Memiliki darah murni seorang Lilith bukanlah keinginannya.
Menjadi sasaran untuk dijadikan tumbal, juga bukan kemauannya.
Seandainya saja dia diberikan satu lagi kesempatan untuk memilih, dia akan memilih menjadi manusia tanpa memiliki kekuatan atau keabadian yang sangat menyiksa.
Selama tujuh hari, tak ada tanda-tanda dari James.
Biasanya laki-laki menyebalkan itu akan hadir secara tiba-tiba.
Liana tertawa dalam penyesalan yang sangat dalam. Dia masih ingat beberapa ratus tahun lalu saat pertemuan pertamanya dengan James.
Laki-laki itu duduk di sebuah taman, menunggu seorang gadis selama berjam-jam, sembari menyesap segelas kopi. James yang dulu hanya seorang pemuda laki-laki sederhana yang bekerja di sebuah rosticeria.
Laki-laki itu mencintai seorang gadis pemilik rosticeria, sampai dia lupa jika kastanya sangat rendah dan tak sepantasnya bersanding dengan gadis kaya itu.
Seperti biasa di sela pertemuannya itu, Liana akan selalu memerhatikan di atas kubah Gereja St. John. Dari atas kubah, seluruh pemandangan di Kota Roma akan terlihat begitu indah saat siang hari. Liana dengan darah yang mengalir dalam tubuhnya, memiliki keistimewaan yang tak dimiliki makhluk immortal lainnya kecuali paman kandungnya yang juga memiliki garis tersebut.
Liana yang saat itu menyaksikan dari kejauhan, melesat turun ke bawah, lalu dengan cepat menarik jubah yang sedang dipakai seorang wanita, membuat wanita itu mendelik kepadanya.
"Aku hanya pinjam," ujar Liana saat melihat wajah wanita itu memerah seperti tomat busuk.
Liana juga merampas kantong belanjaan yang berada di tangan wanita itu.
"Kau!"
"Maaf, aku berjanji, aku akan mengembalikannya nanti!" seru Liana dari kejauhan.
Sengaja dia berpakaian seperti itu untuk melihat James dari dekat. Entah sejak kapan, Liana memiliki ketertarikan pada sosok yang selalu dilihatnya menunggu di taman yang sama, dengan segelas kopi yang selalu menemani kesepiannya.
Liana duduk di bangku yang sama dengan James.
"Sedang menunggu seseorang?" tanya Liana dari balik tudungnya.
"Hm, apa urusanmu?" jawab James dengan enggan, tanpa menoleh sedikit pun.
Liana menyodorkan sebuah apel dari kantong belanja rampasannya tadi.
"Kau mau buah?"
James melirik, sebuah tangan dengan jari-jari lentik berkulit putih menyodorkan sebuah apel tepat di depan hidungnya.
"Tidak, terima kasih."
"Kau kan manusia, apa kau tak lapar? Berjam-jam—"
"Aku memang manusia, lalu kau?"
Liana menyadari jika dia baru saja salah bicara. Laki-laki di sebelahnya tak mungkin diberitahu jika dia bukan manusia, tapi makhluk haus darah yang selalu mengincar manusia. Apa perlu dikatakan dia juga menyukai makanannya?
Tak lama kemudian raut wajah James saat itu berseri, dia berdiri ketika melihat seorang gadis dengan gaun berwarna karamel yang memperlihatkan bahunya yang mulus, sedang berlari kecil ke arahnya.
Keberadaan Liana diacuhkannya.
Diakui Liana, gadis itu memang sangat cantik. Kulitnya begitu putih seperti susu, rambut pirangnya yang dikepang lalu dibiarkan beberapa helai menjuntai di samping wajahnya, dengan wajahnya yang bulat, matanya yang besar, hidung mancung, sekilas gadis itu tampak seperti boneka bagi Liana.
"Marge, kau terlambat," ujar James.
"Maaf, ayahku menahanku untuk pergi. Kurasa dia mulai mencurigai hubungan kita berdua, James," ucap Marge—gadis cantik di samping James—dengan wajah sendu.
Liana tak tahu harus pergi atau tetap bertahan berada di bangku tersebut dan mendengarkan percakapan mereka berdua.
James merasa risih melihat Liana yang ada di bangku, dia melirik Liana lalu bertanya, "Sampai kapan kau mau duduk di sana? Kekasihku baru saja tiba, mungkin kau bisa mencari tempat lain untuk duduk."
Dengan terpaksa dan menahan dongkol, Liana beranjak pergi dari tempat itu. Sebelum pergi dia menoleh ke belakang dan melihat dengan perasaan jengkel, ketika dilihatnya James mengecup kening Marge dengan penuh cinta.
"Lihat saja, tak lama lagi hubunganmu dengan manusia itu akan putus!" maki Liana lalu mengerucutkan bibirnya dan pergi dari sana.
Di malam harinya Liana kembali berada di kubah Gereja St. John.
