Chereads / The Lost Moon : Final / Chapter 3 - Berdamai Dengan Masa Lalu

Chapter 3 - Berdamai Dengan Masa Lalu

Venesia, 1938

Tujuh belas tahun berlalu dari malam nahas yang hampir membuat James kehilangan nyawanya saat itu.

Sesuai yang dikatakan Liana saat itu, tak ada satu kejadian pun yang ada di dalam ingatan James, bahkan dia tak tahu jika dalam dirinya telah terjadi perubahan dari tahun ke tahun dengan proses yang sangat menyakitkan.

Laki-laki itu tak lagi bekerja di rosticceria milik keluarga Marge. Semenjak kejadian di malam itu, dia bahkan tak lagi mengingat siapa kekasihnya, seperti apa kehidupan sebelumnya.

Seseorang yang dermawan menemukan dirinya terkapar tak sadarkan diri di sebuah gang sempit, membawanya kembali ke mansion besar miliknya, dan menganggap James sebagai anak laki-lakinya sendiri.

Tuan Roberto Romano, salah seorang terpandang di kota, memiliki banyak anak asuh dari anak-anak yang kehilangan orang tua saat Perang Dunia II, adalah orang yang sangat berpengaruh.

Tubuh rentanya selalu terlihat di setiap sudut jalan memberikan makanan pada orang-orang miskin dan gelandangan yang tak memiliki keluarga.

Dia kehilangan anak laki-laki satu-satunya karena serangan seorang budak makhluk abadi yang kelaparan berkeliaran di malam hari mencari mangsa, menjadikan anak satu-satunya yang dimiliki Roberto terpaksa meregang nyawa, membuat laki-laki tua itu tak lama ditinggalkan istrinya yang tak kuat menahan derita batin karena kehilangan penerus keluarga!

Roberto kehilangan, dan menemukan kembali gairah hidupnya setelah mendapatkan James tinggal bersamanya.

"Ayah, bagaimana kesehatanmu?" tanya James.

James menuruni anak tangga, dirinya terlihat begitu menawan, serupa seorang bangsawan. Rambut pirangnya yang panjang diikat ke belakang dengan sebuah ikat rambut berwarna hitam.

Ketampanan yang dimilikinya dulu tak pernah berubah.

Bahkan Liana, jatuh cinta padanya berkali-kali dengan pesona yang dimilikinya.

"Kurasa, aku masih akan hidup seribu tahun lagi, Jeremy," jawab Roberto.

Jeremy, nama yang diberikanj Roberto padanya. Dia tak ingat siapa dirinya, dan Roberto memberikan satu nama yang sama dengan nama mendiang anak laki-lakinya yang mati terbunuh.

"Sudah beberapa hari ini kau demam, apa kau tak ingin memeriksakan kesehatanmu?" tanya James.

"Jemy, aku baik-baik saja. Sepertinya aku butuh istirahat, dan tak bisa mengurus perusahaan selama beberapa hari. Mungkin sudah waktunya kau menggantikan aku, bagaimana menurutmu?"

James dengan kemampuan baru yang dimilikinya, membuatnya mampu menyerap setiap hal baru dengan cepat.

"Ayah, bukan saatnya untuk membicarakan hal itu, kuantar kau ke kamar, lalu istirahatlah."

James menutup pintu balkon yang dibuka Roberto.

Entah mengapa, James merasa malam itu berbeda dari malam sebelumnya. Ketika dia menatap keluar, langit begitu pekat, tak ada satu bintang pun di sana.

Bulan membulat dengan sangat indah, membentuk satu purnama yang sempurna.

Saat itu James kembali merasakan rasa sakit yang sama setiap bulannya, di saat purnama terjadi.

Dengan menahan rasa sakit yang mulai terasa, James mengantar Roberto ke dalam kamar, dibantunya laki-laki itu naik ke atas tempat tidur, dimatikannya lampu, kemudian dia kembali ke kamarnya di lantai dua.

"Lagi-lagi rasa sakit yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Setiap purnama, aku selalu merasakan rasa sakit yang sama!" rutuk James pada dirinya sendiri.

Di saat purnama muncul, selain rasa sakit yang terus menyiksa seluruh tulang persendian, dia merasakan darahnya seakan menggolak di dalam tubuh, membuatnya serasa terbakar.

Di saat dia mencoba menahan rasa sakitnya seorang diri, dia melihat daun jendela membuka tutup dengan sendirinya.

"Seingatku, aku sudah menutup jendela, lalu siapa yang membukanya?"

James mengerang tertahan, kedua tangan mendekap tubuhnya sendiri berusaha menahan rasa sakit yang menyerang bertubi-tubi.

"Tidak lagi, sudah cukup aku menahan selama belasan tahun setiap bulannya rasa sakit ini seperti ingin membunuhku!"

