Isi dari kertas tersebut merupakan hasil dari Ct Scan. Diagnosis menyatakan kalau Bulan menderita kanker otak stadium lanjut. Tumor yang menjalar di kepalanya sudah menyerang lumayan lama dan baru sekarang ini semakin parah efeknya terasa. Tangan Bulan gemetar ketika memegang kertas tersebut. Matanya terus memandangi kertas itu sampai tanpa tak terasa air matanya jatuh mengalir begitu saja di pipi.
Ia mencoba menutupi kesedihannya. Tangisnya ia tahan karena sedang dalam perjalanan menuju pulang. Kertas itu pada akhirnya terlepas dari tangannya. Tangannya ia gunakan untuk mendekap mulutnya. Tak boleh ada suara tangis yang keluar dan didengar oleh orang. Cukup ia yang tahu kesedihan yang sedang ia rasakan.
"Ibu tidak apa-apa? Apa terjadi sesuatu yang membuat Ibu tidak nyaman?" tanya sang sopir. Ia melihat dari kaca spion ketika Bulan menangis.
"Tidak ada apa-apa, Pak. Saya baik-baik saja," jawab Bulan sembari menyeka air matanya.
Sopir itu berhenti untuk bertanya pada Bulan. Bulan meratapi nasibnya. Cepat atau lambat ia harus menerima kenyataan tentang penyakit yang ia derita. Ia menatap ke luar jendela ketika mobil berjalan. Merenung melihat kehidupan yang sedang berjalan di luar kendaraan yang sedang ia naiki. Tiba-tiba ia terkejut begitu dering ponselnya berbunyi.
Deva menelponnya, Bulan harus menata suaranya agar tak terdengar sedang menangis oleh Deva. Ia harus menyembunyikan kesedihannya. Tak boleh ada yang tahu dari kalangan orang-orang yang ia sayang.
[Halo, sayang?]
[Iya, sayang, ada apa? Kok, kamu tiba-tiba telfon?] tanya Bulan.
[Aku mengkhawatirkan keadaanmu. Aku belum mendapat kabar darimu. Apa kau sudah membaik? Kau di mana sekarang?]
[Aku sudah dalam perjalanan untuk pulang ke rumah. Aku baik-baik saja. Sudah keluar dari rumah sakit. Bagaiamana kondisimu? Kau jangan lupa untuk menjaga kondisimu jangan sampai sakit.]
[Kau sudah keluar dari rumah sakit? Apa kata Dokter tentang penyakitmu? Kenapa kau tidak mengabariku jika sudah boleh pulang dari rumah sakit. Aku bisa menjemputmu. Aku sangat khawatir karena kau kemarin hilang tak ada kabar.]
[Dokter hanya menyuruhku untuk beristirahat. Kau tak perlu khawatir. Aku hanya keletihan.]
[Kau selalu mengingatkanku agar menjaga Kesehatan. Tapi kau sendiri tidak menjaga kesehatanmu. Sekarang kau lebih baik beristirahat agar lekas sembuh. Jangan sampai kau sakit lagi. Jangan buru-buru masuk kerja. Kalau kau belum benar-benar pulih kondisinya.]
[Iya, aku akan mendengarkan nasihatmu. Aku akan istirahat sampai kondisiku pulih.]
[Ya sudah, aku masih ada yang harus kulakukan.]
[Iya, sayang.]
Panggilan pun berakhir. Bulan kembali memasukkan ponselnya ke dalam tasnya. Ia menghela napasnya lalu menyandarkan tubuhnya.
"Maafkan aku sayang. Aku tidak harus memberitahumu tentang hal ini. Lebih baik kau tidak tahu agar kau tidak khawatir. Tidak perlu ada yang tahu apa yang sedang aku rasakan. Aku tidak ingin siapapun tahu," gumam Bulan dalam batinnya.
Perjalanan pun berakhir di tujuan akhir. Mobil yang membawa Bulan berhenti tepat di titik yang ada di aplikasi. Ia kemudian turun selepas membayar ongkos perjalanannya. Bulan masuk ke dalam rumahnya untuk beristirahat dan melepaskan segala kesedihan dan kepenatannya.
Begitu malam hari di dalam kamarnya. Bulan menatap ke langit-langit kamarnya. Ia tak bisa tidur, matanya enggan terpejam. Pikirannya masih memikirkan penyakitnya. Ia masih tak bisa berdamai dan menerima kenyataan. Setelah semua pencapaian yang ia dapat berhasil gapai. Suratan takdir justru berkata lain. Ia harus menderita penyakit. Kerja kerasnya selama ini rupanya menumpuk juga rasa sakit.
