30 menit berlalu. Proses CT Scan pada Bulan pun selesai. Ia ditarik keluar dari mesin tersebut. Bulan merasa lega, pemeriksaannya berakhir. Ia turun dari meja, lalu kembali dibantu oleh suster untuk duduk di kursi roda. Ia hendak diantar kembali ke ruang ICU.
"Saya bisa lihat hasilnya hari ini juga, Dok?" tanya Bulan penasaran.
"Bisa, Bu. Ibu kalau mau menunggu silahkan. Tapi kemungkinan tidak sebentar. Memakan waktu yang cukup lama. Saran saya, lebih baik Ibu pulang saja ke rumah dan beristirahat. Nanti pihak rumah sakit akan menghubungi Ibu untuk melihat hasil pemeriksaan CT scan nya," jawab Dokter.
"Kalau begitu akan saya tunggu saja, Dok. Kiranya hari ini tidak selesai juga nanti saya akan pulang saja. Tapi sebelumnya saya ingin mencoba menunggu. Siapa tahu hasilnya cepat keluar dan saya bisa tenang."
"Nanti akan dikabari oleh suster. Kalau memang tidak bisa hari ini. Ibu lebih baik pulang, ya. Istirahat di rumah kalau Ibu tidak mau dirawat di rumah sakit."
"Iya, Dok."
Bulan kemudian dibawa keluar dari ruangan CT Scan oleh suster. Ia hendak diantar kembali ke ruang ICU. Tempatnya berada sebelum CT Scan.
"Suster, apa saya bisa dilepas infusannya? Saya merasa sudah tidak apa-apa, Sus. Saya sudah merasa lebih baik," pinta Bulan setibanya di atas ranjang ruang ICU.
"Ibu yakin sudah baikan? Saya tanya Dokter dulu, ya. Untuk memastikan keadaan Ibu benar-benar boleh untuk melepas infusan."
"Iya, Suster."
Suster itu pergi untuk menanyakan kondisi Bulan. Tak berselang lama ia kembali dengan membawa jawaban bagus bagi Bulan. Suster segera melepas infus dari tangannya Bulan. Bulan merasa senang bisa terlepas dari selang infus yang menghambat pergerakan tangannya.
Bulan turun dari ranjang, ia hendak keluar dari ruang ICU. Suster mencoba menahannya. Khawatir Bulan belum bisa berjalan sendiri untuk keluar.
"Ibu mau ke mana? Memang sudah bisa jalan sendiri? Kalau masih merasa pusing, biar saya temani, Bu."
"Nggak apa-apa, Sus. Saya sudah mendingan, kok. Saya mau menunggu hasilnya di ruang tunggu saja."
Bulan mengambil tasnya lalu keluar dari ruang ICU. Ia berjalan menuju ruang tunggu rumah sakit. Duduk bersama orang-orang yang menunggu kabar terkait kondisi keluarga mereka.
Jam menunjukkan pukul 7 malam. Bulan baru menyadari kalau ia sudah menghabiskan berjam-jam di rumah sakit. Ia tiba-tiba saja teringat pada Deva kekasihnya. Belum ia kabari sejak tadi. Segera ia keluarkan ponselnya dan menghubungi Deva.
"Semoga saja Deva tidak khawatir atau marah padaku. Aku benar-benar lupa untuk mengabarinya."
[Halo, sayang? Kamu di mana? Sudah pulang dari rumah sakit? Bagaimana keadaanmu?] tanya Deva begitu panggilannya Bulan terhubung.
[Aku masih di rumah sakit. Baru selesai pemeriksaan. Kondisiku sudah lumayan baik dari sebelumnya. Kamu sendiri di mana sekarang? Kamu tidak mau ke sini menemaniku? Aku merasa kesepian di sini.]
[Syukurlah kalau kamu sudah dalam keadaan yang lebih baik. Aku khawatir seharian memikirkanmu. Maaf aku belum bisa ke sana sekarang. Aku ada keperluan mendesak yang tak bisa ku tinggalkan.]
[Sayang sekali, ya. Padahal, aku ingin sekali kamu temani. Aku merasa butuh dirimu ketika keadaanku tengah begini. Tapi ya sudahlah. Tak apa. Kamu sedang sibuk. Aku bisa maklum. Jaga dirimu baik-baik, ya. Jaga kesehatanmu jangan sampai sakit.]
[Maaf, ya. Aku benar-benar tidak bisa ke sana. Kabari aku kalau sesuatu terjadi padamu. Aku harus segera pergi. Aku sayang kamu.]
