladis terlihat segar dan beraura, karena tadi Andin membayarinya biaya treatment untuk wajah, alhasil wajah Gladis terlihat semakin mulus dan glowing.
"Baru sekali aku perawatan di sana, aku sudah merasa sangat berubah, apalagi kalau sering, bisa-bisa kulitku akan bertambah putih dan wajahku semakin bersinar, nampaknya aku harus mencari solusi bagaimana caranya agar aku memiliki uang sendiri, agar aku bisa pergi ke salon itu di setiap bulannya." Tentu saja Gladis
Jadi ketagihan dengan apa yang dilakukannya hari ini.
Hari sudah sangat sore, Gladis harus cepat pulang ke rumah, ia takut Gita akan memarahinya karena terlalu lama pergi keluar, apalagi Gladis tentu tak lupa kalau ia memiliki kakak yang memang pemarah.
"Dari mana kamu dis?" Tanya Gita dengan wajah yang tak ramah.
"Jalan-jalan sama Andin kak," jawab Gladis pelan.
Gita memanjangkan lehernya melihat mobil Andin yang melaju meninggalkan rumahnya, "teman cewek kan?"
"Iya kak, aku kan sudah bilang semalam sama kakak, kalau hari ini mau jalan-jalan."
"Iya, tapi kan gak sampai lupa waktu seperti ini." Cetus Gita.
"Iya maaf kak, soalnya aku sudah lama banget pengen jalan-jalan."
"Ingat tujuan kamu ke Jakarta untuk kuliah, bukan jalan-jalan ngabisin waktu kayak gini," sungut Gita.
"Iya kak, cuma hari libur aja kok, kalau hari biasa aku janji akan fokus kuliah."
"Kakak gak mau ya, uang kakak habis sia-sia, biaya kuliah kamu gak murah!"
"Iya kak, aku ke kamar dulu," Gladis berlalu meninggalkan Gita yang masih berhadapan dengan laptopnya di meja ruang tamu.
Sampai di kamar Gladis langsung mengunci pintu kamarnya, ia melempar jaket, tas, dan baju ke sembarang arah, Gladis kesal akan ucapan Gita tadi, "belagu banget sih kak Gita, mentang-mentang dia punya duit, bisa ngomong seenaknya tanpa mikirin perasaanku!" Gladis merasa sakit hati, bila kesal Gita selalu mengatakan itu, ya walaupun memang dia yang membiayai kuliah Gladis.
Gladis memiliki hati yang sensitif, gampang menangis bila mendengar ucapan yang tak berkenan di hatinya, tapi demi kelanjutan kuliahnya, dan juga ia tak mau pulang ke kampung, maka Gladis harus tahan dan terbiasa dengan mulut Gita yang cukup tajam, Gita bukan tipe wanita yang bila marah akan mengomel panjang, tapi ia tipe yang sekali bicara sangat menusuk ke jantung.
***
"Sayang kamu masih sibuk ya?" Tanya Diko menghampiri Gita yang jari-jarinya menari lincah di keyboard laptop itu.
"Iya, ini pekerjaan besok harus aku selesaikan hari ini juga."
"Lho kenapa harus hari ini, kan itu untuk besok, jangan terlalu lelah sayang," ucap Diko lembut.
"Tidak bisa, karena besok aku ada agenda lain, jadi hasil laporan ini akan kuserahkan pagi-pagi, agar aku bisa pergi ke tempat lain." Sahut Gita tanpa menoleh ke suaminya itu.
"Kamu mau kemana besok?"
"Melihat proses pembangunan tempat percetakanku yang baru, aku harus mengaturnya, karena aku tak mau ada yang tak sesuai dengan keinginanku."
"Kamu buka cabang lagi?"
"Iya."
Diko menghela napas, saat ini usaha percetakan istrinya sudah empat cabang, belum lagi pekerjaannya di kantor, sekarang ia akan menambah kesibukan lagi, selama ini saja Gita selalu lalai akan kewajibannya, bagaimana nanti, itu hal yang Diko cemaskan, karena sebagai lelaki normal, Diko paling tak bisa jika hasrat kelelakiannya ditolak.
Diko terus memperhatikan istrinya itu, mengenakan baju piyama lengan panjang dan celana panjang, rambut dijepit menggunakan jepitan besar, memakai kacamata bila sedang bekerja, ya.. Gita tak pernah bergaya baik saat keluar ataupun didalam rumah, Diko tak pernah melihat Gita memoles wajah ya dengan lipstik dan bedak, istrinya terlalu nyaman tampil polos sejak dulu.
Hampir setengah jam Diko menunggu Gita menyudahi pekerjaannya, namun belum juga ada tanda-tanda kalau kesibukan itu akan selesai.
"Belum selesai ya?" Tanya Diko pelan.
"Belum."
"Masih lama?"
"Iya, mungkin jam duabelas baru kelar,"
"Oh, memangnya tidak bisa break sebentar?"
"Tidak, aku harus menyelesaikan laporan yang ini."
"Kamu gak haus?"
"Gak."
"Oh.." Diko beranjak dari duduknya.
"Mau ke mana?"
"Ke belakang bikin kopi,"
"Sekalian air putih untukku ya," pinta Gita.
Diko tak menjawab, ia berjalan dengan rasa kecewa, padahal Diko sangat ingin menikmati kopi buatan istrinya, tapi sudah menunggu lama, Gita tak juga peka, padahal bukan sering Diko dirumah, mungkin besok atau lusa ia akan kembali lagi keluar kota dan sibuk dengan urusan kantornya.
"Selalu saja sibuk dengan pekerjaannya!" Gerutu Diko sambil mengambil gelas dan bersiap akan membuat kopi hitam untuk dirinya sendiri.
"Bang Diko, lagi buat apa?" Tanya Gladis yang sudah ada di dapur.
"Mau buat kopi,"
"Abang mau minum kopi?"
"Iya,"
"Biar aku buatin ya bang, tunggu aja di depan, nanti aku antar," tawar Gladis tersenyum, dan langsung mengambil gelas di tangan Diko.
Tercium aroma harum dari tubuh Gladis di hidung Diko, kebetulan Gladis baru selesai mandi, membuat Diko jadi tertarik memperhatikannya. Ya.. Diko sedang melihat Gadis meracik kopi untuknya, ada yang berbeda dari diri Gladis saat ini, karena memang ia merubah bentuk potongan rambutnya, yang membuat wajahnya semakin cantik dan enak dipandang.
Diko memandang tubuh Gladis dari atas hingga kebawah, Ia menyadari kalau adik iparnya ini memiliki tubuh yang indah, pinggang langsing dan bokong yang menonjol, terlebih saat Gladis mengambil sendok yang terjatuh di lantai, bokongnya semakin memanjakan mata Diko, hingga ia terpana melihatnya.
'Mas…" teriakan Gita menyadarkan Diko, ia lupa kalau harus memberi segelas air putih di tangannya untuk Gita.
Diko beranjak ke ruang depan menghampiri Gita yang memanggilnya, Gladis langsung menoleh melihat punggung Diko, ia tahu kalau sejak tadi abang iparnya itu memperhatikan dirinya, Gladis tersenyum senang sambil mengibaskan rambut indahnya.