Chereads / Renjana Di Penghujung Cakrawala / Chapter 6 - BAB 6 – Sedikit Bicara, Banyak Bekerja

Chapter 6 - BAB 6 – Sedikit Bicara, Banyak Bekerja

"Buat apa kamu menanyakan itu?" dengan heran, Joko Samudra bertanya.

"Saya capek, Pak … dari tadi udah nggenjot sepeda ditengah panas dan padatnya lalu lintas. Baru aja seneng dikit mau dapat tumpangan gratis, eh … malah disuruh dorong mobil. Nggak mau, ah …" dengan gaya super cuek namun tanpa sikap kurangajar, Indra langsung saja menyahut.

"Terus, obeng sama palu ini mau dipakai untuk apa?" tanya kembali lelaki berseragam sekuriti itu, dengan heran.

"Mau periksa dinamo, Pak …" jawab si pemuda dengan santai.

"Halah, halah … gayamu, Le … lha wong bengkel langgananku yang paling top markotop aja, udah angkat tangan nggak bisa ngurus dinamo starter itu. Katanya harus ganti baru karena sudah bobrok. Ya mana bisa … gajiku sebulan juga nggak cukup buat beli. Lha kamu ini … ha ha ha … anak kecil, lho … mosok, mau gaya-gayaan periksa mesin?"

Masih saja banyak omong, Joko Samudra kembali memberi kuliah awal pada si pemuda yang baru mau daftar kuliah itu. Namun begitu, lelaki tersebut tetap saja memberikan apa yang diminta oleh si calon mahasiswa meski mulutnya terus saja cerewet dalam gerutu.

Tapi saking sudah cuek dan tak mau perduli, Indra tetap saja mengambil obeng dan palu yang diulurkan kepadanya dari jendela pintu depan. Kemudian, iapun berjalan untuk menuju kap mesin, lalu mulai membukanya hingga menutup pandangan Joko Samudra yang ada di balik kemudi.

Tak berapa lama, terdengarlah bunyi besi yang beradu dengan besi lainnya. Suara 'klontang klontang' yang cukup keras itu, dengan sendirinya telah saja mengundang sebuah teriakan lantang dari sang pemilik mobil kebanggan tersebut.

"Hoiii … Wadoh, lha kok malah ngamuk. Marah ya marah, tapi kamu nggak boleh seperti itu pada sebuah mobil tua. Harus disayang, perlakukan dia dengan baik dan manis …" tak perduli telah mengundang perhatian beberapa sekuriti muda rekannya, lelaki tengah baya itu berteriak-teriak dari balik kaca depan mobil yang tertutupi oleh kap mesin.

Namun, agaknya Indra sudah tak mau mendengarkan lagi apa kata orangtua yang sudah beberapa kali mengerjainya itu. Dengan lebih bersemangat, ia terlihat mencongkel sebuah benda berbentuk tabung bulat dan membuatnya terbuka. Setelah beberapa kali mengungkit dan mengetuk kembali dengan palu yang dihantamkannya pada obeng, iapun kembali menutup benda tersebut agar menyatu kembali.

'Tang tung tang tung …' demikianlah bunyinya saat ia kembali memukul dengan palu, untuk berusaha mengeratkan penyatuan bagian tabung bulat tersebut.

"Hoiii … jangan begitu, Le … kasian, jangan dipukuli terus," teriak kembali Joko Samudra.

Dan kali ini, ia memutuskan untuk turun dari kursi kendaraan yang telah saja menjadi panas.

---

Namun begitu lelaki bertubuh gempal itu membuka pintu mobil untuk bergegas keluar, mendadak saja seraut wajah sudah menongolkan diri dari balik kap yang terbuka. Lalu dalam sebuah seringai nakal yang menggemaskan, sang pemilik bibir mulai berujar,

"coba starter, Pak …"

"Hah, starter?"

"Putar kunci kontaknya … Hidupkan mesin …" masih saja tersenyum tipis, dengan lugunya Indra mengatakan hal yang sebenarnya sangat mudah dimengerti oleh lelaki paruh baya itu.

