Chereads / Terbelenggu Dendam Duda Kaya Raya / Chapter 23 - Bab 23 Kebaikan Viola

Chapter 23 - Bab 23 Kebaikan Viola

Untuk sejenak Viola terdiam mendengar pertanyaan Clara. Hingga beberapa detik kemudian, ia pikir tidak ada salahnya juga juga jika menceritakan percakapan yang sempat ia dengar. 

Namun, tidak. 

Ia akan terlihat sedikit lancang jika Clara tau kalau diam-diam gadis itu menguping pembicaraan majikannya sendiri. Meskipun kenyataannya itu terjadi karena tidak sengaja, namun tetap saja, Viola tidak memiliki hak untuk mendengarkan percakapan pribadi tersebut. 

"Dulu mantan istri Tuan Erlan setiap malamnya memakai daster panjang, mungkin juga Nona bisa menggunakan cara yang sama untuk memikat hati Tuan. Lagi pula seorang perempuan lebih terlihat anggun ketika memakai daster, bukankah daster adalah pakaian kebanggaan para istri untuk suaminya?" tanya Viola dengan sedikit menggoda. 

Mendengar hal itu, Clara langsung tersipu malu. Seakan mengetahui arah pembicaraan Viola. 

"Ah, tidak juga. Meskipun aku tidak terbiasa, namun akan aku biasakan." Sambil tersenyum percaya diri. 

"Baik, Nona. Mulai sekarang Nona harus lebih memperhatikan penampilan setiap harinya."

Clara mengangguk setuju. 

"Selain melihat sendiri, kelihatannya kamu juga begitu akrab dengan mantan istri suami saya. Benarkah begitu?" Terdengar begitu sensitif di telinga Viola.

Lagi-lagi Clara bertanya soal itu, tentu ia sengaja menjebak Viola dengan pertanyaannya. Gadis itu masih penasaran dengan hubungan Viola dengan mantan istrinya. 

"Tidak, Nona. Setiap harinya saya melayani Nona Sena, jadi sedikit banyak saya tahu soal dirinya dengan Tuan Erlan." 

Sesuai dugaan, Viola tidak akan mudah menjawab jawaban yang sebenarnya. Tidak tahu mengapa, Clara masih ragu dengan jawaban pelayan itu. Namun ia memilih untuk diam, tidak ingin terus mendesak Viola. Gadis itu sudah cukup baik untuknya. 

Melihat rambut Clara yang tidak rapi dan kusut, gadis itu segera mengambil catok rambut miliknya. 

Dalam hitungan detik, ia segera kembali ke kamar Clara. Kemudian melepas ikatan rambut dan mulai merapikan rambut Clara dengan lembut. 

"Lagi-lagi aku harus merepotkanmu, kedepannya aku akan membalas semua kebaikanmu hari ini," ucap Clara dengan senyum di bibirnya. 

Baginya sekarang, Viola tidak hanya pelayan, melainkan juga seorang teman. 

"Ini memang  tugas saya Nona, tidak perlu berlebihan." 

"Kamu tau, disaat aku mulai menginjakkan kaki di rumah ini. Aku kira semua akan baik-baik saja, rumah ini terlihat begitu tenang dari luar, tidak menyangka jika di dalamnya penuh dengan cacian." 

Kemudian melanjutkan pembicaraan. 

"Saat itu aku pikir akan sendirian menghadapi keadaan, bahkan tidak ada satu pun pelayan yang sudi menerimaku sebagai Tuannya. Tidak ada bedanya aku dengan mereka, sama-sama dianggap rendah. Namun kamu, justru aku menemukan sosok teman dalam diri kamu," tutur Clara dengan mata sayu. Kedua matanya mengisyaratkan sebuah ketulusan. 

"Teman, itu artinya Nona menganggap saya teman Nona?" 

Clara menggerakan tangannya, kemudian memegang tangan Viola di pundaknya. 

"Tentu, mulai sekarang kita adalah teman."

Viola terdiam. 

Ia pikir sebutan teman tidak pantas ia kenakan. Bukan hanya soal status, namun ada hal lain yang membuatnya tidak layak disebut sebagai seorang teman. 'Ketika Nona tau semuanya, apa mungkin sebutan teman masih bisa diberikan kepada saya? Bagaimanapun juga, aku harus siap menerima kebencianmu suatu saat nanti.'

"Kenapa diam? Kamu tidak mau menjadi temanku?" 

"Bukan, Nona. Saya hanya terharu sekaligus senang karena Nona menganggap saya sebagai seorang teman."