Dalam lamunannya, ia mengingat semua yang terjadi. Semua yang sudah ia perjuangkan sejak awal. Bagaimana ia bisa sampai di posisi seperti sekarang. Ia juga mengingat betul tiap kali rasa sakit itu mulai terasa. Ia mengira kalau itu hanyalah sakit kepala biasa. Seandainya, sejak dulu ia tahu bahwa itu bukan sakit kepala biasa. Tentu ia bisa segera mengantisipasinya.
Bulan mendekap guling miliknya. Posisi badannya berubah miring menghadap dinding. Air mata keluar begitu saja mengalir di pipinya. Tak bisa ia tahan, kesedihan itu benar-benar terasa menyesakkan dadanya. Kenapa semua ini harus terjadi padanya. Dalam gelapnya malam, seorang diri menangis. Hingga membuatnya tertidur dengan sendirinya.
Bulan dibangunkan dering ponsel yang berbunyi. Ia bangkit untuk meraih ponselnya. Panggilan masuk dari sang kekasih. Meski masih diselimuti rasa kantuk, Bulan tetap berusaha untuk menjawab panggilan masuk dari Deva.
[Halo? Iya sayang?] ujar Bulan ketika menjawab panggilan masuk dari Deva.
[Morning, sayang. Aku kepagian kayaknya nelfon kamu. Gimana kondisimu? Apa sudah lebih baik? Kamu baru bangun tidur kayaknya.]
[Aku sudah merasa agak baikan. Sepertinya hari ini aku akan pergi ke kantor. Kamu sudah bangun sejak pagi. Tumben sekali, biasanya aku yang menelfon untuk membangunkanmu. Kamu mau pergi ke mana? Pagi-pagi sekali seperti ini.]
Bulan langsung menyadari keanehan yang terjadi pada Deva. Kebiasaan yang tak biasa Deva lakukan yaitu bangun di pagi hari.
[A-aku memang sedang membiasakan bangun pagi. Beberapa hari ini aku selalu bangun pagi. Memangnya ada yang salah, ya? Bukankah berubah ke arah yang lebih baik itu bagus?] kata Deva mencoba mengelak dari kecurigaan Bulan.
[Bagus sekali jika kau memang ingin berubah. Aku pasti mendukung hal itu. Aku hanya merasa heran saja. Kamu tidak biasanya bangun pagi, sekarang justru menelpon untuk membangunkanku. Tidak ada salahnya aku merasa heran, kan?]
[Tentu tidak. Aku pun kadang heran dengan diriku. Kadang kala bisa diajak bekerja sama untuk kebaikan. Kadang kala terlalu sulit untuk itu. Aku sepertinya harus bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Kamu jika masih sakit lebih baik istirahat dulu di rumah. Sampai kondisimu benar-benar sudah pulih. Jangan dipaksakan untuk berangkat kerja, ya. Jaga selalu kesehatanmu. Sebab, raga itu aku sayang. Jangan sampai sakit.]
[Iya, aku akan mendengarkan segala nasihatmu. Pandai sekarang kamu menasehatiku, ya. Kau juga jaga kesehatanmu. Jangan terlalu diporsil kerjanya. Aku sayang padamu.]
[Aku juga menyayangimu.]
Panggilan pun berakhir dengan Bulan yang menutup panggilannya lalu meletakkan kembali ponselnya di atas ranjang. Ia bangkit menuju ke dekat jendela untuk membuka jendela kamarnya. Membiarkan udara sejuk pagi hari dan cahaya pagi mentari masuk ke kamarnya. Bulan berjalan keluar kamar menuju ke dapur. Mengambil air minum dan meminum segelas air di pagi hari. Tenggorokannya terasa lega dialiri air di pagi hari.
Bulan duduk termenung di teras rumahnya. Dalam keadaan belum mengganti pakaian tidurnya. Menikmati udara sejuk pagi hari. Membiarkan pikirannya melayang untuk sementara sampai menemukan tujuan akan melakukan apa hari ini.
"Pagi ini kelihatannya langit cerah. Semoga saja aku bisa segera pulih dan bisa kembali bekerja," gumam Bulan kemudian masuk ke dalam rumahnya.