Kubah itu selalu menjadi tempat favoritnya selama ini. Dia tentu memiliki alasan kenapa dia selalu berada di atas kubah, meski dia tahu jika ada seseorang yang melihatnya akan menjadi masalah besar bagi dirinya.
"Tangkap mereka!"
Cuping telinga Liana bergerak pelan, sesaat dia mendengar teriakan beberapa orang di tengah keramaian.
Pendengaran Liana yang sangat sensitif mampu menangkap sinyal dari jarak ratusan meter.
"Mereka berbelok ke arah gang! Tangkap mereka, pencuri-pencuri itu harus segera diberi pelajaran!"
Saat itu beberapa pencuri yang baru saja mengambil beberapa barang di sebuah toko kelontong tak jauh dari gereja ketahuan oleh beberapa warga. Mereka sempat melukai pemilik toko dengan menusuk bagian pinggang sampai pemilik toko jatuh terkapar tak sadarkan diri.
Liana melompat turun dan mengejar arah suara yang didengarnya barusan.
Beberapa warga yang mengejar pencuri berhenti di sebuah gang sempit.
Apa mungkin mereka kehilangan jejak?
"Jatuhkan senjata kalian atau kami akan menghabisi nyawa laki-laki ini!"
Liana terkesiap, tak mempercayai apa yang baru saja dilihatnya. Salah satu pencuri berkulit hitam menodongkan sebuah senjata tajam ke arah leher seorang laki-laki, dia muncul entah darimana.
"La-laki-laki itu?"
Lelaki berkulit hitam itu mengancam warga untuk meletakkan senjata yang mereka bawa, atau mereka akan menyakiti seorang laki-laki yang tak lain adalah James. Liana bisa saja menyerang mereka tanpa disadari kehadirannya oleh sekelompok pencuri itu, tapi dia tak mau siapa pun mengetahui identitas dirinya.
Jika mereka mengetahui siapa dirinya, para pemburu yang bersembunyi dari segala penjuru dengan senang hati muncul dan menangkapnya. Dia malas berurusan dengan mereka!
"Lepaskan laki-laki itu!"
"Kalian jatuhkan senjata, baru kami akan melepaskan laki-laki ini!"
Bukannya menuruti, warga justru mendekati mereka dan tanpa banyak bicara sebuah pisau dalam genggaman pria berkulit hitam itu menusuk tepat di bagian leher James. Semburat darah mengenai pakaian pria berkulit hitam dan juga pakaian James.
Liana merasakan sensasi berbeda pada dirinya, ketika menghirup aroma darah dari tubuh James, yang terasa begitu segar. Dia berusaha menahan gejolak di dalam dirinya, dan menatap dengan layu ke arah James saat itu.
Dia tak bisa berbuat apa pun!
Setelahnya lelaki berkulit hitam melemparkan tubuh James secara sembarang dan kembali berlari, sementara warga kembali mengejar tanpa mempedulikan kondisi James yang sekarat.
Tubuhnya mengejang, kedua mata membelalak, mulutnya menganga tanpa mampu mengucapkan kata-kata, hanya ada rasa sakit yang dirasa pada tubuhnya.
Dia akan mati!
Sebentar lagi pasti mati!
Setelah sepi, Liana keluar dari persembunyiannya dan berdiri di depan tubuh James yang mengejang.
"James?"
James tak menjawab, kedua matanya menatap Liana penuh harap.
"Aku akan membantumu, dan membuat ingatanmu lupa pada setiap kejadian yang terjadi. Tapi setelahnya selama 17 tahun kau akan menderita setiap bulan purnama muncul di permukaan," ujar Liana dengan suara dan aura yang begitu dingin.
James sempat merasakan aura dingin itu membuat tubuhnya membeku seketika, rasa ketakutan begitu jelas di wajahnya ketika dia merasa kematiannya justru dipercepat dengan kehadiran Liana yang sangat menakutkan di matanya.
"Setelah itu aku akan bernegosiasi denganmu."
Perubahan pun terjadi di depan mata James yang sekarat.
Wajah cantik itu semakin pucat, kedua matanya berwarna merah darah, dari tepi bibirnya muncul dua taring panjang berwarna putih seputih tulang. Dada James seakan terhimpit batu besar melihat sosok yang menakutkan dari Liana.
Liana berjongkok, lalu mengangkat satu pergelangan tangan dan jari-jari di tangan kanannya mulai mengeluarkan kuku-kuku yang sangat tajam menyerupai cakar.
Liana mendekatkan jari telunjuknya ke arah pergelangan tangan dan menyayat nadinya sendiri sehingga mengeluarkan darah segar berwarna merah pekat.
"Buka mulutmu!" perintah Liana. Susah payah Liana membantu James membuka mulutnya, diminumkannya darah yang keluar dari tangannya. Setelah itu Liana mencabut pisau yang tertancap di leher James. Dia pun bangkit berdiri dan meningggalkan tubuh James dengan luka yang mulai menutup dengan sendirinya.
"Sampai ketemu lagi 17 tahun kemudian, James!"