"Ah, iya iya … aku coba …" lega karena si pemuda tak lagi menganiaya mobilnya, lelaki paruh baya itu menjawab latah untuk menuruti apa yang diperintahkan.

Meskipun awalnya tak percaya dengan wajah nakal yang menyuruh dirinya menghidupkan mesin mobil, ternyata tangannya tak mau diajak kompromi. Karena dengan begitu saja, ia meraih kunci yang menggantung pada tempatnya, lalu memutarnya dengan perlahan.

Ck ck ck … Brrmmm …

Dan … Mesinpun menyala dengan sangat berjayanya!!

Bersama dengan terdengarnya suara mesin mobil yang menderu, sontak saja terdengar suara dari beberapa pasang tangan langsung saja bertepuk sambil meneriakkan 'hore'. Karena tanpa sepengetahuan dua orang berbeda generasi yang sedari tadi terus ribut, beberapa rekan sekuriti telah saja mengamati jalannya kisah mereka yang bagaikan adegan film komedi.

Tak memperdulikan teriakan dan tepuk tangan rekan-rekannya, Joko Samudra tertawa terbahak saking senangnya. Lalu setelah ia memainkan pedal gas beberapa kali, dilambaikannya tangan pada Indra yang baru saja menutup kap mesin.

"Ayo, buruan … jangan sampai para pegawai administrasi terlanjur pada pergi istirahat siang …"

---

Setelah Indra sudah duduk dengan manis diatas jok penumpang yang terasa kurang empuk itu, mobil pun mulai berjalan keluar dari tempat parkirnya.

"Aku mengaku, kamu ini memang hebat. Ha ha ha … bahkan bengkel top markotop yang selalu saja menghabiskan uang lemburku, ternyata tak lebih hanya seujung kukumu saja keahliannya." Sambil tertawa kegirangan, Joko Samudra melajukan mobilnya yang heboh dalam suara bercampur baur antara kasarnya bunyi mesin dan riuhnya berbagai decit komponen kurang pelumasan.

"Kebetulan saja, Pak …" jawab Indra dengan kalem.

Memang, begitulah sebenarnya pribadi si pemuda. Kalau tak ada yang mengajaknya bicara, ia memang tak pernah mau membuang tenaga dengan omongan yang tak perlu.

"Ah, nggak mungkiiin …" sahut si lelaki berkumis dengan kata akhir yang sengaja ia buat panjang untuk menegaskan bila ia tak bisa dibohongi. Lalu lanjutnya lagi,

"ayo ngomong, kamu belajar dari mana? Kok bisa hebat seperti itu, lho …" masih saja tak membuang rasa penasarannya, sang sekuriti berbadan kekar terus saja mendesak sambil sibuk mengggerakkan kaki tangan pada stir dan pedal kaki yang kesemuanya berdecit berisik karena kurang minyak yang melumasinya.

Karena memang dasarnya punya sifat jujur, Indra pun akhirnya menjawab dengan apa adanya, "dulu saya ikut nyambi kerja bantu-bantu di bengkel, Pak."

"Di mana?"

"Di desa saya, Pak."

"Desa kamu di mana?"

"Di lereng gunung sana, pokoknya jauh dari kota," setelah menjawab itu, Indra memberikan penjelasan pada sang sekuriti terkait dari mana tepatnya ia berasal.

"Wah, lha yo jauh banget itu … eh, maksudku nggak jauh jaraknya, tapi letaknya agak pelosok gitu …" mengomentari penjelasan tentang asal si pemuda, Joko Samudro mengatakan kenyataan dengan jujur apa adanya.

"Memang, Pak … saya ini memang berasal dari ndeso …"

"Lha iya … kalau rumahmu disana, itu pasti ndeso. Tapi, eh … bagaimana bocah ndeso seperti kamu ini bisa ngakalin mobilku, tah? Kok pinter?" seperti teringat sesuatu, langsung saja si kumis menanyakan lagi rasa penasarannya.