[Iya, Deva. Aku juga menyayangimu.]
Panggilan pun berakhir. Bulan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia menghela nafas, menerima kenyataan kembali sendirian dalam keadaan seperti ini.
Bulan menyandarkan punggungnya pada tempat duduk rumah sakit. Kepalanya menunduk. Seakan tak belum bisa menerima kenyataan betapa ia merasakan kesendirian. Tak ada teman, keluarga, bahkan pasangan yang peduli dan mau menemaninya saat keadaannya seperti ini.
Hujan turun dengan derasnya. Membuat malam itu kian terasa hening bagi Bulan yang seorang diri duduk di lobby rumah sakit. Ia mengangkat kepalanya, melihat lalu-lalang orang di rumah sakit. Dari mulai keluarga, pasangan, hingga pasien. Seorang perawat tiba-tiba menghampirinya. Memecah fokusnya yang tengah memperhatikan sekitar.
"Dengan Ibu Bulan?" tanya si suster.
"Iya, kenapa Sus? Hasil CT Scan saya sudah keluar atau belum? Kalau sudah saya mau lihat. Bagiamana hasilnya, apa saya baik-baik saja?" Bulan langsung mencecar suster tersebut dengan beberapa pertanyaan.
"Ibu dipanggil untuk menemui Dokter spesialis kami di ruangannya. Kebetulan ia datang hari ini. Jadi, hasil CT Scan Bu Bulan bisa diketahui hari ini juga. Mari saya antar ke ruangannya," ajak suster tersebut.
Bulan tak berpikir lama langsung mengiyakannya. Ia segera diajak oleh suster untuk menemui dokter spesialis.
"Selamat malam, Dok."
"Iya, malam. Silahkan duduk, Bu."
"Terima kasih, Dok. Jadi, gimana hasil pemeriksaan saya? Saya nggak kenapa-kenapa, kan, Dok?"
"Sebelum itu, saya ingin bertanya dulu sama Ibu. Ibu pernah mengalami beberapa gejala ini sebelumnya? Seperti mudah lelah, sakit kepala hebat, linglung, sering merasakan kebas, kerap kali mengalami pusing, penglihatan kabur? Jika pernah, sejak kapan?"
"Saya merasakannya sudah hampir satu tahun ke belakang, Dok."
"Sudah pernah periksakan kondisi Ibu sebelumnya?"
"Belum, Dok. Tapi waktu saya periksakan, kata Dokter itu saya hanya kecapean dankurang istirahat. Memang saya kalau sudah bekerja dan lembur suka lupa waktu, Dok. Bekerja sampai larut malam dan makan nggak teratur. Istirahat juga kurang, sangat sedikit sekali."
"Sudah pernah mencoba minum obat penghilang rasa sakit kepala? Bagaimana efeknya? Apa rasa sakit di kepala bisa sembuh atau mereda setelah meminumnya?"
"Sukar hilang, Dok. Kalau sudah kambuh itu akut sakitnya. Nggak bisa dengan obat biasa. Perlu resep khusus baru reda. Maaf, Dok. Dokter tanya semua ini sama saya. Memangnya ada apa dengan kondisi saya? Ada masalah serius dengan diri saya? Saya sebenarnya sakit apa, Dok?" Bulan mulai tak sabar. Ia ingin segera tahu penyakit yang menyerangnya kini.
"Dari hasil CT scan yang sudah dilakukan. Terdapat masalah di bagian otak Ibu. Ada semacam tumor yang sudah menyebar di sana. Kalau melihat dari kondisinya. Sepertinya sudah lama tumor itu ada, tapi tak segera dilakukan penanganan. Maka dari itu, Tumor yang ganas terus menyebar dan semakin berbahaya dari waktu ke waktu hingga sekarang."
"A-apa?! Tu-tumor, Dok?! Jadi saya punya tumor di otak?! Nggak mungkin, Dok. Nggak mungkin! Dokter pasti salah baca. Nggak mungkin saya mengalami tumor. Ini pasti ada kesalahan, Dok!" Bulan tak bisa menerima begitu saja hasil pemeriksaan dirinya. Terlebih, ia didiagnosis mengidap tumor otak.
"Ibu yang sabar, ya. Tapi memang hasil pemeriksaannya menujukkan demikian," ujar sang dokter sekali lagi.
Bulan seketika merasakan tubuhnya lemas. Matanya kunang-kunang. Ia kemudian pingsan.
Bersambung