Keesokan harinya, Liana segera bersiap-siap untuk menuju ke lokasi Hotel Seven Stars. Laura memberikan nomor kontak dari produser yang akan ditemui Liana di sana.
Kejadian semalam mengenai perampokan bank darah sebenarnya sedikit mengusik pikiran Liana. Selama ratusan tahun ini bangsanya tak pernah menunjukkan diri secara terang-terangan di muka umum. Lalu jika perkiraannya benar, lantas siapa dan berasal dari klan mana mahkluk abadi yang berani berkeliaran dan merampok di fasilitas umum?
Selama hampir 200 tahun lamanya, bangsa mereka bersembunyi. Meski harus menampakkan diri di muka umum tak semua mampu melakukannya, karena beberapa tingkatan kemampuan yang dimiliki setiap vampir berbeda satu dengan yang lainnya.
Liana termasuk salah satu yang memiliki kemampuan di atas vampir lain, karena keturunan langsung yang mengalir dalam darahnya membuatnya mampu beradaptasi dengan kehidupan manusia.
"Liana, jam berapa kira-kira kau akan jalan?"
Tiba-tiba saja wanita bertubuh gempal itu sudah berdiri di depan pintu ruangannya.
"Hm?"
"Kuperhatikan sejak tadi kau terus melamun, apa yang kau pikirkan, Nona Jones?"
Liana mencebik, bibirnya yang terbalut lipstick berwarna merah darah terlihat begitu menggoda.
"Aku tak memikirkan apa pun, sudah ya, aku harus segera pergi sekarang," jawab Liana lalu bangkit berdiri dari kursinya. Diraihnya mantel hitam miliknya kemudian dikenakannya, tak lupa dia meraih kunci motor miliknya yang tergantung di dinding.
"Nona Keith, apa kau mau memesan sesuatu?"
"Oh, iya ada! Tolong fotokan aktor yang menjadi pemeran utama di film itu. Aku lupa namanya, tapi sejam yang lalu dia sempat di wawancara di sebuah acara gosip. Oh Tuhan, dia sangat tampan, Liana!"
Wajah Liana berubah menjadi datar. Perawan tua satu itu selalu saja tak pernah tahan dengan godaan wajah laki-laki yang tampan.
"Aku pergi dulu! Aku akan meminta posternya untukmu!" sahut Liana sembari berlalu. Tubuhnya dengan lincah melangkah ringan meninggalkan kantor.
Liana mengenakan kacamata hitam miliknya untuk menghalau cahaya matahari. Jika sampai cahaya matahari secaral langsung mengenai kornea matanya terlalu lama, akan memberikan efek kebutaan sementara pada dirinya.
Liana masuk ke dalam lift. Saat berada di dalam lift, ada satu orang laki-laki yang berdiri di depannya.
Laki-laki yang memiliki postur besar, dengan kedua lengan yang begitu kekar, mencuri pandang ke arah Liana melalui kaca samping yang memantulkan sosok Liana. Kedua mata lelaki berkulit hitam itu terlihat menyala di balik kacamata hitam yang dipakainya.
"Kenapa kau memperhatikanku?" Suara Liana yang terdengar sangat dingin memecah keheningan di antara keduanya.
Laki-laki itu berpura-pura tak mendengar.
"Kenapa kau tak menjawab. Aku tahu di balik kacamata hitammu, kau terus memperhatikanku. Katakan siapa yang menyuruhmu?"
Laki-laki itu masih terdiam. Wajahnya yang terlihat kasar dan sangar itu kali ini terlihat sedikit resah.
Tiba-tiba saja, mesin lift berhenti. Lampu di dalam lift berkedip beberapa kali, sepertinya ada kerusakan mesin.
"Kau memilih untuk tak menjawab dan mati di sini?" tanya Liana sekali dengan seringai tajam dari bibirnya. Liana memejamkan kedua mata, aroma itu begitu jelas mengusik indera penciumannya.
Aroma yang sangat berbeda.