"Ohh … ngurusin dinamo rusak itu? di desaku banyak mobil seperti ini, Pak. Hampir tiap hari, aku juga harus ngurusin rongsokan mobil yang seperti ini. Jadinya, ya nggak aneh kalau bisa langsung memperbaikinya. Sudah biasa …"

"Wah wah … sombong sekali kamu. Baru bisa membetulkan dinamo saja sudah menjelekkan mobil kesayanganku." Komentar Joko Samudra dengan nada jenaka, setelah mobilnya disamakan dengan rongsokan oleh si anak muda tersebut.

"Yo bukan ngece, to … emang kenyataannya gitu. Kalo mobil bagus, aku malah nggak bisa ngerti mesinnya. Soalnya, di desaku sana nggak ada yang punya mobil bagus …" tak mau kalah, tetap saja Indra menjawab. Dan kini, ia bahkan sudah beberapa kali membahasakan dirinya dengan istilah 'aku' pada lelaki paruh baya tersebut.

Mungkin saja, Indra malah jadi merasa dekat dan nyaman dengan gaya bicara si paruh baya yang terlihat ugal-ugalan. Dan apa yang dirasakannya pada saat itu, tak lain disebabkan oleh sikap Joko Samudra yang sedari awal perjumpaan telah selalu saja ngomong seenak udelnya. Namun, justru sikap seperti itulah yang malah membuat Indra jadi tak sungkan lagi.

---

"Tapi, tetap aja aku harus berterimakasih padamu, Le. Karena kepintaranmu, mobilku jadi nggak rewel lagi. Ha ha ha … aku sudah nggak usah menanggung malu lagi bila tiap kali menghidupkan mobil. Karena dengan starter yang mulus begini, tak perlu aku meminta pertolongan orang lain untuk mendorong." Setelah beberapa saat diam sambil melihat keadaan sekitar, Joko Samudra segera teringat untuk mengucapkan rasa terimakasihnya.

"Sama-sama, Pak. Tapi, itu ya untuk sementara saja." Tak mau membohongi penolongnya, Indra berkata jujur apa adanya.

"We lha … aku kira bisa awet tahunan lamanya." Kecewa dengan harapan yang mendadak runtuh, langsung saja sang sekuriti berkumis terdengar menggerutu kembali.

"Paling dua tiga hari, Pak. Setelah itu, pasti dinamonya macet lagi. Itu kan sudah aus saking lamanya."

"Iyo, aku tahu kalau mobil ini emang udah kadaluarsa. Eh, Le … ngomong-ngomong, starternya bisa dibuat tokcer selamanya enggak? Kamu kan pinter, pasti tahu caranya."

"Ya bisa, Pak …"

"Beneran? Kamu nggak bohong?" tukas si pria gempal berkumis dengan kegirangan.

"Mosok aku bohong?"

"Wah, ya hebat itu. Lha mbok aku dikasih tahu caranya …" dengan sedikit nada merayu, langsung saja laki-laki itu meminta pertolongan.

"Kan yo tinggal beli dinamo baru, Pak … nanti aku tolongin pemasangannya …" dengan enteng, Indra langsung saja menjawab permintaan tolong tersebut.

---

Mendengar apa yang dikatakan oleh si pemuda kecil kurus tapi terlihat liat dan kuat itu, langsung saja wajah sangar berkumis itu berubah. Bila senyumnya tadi terus saja mengembang dalam seri gembira, kini langsung saja menjadi sebuah cengiran jelek yang sangat butuh dikasihani.

"Weee … lha, bocah kurang ajar, kowe. Kalau cuma seperti itu, aku yo tahu … ha ha ha … kamu pasti mau mbales aku, kan? Nggak terima dikerjain tadi, kan? Ha ha ha … dasar, bocah nakal …"

Meskipun merasa terkejut dan kesal dengan jawaban yang meruntuhkan harapannya. Tak pelak, Joko Samudra pun tetap saja tertawa terbahak untuk mengalirkan kegelian hatinya. Karena pemuda desa culun yang ada di sampingnya itu, dengan tanpa disadari telah saja membuat dirinya merasa sayang dan tertarik padanya.

***