James meluruh ke lantai, lalu menggeliat, kemudian meringkuk, mendekap kedua kakinya sendiri merapat ke tubuhnya.

Lagi-lagi daun jendela berbunyi, gorden melambai, tapi tak ada siapa pun di sana.

Keringat mengucur deras di dahi James, lalu membasahi wajahnya.

James melepas kaus yang dikenakannya, saat ini tubuhnya terasa panas terbakar!

"James ...."

Samar didengarnya suara perempuan memanggil nama yang tak asing baginya.

Tapi ini di lantai dua, lalu suara siapa yang memanggilnya?

"Hm?"

"James, malam ini tepat 17 tahun," ujar suara itu lagi.

"Persetan dengan 17 tahun, siapa kau!" maki James pada sosok yang belum terlihat dan hanya terdengar suaranya.

Suara itu begitu lembut dan dingin.

Suara itu tak asing di telinganya, tapi dia tak bisa mengingat siapa pemilik suara itu.

Ketika gorden tersibak lebih tinggi, dilihatnya sosok seorang wanita dengan santainya duduk di kerangka jendela membelakanginya.

Rambut panjang dan hitam, aroma lavender, semuanya tak asing bagi James.

"Ini lantai dua, bagaimana caranya kau bisa duduk di sana?" tanya James dengan kedua mata membulat tak percaya.

Rasa nyeri itu semakin menjadi ketika wanita itu melompat masuk ke dalam kamarnya.

Dia cantik.

Tapi ... tatapannya matanya bukan tatapan mata seorang manusia, ada kegelapan yang begitu dalam ketika James melihat ke arah mata wanita itu.

"Kau tak ingat padaku?"

"Pe-pergi, aku tak tahu siapa kau!"

"Liana," ujar Liana dengan pelan.

"Aku pasti bermimpi karena rasa sakit di tubuhku yang benar-benar menyiksa dengan tiba-tiba, membuatku bermimpi dalam keadaan terjaga."

Liana mendekat, semakin mendekat, lalu membungkukkan tubuhnya. Kedua tangannya terangkat, diletakkan di kedua pelipis James.

"Kau tak bermimpi, James. Malam ini aku akan menagih kesepakatan padamu," ujar Liana.

Wajah Liana begitu dekat di mata James.

"To-tolong tinggalkan aku," pinta James dengan wajah yang semakin pucat.

"Bagaimana bisa aku meningalkanmu?"

"Pergilah, kumohon. Siapa pun dirimu, pergilah."

"Aku akan pergi begitu aku mendapatkan jawabanmu."

James ingin berteriak ketika merasakan sakit di kepalanya menghentak-hentak dirinya, tapi suaranya seakan tertahan dan teredam secara tiba-tiba. Sentuhan Liana di kepalanya, tak lain untuk mengembalikan seluruh ingatan James pada masa lalunya.

Seluruh kejadian di gang sempit saat James meregang nyawa, kembali ke dalam ingatan James.

James pun mengingat jika gadis di hadapannya adalah orang yang menyelamatkannya saat itu, dan dia bukan manusia!

Napas James tersengal-sengal, tak percaya pada kejadian yang baru saja dialaminya.

"Kau!"

"Kau sudah ingat semuanya?"

"Kau, kau bukan manusia, kan?"

Liana mencebik.

"Menurutmu?"

"Iya, kau bukan manusia!"

"Malam ini kau harus memberi aku jawaban. Aku telah menolongmu, memberimu kehidupan dari darahku. Jika kau tak bisa memberiku jawaban, aku akan mencabut kembali kehidupan yang telah kuberikan padamu, James," ucap Liana tegas.

Rasa dingin menyebar di dalam kamar James, seakan aura dominan dalam diri Liana menguasai seluruh ruangan, membuat James tak mampu berkutik.

"A-apa yang kau mau?"

James menginginkan kehidupan, masih banyak hal yang belum selesai baginya.

Sesaat dia teringat kembali pada Marge, gadis yang sangat dicintainya. Rasa bersalah muncul di dalam hati James.

Berarti dia telah meninggalkan gadis itu belasan tahun lamanya?

Apa gadis itu mencarinya?

Dia harus menemui Marge dan menjelaskan segalanya!

"Kau tak perlu mencari Marge," ujar Liana seakan memahami isi kepala James saat itu.

"Apa maksudmu?"

"Aku telah membuatnya lupa padamu. Sekarang hanya ada urusan antara kau dan aku, James. Kau tak memperoleh kehidupan itu secara gratis. Jadi—"

"Katakan, bagaimana aku harus membayarnya?"

Nyawanya seperti berada di ujung tanduk ketika berbicara dengan Liana dalam keadaan tubuh yang sakit tak terperikan.

"Apa kau mau hidup bersamaku? Hanya dengan hidup bersamaku selamanya, kau bisa membayar utang budimu padaku!"