"Saya tidak paham dengan yang Anda ucapkan, Nona," jawab laki-laki berkulit hitam dengan nada suaranya yang berat dan serak.
"Teruslah berpura-pura. Aku tak akan membiarkanmu keluar hidup-hidup dari sini," ancam Liana.
Laki-laki itu tahu jika Liana telah menangkap basah mengenai identitas dirinya. Dia tak pernah mengetahui seperti apa kekuatan yang dimiliki Liana, karena dia hanya mendapatkan perintah untuk mencari keberadaan Liana, setelah itu memberikan informasi.
Laki-laki itu menatap ke arah langit-langit, ada celah di antara plafon, dia bisa membukanya dan melarikan diri dari sana jika dalam keadaan terjepit.
"Jadi ... kau benar Liana Jones?"
"Akhirnya kau mengakui jika kau salah satu dari mereka? Berani sekali kau berkeliaran di siang hari, apa kau tak takut pemburu-pemburu itu mendapatkanmu?" ejek Liana.
Hanya dalam hitungan per sekian detik, dengan gerakannya yang begitu cepat dan tak terlihat, laki-laki itu sudah berada di belakang tubuh Liana. Liana merasakan sebuah pergelangan tangan sudah melingkar di lehernya.
"Kau berani menyentuhku," ucap Liana.
Kedua taring berwarna putih keluar dari kedua tepi bibir laki-laki berkulit hitam itu. Diperketatnya kunci pergelangan tangannya pada leher Liana, tapi sama sekali tak membuat Liana kesulitan. Liana terlihat santai menghadapi tekanan yang diberikan laki-laki tersebut.
"Dengan mendapatkan Anda, saya bisa membuat atasan saya menjadi mahkluk yang paling berbahagia di muka bumi ini."
"Dengan mendapatkanku, sama saja kau menjemput kematianmu."
Kedua mata Liana berubah menjadi warna merah yang begitu gelap semerah warna darah yang sangat dipujanya di balik kacamata hitam yang dikenakannya.
Lampu di dalam lift terus berkedip, sesekali lift bergetar halus.
Sementara di lantai paling bawah, puluhan orang terlihat mengantri di depan salah satu pintu lift. Tombol lift masih belum bergerak dan tetap berhenti di angka 13 hampir 10 menit lamanya, membuat mereka bersungut-sungut. Tak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam lift.
Gerakan demi gerakan yang dilakukan Liana dan laki-laki itu membuat tubuh lift bergoyang dengan kasar. Keduanya sama-sama tak mau mengalah, mereka terlibat adegan baku hantam yang benar-benar membuat hati terasa nyeri melihatnya.
Kacamata yang dikenakan Liana terlepas dari wajahnya memperlihatkan kedua mata yang menyeramkan dengan aura iblis yang begitu kental.
Saat laki-laki itu lengah, Liana bergerak dengan cepat. Begitu disadari, Liana telah duduk di kedua bahu laki-laki itu, kedua tangannya berada di kepala laki-laki itu dan jari-jarinya yang panjang mengeluarkan cakar yang begitu tajam dan menusuk masuk ke dalam kepala.
"Sshh ... ahh!"
Sebuah kepuasan bagi Liana ketika dengan sekali tarik kepala itu terpisah dari tubuh laki-laki tersebut. Terlihat seperti serangkaian debu yang menguap dari tubuh tanpa kepala itu, perlahan menghilang, menyisakan hanya setumpuk pakaian tanpa tubuh.
Liana menggenggam kepala yang berada di tangannya, raut wajah laki-laki itu terlihat menyedihkan seakan meminta pengampunan, dengan kedua mata terbelalak menahan sakit, mulut yang terbuka lebar.
Dari telapak tangan Liana keluar sebuah cahaya mengelilingi kepala dan dalam sekejap cahaya itu melahap habis kepala tersebut sampai tak bersisa, hanya ada abu tak berguna di atas telapak tangan Liana.