Keduanya pun saling melempar senyum. 

"Bagaimana rambut barunya, cantik kan?" 

Clara langsung melihat rambutnya di depan kaca, menyentuh dengan lembut beberapa helai dengan kedua tangannya. Rambut kasar sedikit keriting, dalam sekejap berubah menjadi rambut halus dan lurus. Viola berhasil mengubah rambutnya. 

"Begitu berbeda dengan yang sebelumnya. Lebih terlihat bagus dan rapi." 

"Syukurlah kalau Nona menyukainya," balas Viola sambil membersihkan wajah Clara dengan concealer. 

Setelah dirasa bersih, ia mengoleskan cushion shade natural ke wajah Clara. Kemudian memasang lips warna nude dipadukan merah terang ke bibir Clara. 

Melihat alis Clara yang sudah tebal namun tidak rapi, gadis itu kemudian merapikan alisnya menggunakan sisir alis. Membentuk garis mata menggunakan eyeliner terbaiknya, lalu mengoleskan eyeshadow di di bawah alis.

"Kecantikan seorang wanita terpancar dari mata, jadi untuk mata Nona sudah bagus, hanya perlu ditambahi beberapa agar detailnya semakin terlihat nyata."

"Dari mana kamu belajar keterampilan ini?" 

Pertanyaan yang sering Viola dengar. Tentu ia harus menjawabnya lagi. 

"Saya belajar dari internet, lagipula saya juga suka tentang dunia make up." 

"Kelak kamu akan menjadi MUA terkenal di kota ini, bahkan lebih." 

Doa Clara dengan penuh harap. Mendengar doa itu, hati Viola merasa bergetar. 

Sebenarnya sudah sangat lama Viola ingin menjadi make up artis profesional, yang tidak hanya dikenal, melainkan juga bermanfaat bagi orang banyak. 

Karena keterbatasan biaya serta skill yang ia punya belum cukup memadai, tidak memungkinkan untuk memperjuangkan keinginannya. 

"Tidak, Nona. Mungkin hidup saya hanya ditakdirkan sebagai seorang pelayan." 

Jawab Viola merendahkan diri sendiri. Ia tidak mau berharap banyak. 

"Lebih baik hidup dengan harapan daripada menyerah, di dunia ini tidak ada yang tahu bagaimana akhirnya, yang jelas ketika proses yang baik sudah kita lakukan dengan semaksimal mungkin, hasil yang indah akan mengikuti di akhir." 

"Percayalah, kelak aku akan membantumu untuk meraih impianmu. Namun saat ini, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik. Teruslah belajar, Tuhan tidak akan merubah nasib seorang hamba, jika orang tersebut tidak berkeinginan untuk mengubahnya sendiri." 

Mendengar ucapan Clara, Viola langsung tersadar. Kembali memikirkan kalimat yang barusan ia dengar, tentu tidak hanya sebatas kalimat penenang, namun juga sebuah kalimat penyemangat untuk kehidupannya. 

"Terimakasih, Nona. Viola akan memikirkannya lagi," 

"Sudah-sudah, jangan sedih seperti ini. Beberapa menit lagi laki-laki itu segera pulang. Apalagi yang harus aku persiapkan untuknya?" 

"Tidak ada, Nona tinggal menunggu dan ikut hadir dalam makan malam keluarga." 

Ikut makan malam pun percuma, karena kedua manusia itu tidak akan mengizinkannya untuk ikut gabung di meja makan. 

"Tenang saja Nona, selama ada Tuan Nichol, saya bisa memastikan kalau Anda akan ikut makan bersama mereka." 

Mendengar hal itu, wajah Clara yang semula pucat, kini berseri-seri. 

"Bagaimana bisa?" 

"Lihat saja nanti." 

Tidak ingin menjelaskan secara detail, cukup Clara melihatnya sendiri. Bagaimana Nichol membuatnya bisa diterima makan malam dengan mereka. 

"Apa ini bagian dari rencanamu?" 

Viola mengangguk. 

"Terimakasih, kamu begitu banyak membantuku." 

"Tidak, Nona. Justru saya yang berterimakasih kepada Nona karena telah menganggap saya sebagai teman. Namun, saya lebih senang jika Anda menganggap saya sebagai seorang adik." 

"Adik? Ide bagus. Baiklah, mulai sekarang kamu adalah adikku. Berjanjilah selamanya kita adalah adik dan kakak." 

"Heem, berjanji." 

Kedua perempuan itu saling menautkan jari kelingkingnya, sebagai tanda perjanjian mereka. 

"Dia datang …."